Senin 27 Sep 2021 17:02 WIB

Pertanian Tebu Indonesia Butuh Keberpihakan

Tanaman tebu perlu lahan khusus agar produktivitasnya meningkat.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Lahan tebu
Foto: Ari Bowo Sucipto/Antara
Lahan tebu

REPUBLIKA.CO.ID,

SLEMAN -- Indonesia saat masih Hindia Belanda pernah menjadi eksportir gula terbesar kedua dunia setelah Kuba pada era 1930-an. Saat itu, produksi gula mencapai 2,9 juta ton per tahun dengan area perkebunan tebu 196 ribu hektar.

Namun, 90 tahun kemudian pada 2020 dengan area lebih dari dua kali lipatnya, produksi gula hanya mencapai 2,5 juta ton. Bahkan, sejak 1970-an, Indonesia tidak lagi menjadi negara eksportir, namun malah jadi negara pengimpor gula.

Guru Besar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof Azwar Maas merasa, tantangan PTPN meningkatkan produktivitas gula nasional tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebab, tanaman tebu perlu lahan khusus agar produktivitasnya meningkat.

Tanah di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi dianggap cocok untuk tebu. Namun, di Jawa tidak banyak lahan bisa dikonversi ke perkebunan karena terbatas dan untuk HGU sulit karena tidak semua pemda mampu menyediakan lahan di atas 10 ribu hektare.

Kinerja pabrik gula milik BUMN juga masih dalam berjuang dan bertahan di tengah dunia bisnis dan berbagai kendala dari budi daya, pascabudi daya, dan pengelolaan. Karenanya, pengembangan produksi gula nasional perlu dukungan dan keberpihakan.

Sebab, di negara-negara lain penanam tebu justru mendapat subsidi pemerintah. Contoh terdekatnya Thailand yang bisa ekspor karena kelebihan produksi, ada campur tangan pemerintah yang pro tebu, bahkan subsidi sampai 30 persen.

"Keberpihakan pemerintah ini kita tunggu kapan masanya bisa dapat seperti itu," kata Azwar dalam webinar Problematika Kebijakan dan Revitalisasi Industri Gula Nasional.

Guru Besar Bidang Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian UGM, Prof Irham menuturkan, setiap kebijakan harus berbasis riset. Kebijakan selama ini kurang berbasis riset dan kurang konsolidasi yang melibatkan pabrik tebu secara aktif.

Ia berharap, suatu saat PTPN bisa menjadi perusahaan berbasis riset seperti perusahaan di negara-negara maju. Sehingga, menjamin bibit yang berkulitas dan tepat waktu, menjamin ketersediaan pupuk, dan menjamin waktu tebang yang benar.

"Kemudian, transportasi tebu ke penggilingan yang tepat waktu dan adanya peningkatan kesejahteraan petani," ujar Irham.

Direktur Utama PTPN III, Mohammad Abdul Ghani mengatakan, produksi kini berasal dari 35 pabrik gula dari 45 yang masih beroperasi. Pertengahan Agustus, semua pabrik di bawah PTPN digabung ke perusahaan nasional PT Sinergi Gula Nusantara.

Penggabungan lewat holding company ini diharapkan bisa meningkatkan kemandirian produksi gula nasional. Adanya holding ini dikarenakan selama ini ada penurunan kapabilitas, kapasitas dari SDM, dan budaya kerja di pabrik gula milik PTPN.

Transformasi menyeluruh ini agar tercapai kemandirian industri gula nasional. Pada 2024, produksi ditarget 3,2 juta ton untuk gula konsumsi, sedangkan gula untuk produk makanan dan minuman belum sanggup karena masih keterbatasan lahan.

Untuk menggenjot produksi gula nasional tersebut, mereka menambah area baru lahan perkebunan tebu hingga 250 ribu hektare bekerja sama Perhutani. Dilakukan pula pembenahan bibit tebu agar lebih berkualitas dan menaikkan produktivitas.

"Ada persoalan soal bibit. Seluruh lahan kemitraan dengan petani nantinya menggunakan bibit yang tersertifikasi," kata Ghani.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement