Selasa 28 Sep 2021 23:30 WIB

Perdana Menteri Jepang yang Baru Harus Bekerja Cepat

Perdana Menteri Jepang yang berikutnya memiliki tugas yang berat

Rep: Lintar Satria/ Red: Christiyaningsih
 Kandidat pemilihan presiden dari Partai Demokrat Liberal yang berkuasa berpose sebelum konferensi pers bersama di markas besar partai di Tokyo, Jepang, Jumat, 17 September 2021. Para pesaing dari kiri ke kanan, Taro Kono, menteri kabinet di penanggung jawab vaksinasi, Fumio Kishida, mantan menteri luar negeri, Sanae Takaichi, mantan menteri dalam negeri, dan Seiko Noda, mantan menteri dalam negeri. Kampanye pemilihan resmi dimulai Jumat untuk ketua baru partai pemerintahan Jepang LDP, yang pemenangnya hampir dipastikan menjadi perdana menteri Jepang berikutnya.
Foto: AP/Kimimasa Mayama/Pool European Pressphoto A
Kandidat pemilihan presiden dari Partai Demokrat Liberal yang berkuasa berpose sebelum konferensi pers bersama di markas besar partai di Tokyo, Jepang, Jumat, 17 September 2021. Para pesaing dari kiri ke kanan, Taro Kono, menteri kabinet di penanggung jawab vaksinasi, Fumio Kishida, mantan menteri luar negeri, Sanae Takaichi, mantan menteri dalam negeri, dan Seiko Noda, mantan menteri dalam negeri. Kampanye pemilihan resmi dimulai Jumat untuk ketua baru partai pemerintahan Jepang LDP, yang pemenangnya hampir dipastikan menjadi perdana menteri Jepang berikutnya.

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Perdana Menteri Jepang yang berikutnya memiliki tugas yang berat. Pengganti Yoshihide Suga yang dipilih Rabu (29/9) ini harus mengatasi terpuruknya ekonomi karena pandemi, menjalankan peran militer yang lebih besar saat negara-negara tetangga kian berbahaya, dan memperkuat hubungan dengan para sekutu.

Pemilihan ketua Liberal Democratic Party biasanya dilakukan dalam negosiasi ruang tertutup. Pemilihan kali ini menjanjikan pemilihan ketua lebih terbuka. Karena partai itu menguasai parlemen maka ketuanya akan menjadi perdana menteri.

Baca Juga

Siapa pun yang menang harus segera membawa ide segar untuk menarik dukungan publik. Terutama karena pemilihan parlemen majelis rendah akan dilakukan dua bulan lagi.

Dua perempuan yakni Sanae Takaichi dari faksi konservatif dan Seiko Noda dari faksi liberal bersaing dengan menteri vaksin Covid-19 Taro Kono dan mantan menteri luar negeri Fumio Kishida. Takaichi yang mendapat dukungan dari mantan perdana menteri Shinzo Abe dan pandangan yang konservatif dan revisionis mendapat dukungan dengan cepat. Sementara kesempatan Noda memenangkan pemilihan memudar.  

Pengamat politik mengatakan dukungan Abe pada Takaichi adalah upaya untuk memperbaiki citra partai yang kerap dianggap seksis. Selain itu juga untuk memecah suara Kono yang dianggap eksentrik dan reformis.

Menurut pengamat politik dari Universitas Tokyo, Yu Uchiyama, perdana menteri yang baru tidak akan melakukan banyak perubahan kebijakan. Semua kandidat mendukung kerja sama keamanan Jepang-Amerika Serikat. Para kandidat itu memiliki pandangan serupa mengenai negara-negara demokrasi di Asia dan Eropa, selain untuk menahan pengaruh Cina yang terus tumbuh di banyak kawasan.

Kono dan Kishida adalah mantan diplomat tinggi. Dua kandidat itu dan Noda menekankan dialog dengan China sebagai negara tetangga dan mitra dagang yang penting. Sementara keempat kandidat juga mendukung 'hubungan praktis' dengan Taiwan yang diklaim China.

Mereka juga mendukung langkah untuk bergabung dengan blok perdagangan Kemitraan Trans-Pasifik dan organisasi internasional lain. Dalam serangkaian debat, keempat kandidat tidak hanya membahas diplomasi, ekonomi, energi, dan pertahanan tapi kesetaraan gender dan seksualitas yang jarang dibahas LDP yang didominasi pria.

Sosiolog dan pengamat kebijakan publik Institut Teknologi Tokyo Ryosuke Nishida mengatakan, keputusan memasukkan gender dan keragaman dalam debat menunjukkan tanda-tanda LDP tahu tidak lagi bisa mengabaikan isu-isu tersebut. Takaichi adalah satu-satunya kandidat yang menentang perubahan undang-undang yang memaksa pasangan menikah hanya menggunakan satu nama keluarga. Ia juga berjanji berkunjung ke Kuil Yasukuni untuk menghormati tentara yang tewas di Perang Dunia II.

Kunjungan pejabat-pejabat Jepang ke kuil tersebut kerap membuat China dan Korea Selatan marah. Pasalnya kedua negara menganggap kuil tersebut didirikan untuk para penjahat perang. Kandidat lain menahan diri untuk tidak mengunjungi kuil tersebut demi menghindari ketegangan dengan dua negara tetangga.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement