Jumat 24 Sep 2021 14:38 WIB

Nelayan Sepakat Tolak Tarif Baru PNBP

Para pelaku usaha tangkap ikan dan nelayan mengalami kondisi yang sulit.

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Muhammad Fakhruddin
Nelayan Sepakat Tolak Tarif Baru PNBP (ilustrasi).
Foto: ANTARA/Dedhez Anggara
Nelayan Sepakat Tolak Tarif Baru PNBP (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,INDRAMAYU -– Para nelayan yang tergabung dalam Gabungan Organisasi Nelayan Nusantara (GONN) sepakat menolak tarif baru Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) bagi kapal tangkap ikan. Penetapan tarif baru itu seperti yang diatur dalam PP Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

GONN terdiri dari unsur organisasi kenelayanan yang berada di tanah air, di antaranya Serikat Nelayan Tradisional (SNT), Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia (PPNSI), Himpunan nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama (SNNU), Yamitra dan lainnya.

Ketua GONN yang juga Ketua SNT, Kajidin, mengatakan, penolakan tersebut didasari atas kondisi usaha tangkap ikan yang sedang lesu (slowdown). Sejak berlangsungnya pandemi Covid-19, para pelaku usaha tangkap ikan dan nelayan mengalami kondisi yang sulit.

 ‘’Nelayan kita bisa bertahan hidup di masa pandemi separti sekarang saja sudah bagus, sekarang malah ada kenaikan tarif PNBP,’’ kata Kajidin kepada Republika, Jumat (24/9).

Kajidin mencontohkan, salah satu kapal nelayan yang berukuran 139 GT di Desa Karangsong, Kecamatan/Kabupaten Indramayu, baru saja mengajukan perpanjangan SIPI pada September 2021. Pada tahun sebelumnya, PNBP yang harus dibayar sebesar Rp 124.234.725. Namun pada tahun ini, PNBP yang harus dibayar mencapai Rp 201.444.360.

‘’Itu sangat memberatkan,’’ tukas Kajidin.

Kajidin menambahkan, di masa pandemi ini, harga ikan kerap anjlok hingga mencapai 30 persen. Sedangkan di sisi lain, harga  perbekalan nelayan justru naik sampai 20 persen. Menurutnya, sudah hampir dua tahun ini para pelaku usaha bertahan dengan kondisi tersebut.

Belum lagi adanya perubahan alam yang berdampak pada lambatnya nelayan dalam mencari ikan di laut. Mereka butuh waktu berbulan-bulan bahkan ada yang sampai sembilan bulan untuk mencari ikan di laut.

‘’Pemerintah bukannya memberi dukungan dan perhatian kepada pelaku usaha ikan tangkap dan nelayan, malah menaikkan tarif PNBP,’’ keluh Kajidin.

Hal senada disampaikan oleh Ketua PPNSI, Robani Hendra Permana. Dia pun mengeluhkan sikap pemerintah yang dinilainya tidak  tepat menaikkan PNBP di tengah kondisi usaha yang sedang lesu.

‘’Hasil tangkap ikan dan harga ikan sedang turun, pelaku usaha malah dipaksa untuk membayar PNBP yang lebih tinggi,’’ tutur Robani.

Menurut Robani, pemerintah seharusnya lebih fokus pada sisi hilir perikanan dan mendorong tumbuhnya sentra pengolahan produk perikanan. Dengan demikian, hal itu bisa menciptakan lapangan pekerjaan baru dan memberikan nilai tambah (added value) bagi perikanan di Indonesia.

Ketua HNSI Kabupaten Indramayu , Dedi Aryanto, menyampaikan kata sepakatnya untuk menolak kebijakan yang tidak pro pada nelayan. Dia mengungkapkan, sektor lain seperti pariwisata dan pertanian, mendapat subsidi dan relaksasi dari pemerintah, namun nelayan malah dibebani dengan kenaikan tarif PNBP.

‘’Nelayan tidak disubsidi juga tidak masalah, yang penting batalkan kenaikan tarif itu,’’ tegas Dedi.

Sekjen SNNU Jawa Barat, Fauzan Adzim, menambahkan, seharusnya pemerintah memberikan solusi untuk menstabilkan harga ikan dan membangun pusat pengelolaan hasil tangkap di masing masing pelabuhan.

‘’Pemerintah juga semestinya membenahi minimnya sarana pelabuhan sehingga ikan  hasil tangkap dapat terserap lebih banyak dan pada akhirnya harga ikan lebih stabil,’’ cetus Fauzan.

Untuk itu, GONN meminta kepada pemerintah untuk membatalkan berlakunya PP Nomor 85 Tahun 2021. Hal tersebut demi menjaga keberlangsungan usaha para nelayan di tanah air. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement