Senin 27 Sep 2021 02:56 WIB

Proyek Penjara Mesir dan Ironi Pelanggaran HAM

Presiden Mesir membangun penjara terbesar di saat banyak pelanggaran HAM

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Nur Aini
Penjara di Mesir
Foto: Middle East Eye
Penjara di Mesir

REPUBLIKA.CO.ID, -- Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi pada 15 September 2021 lalu telah mengumumkan rencana untuk meresmikan kompleks penjara terbesar. Pengumuman itu diungkapkan dalam panggilan telepon dengan acara bincang-bincang "9:00" di Channel 1 milik negara.

Saat itu, Sisi mengatakan bahwa kompleks tersebut mencakup delapan penjara di Wadi El-Natrun, 100 km (62 mil) dari Kairo. Ia ingin membangun kompleks penjara dengan 'gaya Amerika'. Menurutnya, tahanan akan menjalani hukuman dengan cara yang manusiawi dalam hal pergerakan mereka, perawatan kesehatan dan kemanusiaan, budaya dan reformasi mereka.

Baca Juga

Pengumuman tersebut dilakukan di tengah seruan terus-menerus pada pemerintahannya untuk membebaskan ribuan tahanan politik. Beberapa hari sebelum mengumumkan peresmian kompleks penjara terbesar di Mesir, El-Sisi meluncurkan strategi hak asasi manusia nasional pertama negara itu.

Pengumuman rencana penjara El-Sisi ini dinilai kontras dengan strategi HAM yang diluncurkannya. Dalam sebuah artikel di Middle East Eye, dilansir Ahad (26/9), Rania al-Malky, mantan pemimpin redaksi Daily News Egypt (2006-2012), menyebut rencana penjara El-Sisi itu semakin menambah luka pada ribuan tahanan di penjara Mesir.

Menurutnya, ironi itu tidak hilang pada puluhan ribu tahanan politik Mesir dan keluarga mereka. Ia menyoroti acara ekstravaganza hak asasi manusia selama tiga jam yang dimulai dengan sebuah dokumenter.

Baca juga : Pakistan Izinkan Maskapai Afghanistan Kembali Beroperasi

Delapan menit fiksi dokumenter mengemas semuanya. Seorang perempuan Kristen menuntut kebebasan untuk menjalankan imannya, seorang gadis kecil menuntut pendidikan; seorang anak laki-laki meminta perlindungan dari segala bentuk kekerasan. Mereka bahkan menyelipkan seorang tahanan yang menuntut rehabilitasi saat dia dengan rajin melakukan pekerjaan sehari-harinya di fasilitas penahanan yang sempurna.

Dalam dokumenter itu, narator mencantumkan pencapaian yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang sengaja dikurung dengan upaya tanpa henti militer untuk mengendalikan teroris jahat, kurikulum agama yang direvisi, peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik dan peradilan, undang-undang yang melindungi anak-anak, kerukunan antaragama, dan perumahan yang terjangkau bagi pasangan muda yang bahagia.

Namun demikian, narasi yang dikemas apik dalam dokumenter itu berbanding terbalik dengan kenyataan. Dalam hal ini, Rania al-Malky menyoroti pelanggaran HAM yang terjadi di Mesir. Menurut catatan, lebih dari 630 situs web diblokir di Mesir, termasuk 118 outlet media berita dan 16 yang berkaitan dengan masalah hak asasi manusia.

Al-Malky menyebutkan kondisi buruk penjara Mesir yang terdokumentasi dengan baik, termasuk penyiksaan sistemik terhadap tahanan yang dimungkinkan oleh banyak kebijakan penahanan sewenang-wenang massal dan tanpa proses hukum. Di samping itu, ditemukannya kondisi yang kejam dan tidak manusiawi, mulai dari kurangnya akses ke air bersih dan makanan, hingga kurungan isolasi yang berkepanjangan, kemudian akses perawatan kesehatan yang terbatas dan bahkan penghentian pengobatan.

Menurut laporan 2020 oleh jaringan LSM hak asasi manusia internasional Ifex, 917 tahanan meninggal di tempat-tempat penahanan di Mesir antara Juni 2013 dan November 2019, dengan peningkatan drastis pada 2019. Laporan tersebut mencatat bahwa 677 dari kematian itu disebabkan oleh kelalaian medis, dan 136 karena penyiksaan.

Baca juga : Italia: Mustahil Akui Pemerintahan Taliban di Afghanistan

Sebuah panel independen ahli Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dilaporkan menggambarkan jatuhnya mendadak hingga berakhir kematian dari presiden Mesir yang terpilih secara demokratis, Mohamed Morsi, di pengadilan pada 2019 sebagai bentuk potensial dari pembunuhan sewenang-wenang yang disetujui negara.

Morsi ditahan tanpa komunikasi selama berminggu-minggu setelah pemecatannya dalam kudeta militer yang dipimpin oleh panglima militer saat itu Sisi pada 3 Juli 2013, setahun setelah masa jabatannya. Seorang pelapor khusus PBB menggambarkan penolakan perawatan kesehatan untuk Morsi, yang menderita diabetes dan hipertensi, sebagai sesuatu yang disengaja.

Menurut al-Malky, kematian Morsi ini adalah gejala dari kelalaian yang disengaja yang diderita oleh sekitar 60.000 tahanan politik di Mesir. Menurut laporan April 2021 oleh Jaringan Informasi Hak Asasi Manusia Arab, sejak revolusi 2011, jumlah penjara di negara itu melonjak menjadi 78, naik dari 43.

Karena itu, al-Malky memandang betapa ironisnya ketika Sisi ingin model fasilitas Mesir yang baru dan lebih baik pada sistem yang penuh dengan pelanggaran hak asasi manusia secara implisit dan eksplisit, bentuk perbudakan modern dan penahanan massal yang tidak dapat dibenarkan. Menurutnya, sistem peradilan pidana di negara itu berlawanan dari memprioritaskan hak asasi manusia di atas keuntungan politik dan uang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement