Ahad 24 Oct 2021 21:08 WIB

Ciri Seseorang Terjebak dalam Toxic Relationship

Pelaku sering berusaha menjauhkan pasangan mereka dari keluarga dan teman.

Rep: Santi Sopia/ Red: Qommarria Rostanti
Toxic relationship (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com.
Toxic relationship (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berada dalam hubungan beracun (toxic relationship) tidak jarang dialami sebagian orang.  Kematian blogger asal Amerika Serikat (AS), Gabby Petito, yang diduga akibat dibunuh pacarnya, Brian Laundrie, misalnya, menjadi contoh kekerasan dalam sebuah hubungan yang terbaik boleh jadi tidak dapat dikenali sebelumnya.

Petito, wanita berusia 22 tahun itu dibunuh saat mereka sedang berlibur. Laundrie kembali ke Florida, AS, setelah membunuh sang tunangan.

Dilansir di laman Insider, Ahad (24/10), orang tua Petito melaporkan sang anak hilang pada 11 September. Kemudian lebih dari sepekan, Petito baru ditemukan tewas dengan sebab dicekik. Tak lama, Laundrie juga dipastikan tewas.

Keluarga Petito mendirikan Yayasan Gabby Petito pada Oktober untuk menyalurkan dukungan kepada kasus orang hilang dan menawarkan bantuan keuangan kepada korban kekerasan rumah tangga. Para ahli mengatakan kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya bisa jadi dikenali.

"Pelaku adalah nanipulator dan tentu saja, yang selamat tidak memilih untuk berada dalam hubungan yang kasar, tetapi begitu Anda mulai dimanipulasi dan disorot, itu adalah hubungan yang sulit untuk dilepaskan karena orang cenderung dicuci otaknya," kata pakar hubungan, Jaime Bronstein kepada Insider.

Tetapi ada tanda yang bisa dicermati terkait seseorang yang kemungkinan ada dalam hubungan tidak sehat. Berikut tanda hubungan beracun beserta saran yang sebaiknya dilakukan:

1. Mulai memisahkan diri dari teman dan keluarga

Jika seseorang sudah tampak jarang membalas pesan, panggilan, atau cara menarik diri lainnya, itu bisa menjadi tanda peringatan kekerasan yang dialami dalam hubungannya. Korban juga dapat berhenti berpartisipasi dalam kegiatan hobinya di luar rumah. Menurut psikoterapis, Babita Spinelli, mengatakan pelaku sering berusaha keras untuk menjauhkan pasangan mereka dari keluarga dan teman. 

Psikoteapis, Ashley McGirt, juga mengatakan bahwa dia melihat kasus di mana pelaku mengubah nomor kontak korban di telepon mereka. Penarikan diri dari teman dan aktivitas juga dapat terjadi karena korban merasa malu dengan situasi dan mencoba melindungi keluarga mereka. "Mereka benar-benar tidak ingin membebani (keluarga atau teman)," kata McGirt.

2. Menjadi tidak percaya diri

Spinelli mengatakan para korban bisa berubah dari sifat bersemangat dan percaya diri menjadi pemalu, cemas, sampai takut untuk membuat keputusan sendiri. "Ketika Anda diberi tahu berulang kali, 'Anda tidak berharga,' Anda mulai percaya itu benar," kata McGirt.

Penelitian menunjukkan stres dan isolasi pandemi terkait dengan peningkatan kekerasan pasangan. Jika seorang teman tidak berbicara tentang pasangannya, itu bisa menjadi tanda bahwa mereka dalam bahaya. “Karena mereka melindungi pelaku pasangan dan merasa takut jika seseorang mengetahui apa yang sedang terjadi," kata Bronstein. 

Spinelli mengatakan, korban juga bisa menganggap perilaku beracun pasangannya masuk akal atau sering mengalihkan pembicaraan tentang pasangan. Korban mungkin benar-benar percaya bahwa mereka berada dalam hubungan yang baik karena pelaku telah mencuci otak mereka.

Apa yang harus dilakukan?

McGirt mengatakan keluarga dan teman-teman yang mencurigai seseorang tengah berada dalam hubungan buruk, harus tetap menjalin kontak dengan orang terkait. Cobalah untuk lebih sering menelepon, mengunjungi orang itu jika situasinya aman.

Ajak mereka berbincang melalui video sehingga dapat melihat lebih banyak situasi atau tanda-tanda kekerasan fisik. Jangan takut untuk memanggil penegak hukum jika memang diperlukan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement