Jumat 01 Oct 2021 14:49 WIB

Ekonom: Deflasi September Masih Tunjukkan Tren Pemulihan

BPS mencatat, pada September 2021 terjadi deflasi sebesar 0,04 persen.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Pedagang menata sayuran-sayuran di Pasar Senen, Jakarta, Senin (1/8).  BPS mencatat, pada September 2021 terjadi deflasi sebesar 0,04 persen.
Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana
Pedagang menata sayuran-sayuran di Pasar Senen, Jakarta, Senin (1/8). BPS mencatat, pada September 2021 terjadi deflasi sebesar 0,04 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai, laju deflasi yang terjadi pada September 2021 masih menunjukkan tren perbaikan ekonomi. Sebab, beberapa kelompok pengeluaran yang menjadi penyumbang inflasi mulai menunjukkan peningkatan.

BPS mencatat, pada September 2021 terjadi deflasi sebesar 0,04 persen. Yusuf mengatakan, deflasi tersebut terjadi lebih karena penurunan harga bahan pangan.

"Tidak ada momentum yang kuat untuk inflasi makanan terutama di minggu terakhir September," kata Yusuf kepada Republika.co.id, Jumat (1/10).

Yusuf lebih menekankan pada inflasi kelompok transportasi sebesar 0,01 persen dan mulai memberikan andil inflasi 0,07 persen. Selain itu, inflasi penyediaan makanan dan minuman atau restoran sebesar 0,02 persen dengan andil hingga 0,25 persen.

"Ini yang menarik karena mulai nampak kenaikan inflasinya dan ini tidak terlepas dari mobilitas masyarakat yang semakin besar karena pelonggaran aktivitas dari pemerintah. Ini merupakan kabar baik," kata Yusuf.

Menurut dia, adanya inflasi transportasi mencerminkan pegerakan masyarakat di luar rumah yang mulai mengalami peningkatan. Sementara inflasi restoran kemungkinan karena masyarakat mulai jenuh dengan aktivitas yang terbatas.

Hal itu menjadi awal yang baik untuk memasuki periode kuartal keempat tahun ini. Sebab, kata Yusuf, mesin ekonomi mulai bergerak secara perlahan dan diharapkan kembali meningkatkan pertumbuhan ekonomi di kuartal IV.

Namun, di sisi lain, hal tersebut perlu diwaspadai. Berkaca pada situasi Februari tahun ini, kurva kasus Covid-19 mulai melandai yang diikuti dengan kenaikan mobilitas. Namun, beberapa bulan setelahnya Indonesia mengalami ledakan kasus Covid-19 dan menjadi gelombang kedua.

"Ini seperti deja vu sehingga ini perlu diantisipasi jangan sampai pelonggaran mobilitas yang dilakukan berujung pada kenaikan kasus kembali, karena itu berarti bisa akan menghadapi gelombang ketiga," kata dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement