Ahad 26 Sep 2021 15:44 WIB

Mau Jadi Alat Pembayaran, Pedulilindungi Harus Lakukan Ini

Pemerintah diminta menyelesaikan persoalan perlindungan data masyarakat.

Konsumen bertransaksi menggunakan Quick Response Indonesia Standard (QRIS) di salah satu kedai kopi rumahan di UMKM Skema Coffe, Lebak, Banten, Kamis (9/9). Peneliti ekonomi senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy mengatakan aplikasi PeduliLindungi berpotensi meraih keuntungan besar jika menjadi alat pembayaran digital.
Foto: Antara/Muhammad Bagus Khoirunas
Konsumen bertransaksi menggunakan Quick Response Indonesia Standard (QRIS) di salah satu kedai kopi rumahan di UMKM Skema Coffe, Lebak, Banten, Kamis (9/9). Peneliti ekonomi senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy mengatakan aplikasi PeduliLindungi berpotensi meraih keuntungan besar jika menjadi alat pembayaran digital.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti ekonomi senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy mengatakan aplikasi PeduliLindungi berpotensi meraih keuntungan besar jika menjadi alat pembayaran digital. Pasalnya, penggunaan metode pembayaran nontunai bakal terus meningkat ke depannya.

"Potensinya cukup luas karena Indonesia diproyeksikan sebagai salah satu negara ekonomi digital terbesar dalam beberapa tahun ke depan. Jadi, penggunaan mata uang digital pembayaran nontunai akan semakin banyak diminati oleh masyarakat,"katanya kepada Antara di Jakarta, Ahad (26/9).

Yusuf menyebut pembayaran nontunai memang menjadi pilihan masyarakat, terutama selama pandemi COVID-19. Pembayaran nontunai dilakukan untuk menghindari kontak fisik yang berpotensi menjadi salah satu sumber penyebaran virus tersebut.

Selain itu, perkembangan e-commerce saat ini yang menerima pembayaran nontunai membuat masyarakat menjadi lebih terbantu. Sehingga hal itu mendorong masifnya penggunaan pembayaran digital.

"Data terakhir menunjukkan nilai transaksi pembayaran nontunai itu mencapai sekitar Rp 160 triliun pada 2020, sementara volume transaksinya mencapai Rp 12 miliar. Jadi, memang kenaikannya itu cukup signifikan," ujarnya.

Melihat potensi besar itu, Yusuf menilai wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan ingin menjadikan PeduliLindungi sebagai alat pembayaran digital. Kendati demikian, ia menyarankan pemerintah terlebih dahulu membenahi masalah keamanan datanya.

Sejumlah data-data masyarakat Indonesia selama satu tahun terakhir berhasil diakses pihak tidak bertanggung jawab, termasuk di aplikasi PeduliLindungi. "Ada beberapa kelompok masyarakat yang belum memahami secara utuh terkait pembayaran nontunai dan risiko yang ada di apa di baliknya. Jadi, menurut saya memang risiko dan masalah keamanan data ini masih harus dibenahi terlebih dahulu," tutur dia.

Selain itu, Yusuf menilai penggunaan PeduliLindungi sebagai alat pembayaran digital tidak mempengaruhi minat masyarakat untuk melakukan vaksinasi. Menurutnya, masyarakat akan lebih terdorong melakukan vaksinasi jika diberikan insentif. 

Oleh karena itu, ia menyarankan pemerintah untuk lebih menggencarkan sosialisasi vaksinasi COVID-19 dan memastikan distribusi vaksin hingga ke pelosok daerah. "Memang agak sedikit ya hubungannya antara memasukkan layanan pembayaran digital dengan minat vaksinasi masyarakat. Yang tidak kalah penting bagaimana distribusi vaksin karena bisa saja kesediaan masyarakat untuk vaksinasi itu tinggi tapi terganjal distribusi," kata Yusuf.

Sebelumnya, Menko Luhut menginginkan aplikasi PeduliLindungi yang dikembangkan Kementerian Kominfo menjadi alat pembayaran digital. Pasalnya, Indonesia telah berhasil menggarap QRIS yang digagas Bank Indonesia.

Pemanfaatan PeduliLindungi sebagai sistem pembayaran, katanya, merupakan dukungan untuk meningkatkan inklusi keuangan digital guna memperluas pasar produk-produk lokal, seperti UMKM. Sehingga, pasar digital Indonesia lebih siap dan berdaya saing baik dari sisi hulu maupun hilir.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement