Jumat 22 Oct 2021 06:18 WIB

Kebijakan Pendidikan Masih Dapatkan Rapor Merah

Pandemi covid berdampak pada ketimpangan dan kesenjangan pendidikan semakin lebar.

Rep: Puti Almas/ Red: Agus Yulianto
Sejumlah pelajar menunggu giliran untuk menjalani tes usap antigen di SDN 015 Kresna, Cicendo, Kota Bandung, Jumat (15/10). Pemerintah Kota Bandung melalui Dinas Kesehatan Kota Bandung dan Dinas Pendidikan Kota Bandung melakukan tes usap antigen secara acak bagi pelajar di sejumlah sekolah untuk memastikan kesehatan siswa dan mencegah terjadinya klaster penyebaran Covid-19 di sekolah selama Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT). Foto: Republika/Abdan Syakura
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Sejumlah pelajar menunggu giliran untuk menjalani tes usap antigen di SDN 015 Kresna, Cicendo, Kota Bandung, Jumat (15/10). Pemerintah Kota Bandung melalui Dinas Kesehatan Kota Bandung dan Dinas Pendidikan Kota Bandung melakukan tes usap antigen secara acak bagi pelajar di sejumlah sekolah untuk memastikan kesehatan siswa dan mencegah terjadinya klaster penyebaran Covid-19 di sekolah selama Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT). Foto: Republika/Abdan Syakura

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII) memberi pernyataan terkait evaluasi kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin selama dua tahun terakhir. PB PII mengatakan bahwa rapor tentang kebijakan pendidikan dalam kepemimpinan Jokowi - Ma’ruf masih mendapatkan nilai merah. 

Demikian terungkap benang merah dalam Webinar Konsolidasi Nasional; Membaca Potret Pendidikan Indonesia yang digelar pada Rabu (20/10). Ketua Umum PB PII Rafani Tuahuns mengatakan, kondisi pendidikan Indonesia saat ini semakin memprihatinkan. 

Menurutnya, sebelum pandemi virus corona jenis baru (Covid-19) terjadi dan berdampak di Tanah Air, pendidikan sudah mengalami ketimpangan. Karena itulah, kondisi kesenjangan pendidikan semakin lebar.

“Sebelum pandemi saja kita sudah melihat berbagai ketimpangan pendidikan antara yang di kota dan desa, antara yang kaya dan yang kurang mampu,” ujar Rafani, seperti dikutip dalam siaran pers yang diterima Republika, Kamis (21/10). 

Rafani mengatakan, kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang diberlakukan saat pandemi COVID-19 tidak diikuti dengan pemenuhan infrastruktur digital. Pada akhirnya, sebagian kelompok pelajar tidak merasakan proses belajar yang efektif.

“Setahun lebih terakhir kita melihat kondisi yang sangat miris, loss learning bisa mengarah pada loss generation,” ujar Rafani. 

Rafani juga menyampaikan berbagai data realitas pendidikan saat ini yang berada di ambang mengkhawatirkan, termasuk tentang angka partisipasi sekolah yang menurun dan angka putus sekolah yang memprihatinkan. Ia juga mengungkapkan berdasarkan hasil survei United Nation Internasional Children’s Emergency Fund (Unicef) bahwa selama pandemi di Indonesia, sebanyak 938 anak usia 7 hingga 18 tahun putus sekolah, dengan 74 persen disebabkan tidak ada biaya. 

Rafani menyebut, banyak kesulitan yang dialami oleh para pelajar di indonesia adalah karena PJJ yang mengharuskan mereka memiliki ponsel pintar dan kuota. Padahal, tak sedikit yang di antaranya berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi memprihatinkan, sehingga kesulitan untuk memenuhi hal itu. 

“Belum lagi  masih ada 11 persen wilayah di Indonesia yang belum terakses jaringan seluler, bagaimana bisa semua anak negeri merasakan proses belajar berbasis digital ini,” kata dia. 

Karena itu, Rafani mengatakan, kondisi darurat pendidikan ini disebabkan kebijakan dari Kementerian Pendidikan yang salah. Dia menegaskan, bahwa rapor merah ini harus segera diperbaiki. 

Ketua Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriawan Salim juga menyampaikan hal senada. Dia mengatakan, banyak kebijakan yang tidak tepat sasaran, sehingga kondisi pendidikan Indonesia seperti saat ini. 

“Di tengah pandemi, harusnya ada grand desain pendidikan. Ini karena tidak ada grand desainnya, tidak ada kebijakan untuk itu, maka kondisinya memprihatinkan seperti hari ini,” kata Satriawan.

Satriawan menyoroti kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim yang belum mendukung guru honorer. Dengan kekurangan guru 1.3 juta guru, menurutnya seharusnya guru-guru honorer mendapat perhatian serius. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement