Kamis 14 Oct 2021 18:23 WIB

Spin Off UUS Bank Sukarela Masuk dalam RUU P2SK

Kewajiban spin off sebelumnya diatur dalam UU Perbankan Syariah.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Friska Yolandha
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengajukan kebijakan perubahan kewajiban spin off bagi Unit Usaha Syariah (UUS) perbankan untuk dicantumkan dalam Rancangan Undang Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).
Foto: Dok. BTN
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengajukan kebijakan perubahan kewajiban spin off bagi Unit Usaha Syariah (UUS) perbankan untuk dicantumkan dalam Rancangan Undang Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengajukan kebijakan perubahan kewajiban spin off bagi Unit Usaha Syariah (UUS) perbankan untuk dicantumkan dalam Rancangan Undang Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Direktur Pengaturan dan Perizinan Perbankan Syariah OJK, Nyimas Rohmah mengatakan saat ini rancangan kebijakan masih dalam penyiapan.

"OJK telah mengusulkan hal tersebut kepada pemerintah, yakni melalui Kementerian Keuangan untuk diatur dalam RUU P2SK yang saat ini dalam tahap penyusunan," katanya dalam Virtual Seminar LPPI, Kamis (14/10).

Kewajiban spin off sebelumnya diatur dalam UU Perbankan Syariah. Sehingga perubahannya perlu dicantumkan dalam peraturan perundangan-undangan juga.

Kewajiban spin off pada 2023 ada dalam UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah. Ini kemudian diperjelas dalam PBI No.11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah yakni menyebut pemisahan UUS dari Bank Umum Konvensional dapat dilakukan dengan mendirikan Bank Umum Syariah (BUS) baru atau mengalihkan hak dan kewajiban UUS pada BUS yang sudah ada.

Dalam peraturan ini, modal disetor BUS hasil pemisahan paling kurang sebesar Rp 500 miliar dan wajib ditingkatkan secara bertahap menjadi paling kurang Rp 1 triliun. Pada 2020, OJK mengeluarkan POJK 59/POJK.03/2020 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemisahan UUS.

"Ini memuat skema mendirikan BUS baru, mengalihkan hak dan kewajiban pada BUS yang ada atau mengalihkan hak dan kewajiban pada BUK yang melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi BUS," katanya.

Peraturan terbaru tersebut menyebut pendirian BUS hasil pemisahan wajib memperoleh izin OJK dengan modal disetor paling sedikit Rp 1 triliun atau Rp 3 triliun. Nyimas mengatakan rencana spin off menjadi sukarela dan bukan kewajiban dimaksudkan untuk mempertahankan daya saing.

Direktur CIMB Niaga Syariah, Pandji P Djajanegara menyampaikan CIMB Niaga Syariah tetap memasang target untuk spin off meski tidak menjadi kewajiban. Ia menyebut, status sebagai UUS tentu lebih efektif dan efisien apalagi dengan adanya kebijakan leveraging dari layanan induk.

"Apa pun nanti, spin off atau tidak itu sama-sama baik, yang penting regulasi yang ada harus mendukung berkembangnya bank syariah," katanya.

Pandji menilai, otoritas perlu terus memberikan lingkungan yang mendukung agar perbankan syariah bisa lari lebih kencang. Ia membandingkan dengan Malaysia yang punya kesamaan waktu awal pendirian industri bank syariah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement