Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image saman saefudin

Belajar Tak Tamak dari Pedagang Kecil

Agama | Saturday, 23 Oct 2021, 10:33 WIB
Sumber gambar: https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/pedagang-pinggir-jalan-_120812134451-812.jpg

Kalau Anda bingung memulai belajar hidup jujur dan bersyukur dengan apa yang ada, tengoklah orang-orang kecil. Pergilah ke pasar di mana puluhan pedagang kecil saling berjejer di sudut-sudut dan tepi jalur pembeli, menawarkan dagangan dengan ramahnya. Yang mereka jual tidak banyak, ada yang jual gemblong, pisang, nangka, ikan panggang, tempe dan tahu, kerupuk, singkong, hingga lontong. Tetapi dari yang sedikit itu, mereka juga tak tergiur untuk merauk untung besar, apalagi sampai mengeksploitasi pembeli yang sedang butuh.

Pagi ini, aku kembali disuguhi dengan pemandangan yang semakin mahal ini. Usai berbelanja sayur dan kebutuhan dapur lainnya, aku mampir ke penjual lontong. Penjualnya belum terlalu tua, mungkin kisaran 35 usianya, tubuhnya kurus tapi tampak sehat. Dia menyajikan satu keranjang kecil berisi lontong, berjejer dengan emak-emak tua yang menjajakan sedikit sayuran. “Monggo Mas, satu lima ratus,” sambutnya ramah. Aku hanya butuh sedikit lontong untuk menemani gorengan khas Tegal yang lebih dulu kubeli. “Enam biji aja, Mas”.

Penjual dengan cepat membukus enam biji lontong. Aku menyerahkan uang nominal lima ribu perak. “Kembaliannya ambil aja, Mas”. Tapi dia menolak, dan sibuk mencari uang kembalian di tas pinggangnya yang butut. Aku langsung bergegas saja ke parkiran motor, tak memperdulikannya. Baru saja mau starter motor, bahuku ditepuk. Kupikir tukang parkir, ternyata si penjual lontong, yang langsung mengulurkan tangannya. “Ini kembaliannya, Mas”.

Gusti Allah, kupikir masalahnya sudah selesai. Ternyata si penjual lontong ini sampai mengejar ke parkiran hanya untuk mengembalikan uang dua ribu perak. Aku pun terpaksa menerima kembali uang yang sudah kuikhlaskan, sambil menghela nafas. Kok ada ya orang begini. Yang mereka jual sedikit, keuntungannya pun aku yakin tidak banyak. Satu biji lontong yang aku beli, mungkin dia hanya mendapatkan untung 100 rupiah. Tapi kenapa dia tidak mau menerima uang kembalian yang kuikhlaskan. Toh nilainya juga hanya dua ribu, jumlah yang lebih sering ditaruh di sembarang tempat di rumah.

Padahal, kalau estimasi soal keuntungan tadi benar, dia harus menjual 20 biji lontong untuk bisa merauk untung dua ribu. Tapi tetap saja hadiah dua ribu yang kuberikan cuma-cuma dia tolak dengan halus tapi serius.

Ini adalah pengalaman ke sekian yang kudapatkan dari interaksi dengan pedagang kecil. Selang 15 menit sebelumnya, aku membeli 10 bungkus gemblong ketan, seharga total 30 ribu. Saat memasukkan gemblong dengan penutup daun pisang itu ke kantong kresek, si emak masih menambahkan dua bungkus sebagai bonus. Jadi, hari ini aku dipertemukan dengan dua pedagang kecil berhati mulia.

Entah kenapa, pengalaman seperti ini selalu mengusik batinku. Kenapa mereka, orang-orang kecil itu, selalu mahir mempertontonkan sikap jujur dan syukur dengan begitu tulusnya. Mungkin bagi orang-orang kota, perilaku mereka diangggap terlalu polos. Di setiap barang dagangan yang mereka jual, mereka juga menyajikan keramahan, simpati dan empati, perasaan cukup (qonaah), dan tentu kejujuran. Proses transaksinya masih lekat dengan citra tradisional khas desa, yang ramah tanpa dibuat-buat, kadang harga yang disepakati pun lebih sebagai harga rasa sedulur (harga miring, red).

Dalam konsepsi sosiolog Emile Durkheim, praktik berjualan mereka mungkin lebih menampilkan corak gemeinschaft (keguyuban), dengan interaksi yang amat personal. Suatu waktu saat hendak membayar, uang kita kurang seribu, mereka akan dengan entengnya memakluminya. “Sudah, gampang kalau ke sini lagi. Bawa aja barangnya”.

Coba, mungkinkah transaksi model begini Anda dapatkan di toko modern? Tak ada uang, barang harus dikembalikan. Bahkan, keramahan para kasir di toko modern, semanis apapun senyumnya, tetap saja tak mampu mengalahkan senyum sederhana ibu-ibu paruh baya penjual gemblong ketan.

Lebih dari itu, pengalaman berinteraksi dan bertransaksi dengaan pedagang kecil juga mengajarkan fakta penting lainnya: mereka tidak tamak! Mungkin karena kualitas syukurnya, mereka ridha memupuk keuntungan kecil sedikit demi sedikit. Mereka selalu merasa cukup dengan yang mereka dapat, tak perlu mengkhayalkan yang tidak ada. Sitik, sing penting berkah Mas.

Coba bandingkan dengan politisi atau pejabat yang korup. Aset kekayaan mereka mungkin sudah puluhan miliar, tetapi kita kaget saat menyaksikan berita: mereka tertangkap tangan KPK karena menerima gratifikasi Rp 100 juta. Kekayaan puluhan miliar tak membuatnya merasa cukup, sehingga masih tergoda dengan suap Rp 100 juta. Apa namanya kalau bukan tamak. Benar kata Nabi Saw., bahwa jika manusia diberikan satu lembah berisi emas, niscaya ia akan meminta lembah kedua, ketiga, dan seterusnya, tak pernah ada puasnya. Yang bisa mengakhiri itu hanyalah tanah (kematian).

Bandingkan dengan ucapan penjual lontong tadi saat mengembalikan uang dua ribu yang sebetulnya sudah kusedekahkan. “Nggak usah Mas, saya sudah dapat untung dari setiap lontong yang terjual”. Ya Rab, berkahilah kehidupan mereka, orang-orang kecil yang setia merawat sikap jujur dan syukur dengan indahnya. []

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image