Jumat 01 Oct 2021 19:28 WIB

Literasi Digital Sebagai Counter Cyber Radicalization

Gerakan literasi perlu dilakukan konsisten untuk membentuk budaya melek digital.

Sejumlah anak membaca buku. (Ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah anak membaca buku. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam peringatan Hari Literasi Internasional 2021 pada bulan September ini, UNESCO mengusung tema Literacy for a human-centered recovery: Narrowing the digital divide, dengan menitikberatkan pada interaksi literasi dan keterampilan digital untuk menghapus kesenjangan literasi di tengah masifnya teknologi digital.

Hal ini tentunya harus kita sambut. Mengencarkan minat baca masyarakat untuk membangun literasi digital yang mumpuni di tengah distrupsi teknologi informasi. Meski tak mudah, tetapi gerakan literasi ini perlu dilakukan secara konsisten, untuk membentuk budaya melek digital guna mencegah radikal terorisme di Indonesia.

Dalam laporan Digital 2021 yang dilakukan We Are Social, disebutkan pengguna internet di Indonesia persentasenya cukup tinggi, yakni mencapai 73,7 persen dari 274,9 juta jiwa, dengan rata rata menghabiskan waktu selama 8 Jam 52 Menit di Sosial Media. Meskipun Indonesia memiliki intervensi digital yang baik, namun menurut data statistik UNESCO (2017), Indonesia berada di peringkat ke-60 paling rendah terkait tingkat literasi dari total 61 negara. Ini yang harus kita waspadai di tengah masifnya informasi, kita tidak memiliki kompetensi untuk menelaah informasi secara bijak.

Kurangnya kesadaran menggunakan media sosial dengan bijak membuat maraknya hoaks dan ujaran kebencian yang tentunya akan mempengaruhi persatuan dan stabilitas sebuah negara. Suka tidak suka, kemajuan teknologi komunikasi mempercepat proses radikal terorisme seseorang melalui sosial media. Bahkan di tengah kondisi pandemi wabah Covid-19, virus radikal terorisme terus menyebar di sosial media.

Munculnya Zakiah Aini, sebagai lone wolf terrorist pada Maret lalu, mengindikasikan bahayanya propaganda radikal terorisme di media sosial. Dengan mudahnya wanita muda berusia 25 tahun ini terkena self-radicalization. Zakiah secara aktif mencari konten-konten radikal terorisme di dunia maya.

Self-radicalization merupakan sebuah fenomena radikalisasi yang semakin meningkat terjadi di era digital. Fenomena ini terjadi karena terpaan internet yang semakin memudahkan individu untuk bersentuhan dan mendalami konten-konten radikal di dunia maya.

Zakiah tidak memiliki garis komando dan jaringan nyata, namun interaksi individu di dunia maya menjadikan dirinya lebih mudah terpapar dengan konten radikal terorisme tanpa harus berinteraksi secara langsung. Ya, internet sebagai ruang bebas, dapat dijadikan jaringan teroris untuk terus menggemakan propaganda terorisme sehingga paparan yang terus-menerus menjadikan seseorang terpapar propaganda radikalisasi dengan frekuensi lebih tinggi.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement