Ahad 24 Oct 2021 21:31 WIB

Agar Skema Bagi Hasil Bank Syariah Lebih Subur

Sistem bagi hasil bank syariah lebih mahal karena dana cost of fund masih mahal.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Friska Yolandha
Sistem bagi hasil bank syariah lebih mahal karena dana cost of fund saat ini masih mahal dan biaya pembiayaan atau cost of financing juga tinggi.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Sistem bagi hasil bank syariah lebih mahal karena dana cost of fund saat ini masih mahal dan biaya pembiayaan atau cost of financing juga tinggi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sistem bagi hasil bank syariah lebih mahal karena dana cost of fund saat ini masih mahal dan biaya pembiayaan atau cost of financing juga tinggi. Peneliti Ekonomi Syariah INDEF, Fauziah Rizki Yuniarti mengatakan cost of fund tinggi karena bank syariah tidak bisa sembarangan mendapat dana.

"Ada koridor syariah yang harus dipenuhi sehingga membatasi instrumen sumber pendanaan," katanya pada Republika.co.id, Ahad (24/10).

Pemerintah tentu dapat berperan mendukung dengan mengeluarkan instrumen syariah yang lebih mendukung sumber pendanaan yang lebih murah. Kemudian cost of financing tinggi terjadi karena risiko dan biaya untuk memberikan pembiayaan musyarakah dan mudharabah yang tinggi.

Transaksi tersebut dinilai risiko tinggi karena sifatnya pembiayaan ekuitas dan berbagi risiko. Sehingga jika peminjam atau debitur rugi, bank harus siap rugi, dan nasabah dana pihak ketiga atau kreditur juga siap rugi.

"Dengan risiko yang tinggi itu, maka dibutuhkan biaya monitoring yang intensif yang tidak murah juga," katanya.

Namun demikian, skema bagi hasil itu dinilai lebih mendukung pertumbuhan bank syariah dan industri sektor riil. Maka, solusi supaya bank syariah bisa lebih fokus menggunakan akad musyarakah ada beberapa.

Pertama, memperbesar ukuran bank syariah dalam hal memperbesar modal. Ini bisa membantu karena modal salah satunya dapat berfungsi sebagai shock absorber kalau dari pembiayaan musyarakah, mudharabah terjadi kerugian yang berlebihan.

Kedua, adanya regulasi terkait pembiayaan minimum dengan menggunakan akad musyarakah dan mudharabah. Seperti halnya Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 23/13/PBI/2021 tentang Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dimana 20 persen saat ini sampai 30 persen di 2024 nanti.

"Regulator juga bisa membuat peraturan serupa terkait rasio pembiayaan minimum dengan menggunakan akad musyarakah, mudharabah misal 35 persen," katanya.

Regulasi ini juga sebaiknya juga diikuti dengan sistem carrot and stick atau insentif dan hukuman. Artinya, jika memenuhi syarat maka mendapat insentif (carrot) berupa insentif pajak. Jika tidak memenuhi, maka mendapat hukuman (stick) yang memberi efek jera.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement