Jumat 01 Oct 2021 18:39 WIB

Relawan: Covid-19 Bukan Prioritas di Palestina

Covid-19 bukan prioritas di Palestina karena warga lebih khawatir bom Israel

Rep: Wahyu Suryana/ Red: A.Syalaby Ichsan
Road Show MRI -ACT DIY Bersama Ustadz Muhammad Husein Gaza di DIY.
Foto: Dok ACT DIY
Road Show MRI -ACT DIY Bersama Ustadz Muhammad Husein Gaza di DIY.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Aktivis kemanusiaan yang tinggal di Gaza, Palestina, Muhammad Husein menilai, empat bulan sejak serangan Israel sudah banyak sekali kerusakan di Palestina. Di Gaza, selain infrastruktur, siklus ekonomi berhenti membuat pengangguran.

Sebab, Israel tidak hanya memberikan ancaman keamanan, tapi menghalangi proses masuknya bahan baku pembangunan. Ironis, karena saat negara-negara lain dunia sedang berperang menghadapi pandemi, Covid-19 bukan prioritas utama di Palestina.

"Di Palestina, bukan itu prioritas kami karena bom atau peluru bisa mendarat kapan saja. Dengan keadaan berperang seperti ini, fasilitas untuk menunjang kesehatan sangat terbatas," kata Husein dalam Bigbang 2021 Center for Medical Activities yang digelar Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (UII).

Husein menjelaskan,  fasilitas seperti rumah sakit, obat-obatan, dokter maupun perawat di Palestina sangat terbatas. Meski begitu, masyarakat  Palestina masih berusaha untuk tetap mematuhi protokol kesehatan yang dikeluarkan WHO.

Husein mengajak masyarakat Indonesia jangan berat hati membantu warga Palestina, baik secara psikis maupun materi. Sebagai bagian umat Islam, ia menekankan, permasalahan yang dihadapi bangsa Palestina memang merupakan persoalan kita semua."Niatkan beramal baik karena harta yang sesungguhnya harta yang disedekahkan," ujar Husein.

Relawan medis yang sudah lama berkiprah dalam misi-misi kemanusiaan, dr Arief Rachman, membagikan pengalaman saat terjun langsung ke daerah konflik seperti Jalur Gaza. Arief juga menceritakan pengungsi Suriah yang butuh uluran kemanusiaan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat, saat ini terdapat sebanyak 6 juta pengungsi dalam negeri dan 4,8 juta pengungsi di luar Suriah. Ia mengingatkan, banyaknya pengungsi luar Suriah awalnya diterima negara-negara seperti Turki.

"Kini, Turki menerapkan Closed Border Policy akibat terlalu banyaknya jumlah pengungsi," kata Arief.

Arief menerangkan, saat ini hanya ada satu negara yang masih mengizinkan pengungsi untuk masuk ke dalam negara mereka yaitu Lebanon. Khususnya, penduduk bagian utara yang sukunya masih memiliki hubungan darah dengan Suriah.

Organisasi besar seperti Hizbullah yang sangat memiliki pengaruh sosial besar di Lebanon sangat mendukung Suriah. Namun, ada masalah, apakah pengungsi yang masuk ke Lebanon merupakan pendukung dari Presiden Bashar al Assad atau bukan.

"Masalah di daerah-daerah pengungsian sangat kompleks, khususnya terkait kesehatan dengan tingginya kasus infeksi saat musim panas maupun semi. Pada musim tersebut, angka kematian ibu hamil dan anak-anak sangat tinggi," ujar Arief.

Meski begitu, Arief menambahkan, ada sesuatu yang membuatnya takjub. Sebab, meskipun masyarakatnya terus berada di tengah berlangsungnya konflik, ia menyaksikan kalau pendidikan Alquran dan hadis sangat kuat.

Indonesia sendiri tidak angkat tangan terkait isu sosial tersebut. Sebab, Indonesia diketahui menyalurkan bantuan melalui International NGOs dan pemerintah sendiri berusaha untuk terus membangun hubungan diplomasi. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement