Ahad 24 Oct 2021 22:20 WIB

Rektor UII: Jangan Salahkan Kepercayaan Publik Menurun

KPK menyebut sekitar 70 persen kasus korupsi terkait dengan pengadaan.

Rektor UII: Jangan Salahkan Kepercayaan Publik Menurun. Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Fathul Wahid.
Foto: Thoudy Badai_Republika
Rektor UII: Jangan Salahkan Kepercayaan Publik Menurun. Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Fathul Wahid.

REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Fathul Wahid menilai, masih sulit mengatakan Indonesia baik-baik saja. Sebab, media masih dihiasi penangkapan penguasa yang khianati amanah terlibat tindak pidana korupsi.

Apalagi, banyak kasus terungkap, terutama terkait pengadaan barang/jasa dan perizinan. KPK sendiri menyebut sekitar 70 persen kasus korupsi terkait dengan pengadaan. Pengadaan barang/jasa menjadi bagian besar alokasi anggaran negara.

Dialami negara lain, dengan proporsi 13-20 persen dari produk domestik bruto, bukan cuma anggaran negara. Bahkan, LKKP menyebut tanpa teknologi informasi andal mendukung transparansi dan akuntabilitas, kebocoran bisa 30 persen.

Fathul meyakini, semua sepakat kerugian korupsi pengadaan kebocoran tidak dapat diukur cuma nominal uang publik yang hilang. Korupsi ini bawa dampak buruk akut ,termasuk kompetisi usaha sehat hilang, serta penurunan kualitas infrastruktur.

Implikasinya bisa diperpanjang seperti dunia usaha lesu, pembengkakan biaya perawatan infrastruktur dan fasilitas publik dan potensi bahaya lain, termasuk kepercayaan. Ujungnya mahal, penurunan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

"Karenanya, jangan salahkan publik menurun kepercayaannya kepada pemerintah jika berita kasus korupsi masih jadi bagian sarapan sehari-hari. Kedua, banyak orang sebut korupsi puncak gunung es, bagian bawah justru lebih besar tidak terlihat ," kata Fathul dalam diskusi aktual Pusat Studi Hukum UII, Sabtu (23/10).

Selain itu, korupsi nominal kecil tidak masuk radar KPK, tapi ini tidak bisa disepelekan karena terkait akses layanan publik yang sama dan kejujuran bangsa. Lebih mengkhawatirkan, dampak pelanggengan budaya korupsi di semua tingkat.

Ia melihat, cerita lapangan sering membuat geleng kepala tanpa bisa berbuat banyak. Transparency International mendefinisikan korupsi dalam bingkai yang sangat luas, penyalahgunaan kuasa yang diamanahkan untuk keuntungan pribadi.

Tentu, lanjut Fathul, kata pribadi perlu dibaca lebih luas, termasuk jaringan, kelompok atau partai. Karenanya, pendidikan sejak dini antikorupsi perlu usaha bersama, meskipun ada yang menyatakan sebagian besar koruptor lulusan kampus.

"Anak muda sekarang mungkin berkomentar ya iya lah, masa ya iya dong, ini jadi kesimpulan kecohan yang diambil dalam pengambilan keputusan. Dalam literatur disebut biased sample fallacy, kecohan inferensi karena sampel yang bias," ujar Fathul.

Maka itu, wajar karena pemegang kuasa negara beragam level alumni kampus. Ini seperti mengatakan sebagian besar penghuni penjara negara A atau B beragama tertentu yang mayoritas, sehingga akhirnya menarik kesimpulan yang salah.

Pesan yang ingin Fathul sampaikan bukan pengelakan dari fakta, tapi jangan sampai upaya-upaya pendidikan antikorupsi ketika kuliah saja. Sejak dini pendidikan antikorupsi harus diberikan, bahkan dalam keseharian di rumah.

Tidak selalu harus dibingkai dengan kata korupsi. Sebab, mendidik kejujuran, keadilan, tidak mengambil yang bukan hak dan menghargai hak orang lain jadi bingkai abadi yang relevan untuk pendidikan antikorupsi semua konteks. 

Pendidikan antikorupsi seakan kehilangan makna, saat tidak ada contoh konsisten yang diberi penyelenggara negara, termasuk ikhtiar pemberantasan korupsi lebih serius. Jika tidak, pendidik antikorupsi bisa mati gaya tanggapi komentar anak didik.

"Loh, kok, ternyata banyak pemegang kuasa semena-mena menggunakan amanah yang diberikan kepadanya," kata Fathul. 

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement