Ahad 24 Oct 2021 10:31 WIB

Kementerian Agama, Benarkah Hadiah Khusus untuk NU?

Menag pertama RI adalah lulusan Al Azhar dan Universitas Sorbonne, Prancis,

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Lukman Hakiem, Politisi Senior, Mantan Staf Ahli Wapres Hazmah Haz dan M Natsir, dan Penulis Sejarah Umat Islam.

Pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang menyebut Kementerian Agama sebagai "hadiah khusus" dari Pemerintah Republik Indonesia untuk Nahdhatul Ulama (NU), menuai polemik.

Dalam pernyataannya saat webinar memperingati Hari Santri yang diselenggarakan PBNU, Rabu (20/10), Yaqut mengatakan, "Kemenag itu hadiah negara untuk NU bukan untuk umat Islam secara umum, tetapi spesifik untuk NU. Jadi wajar jika NU memanfaatkan peluang yang ada di Kemenag," ujar Yaqut, sebagaimana dikutip dari berbagi situs berita,

Yaqut juga menjelaskan, lahirnya Kemenag dilatarbelakang oleh penghapusan Piagam Jakarta, yang berisi, "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Usulan ini, menurut Yaqut, berasal dari NU, sehingga lahirlah Kemenag.

 

Awalnya, kata Yaqut, ada yang tidak setuju Kemenang hadir untuk melindungi semua agama, melainkan Kementerian Agama Islam, karena Kemenag adalah hadiah negara untuk umat Islam.

Pernyataan Yaqut mendapat respons keras dari tokoh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Muhammadiyah, Anwar Abbas. Dalam keterangannya di laman berita yang sama, Anwar mengatakan apa yang diucapkan Yaqut sebagai ananiyah hizbiyyah (egoisme kelompok) yang bisa menyinggung kelompok lain di luar NU.

Tetapi, kata Anwar Abbas, "ada bagusnya kehadiran dari pernyataan ini. Karena dengan adanya pernyataan tersebut menjadi terang benderanglah bagi kita semua warga bangsa, mengapa para pejabat di Kemenag dan juga para pegawainya dari atas sampai ke bawah, serta juga rektor UIN dan IAIN di seluruh Indonesia, nyaris semuanya dipegang dan diisi oleh orang-orang NU."

Anwar Abbas juga mengingat pernyataan Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siradj, yang menyatakan urusan agama harus dipegang oleh orang NU. "Cara berpikir dan cara pandang seperti ini, kalau kita kaitkan dengan masalah kebangsaan dan pengelolaan negara, tentu jelas sangat naif dan tidak mencerminkan akal sehat," katanya.

         

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement