Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yenie Wulandari. S.Sos., MA

Melepas Belenggu Pandemi

Lomba | Thursday, 23 Sep 2021, 18:53 WIB
image : pribadi

Ketika organisasi Kesehatan Dunia secara resmi menyatakan dalam konferensi pers (11/03/2020) bahwa COVID-19 sebagai pandemi pada Maret 2020 dalam sambutannya di konferensi pers pada 11 Maret 2020, Direktur Jenderal WHO Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan “Pandemi bukanlah kata yang bisa dianggap enteng atau sembarangan. Itu adalah kata yang jika disalahgunakan dapat menyebabkan ketakutan yang tidak masuk akal, atau penerimaan yang tidak dapat dibenarkan bahwa pertarungan telah berakhir, yang mengarah pada penderitaan dan kematian yang tidak perlu”(11/03/2020).

Dan seketika itu juga, pandemi terus mempengaruhi kehidupan kita secara dramatis, termasuk hubungan kita dengan orang lain di komunitas kita, keluarga, rumah, hingga tempat kerja. Di banyak tempat di seluruh dunia, pandemi COVID-19 berarti hidup terus-menerus di bawah kendali. Ketika kami berjalan keluar dari pintu, kita dituntut untuk tidak lengah. Bahkan berbelanja bahan makanan pun bisa terasa penuh dengan bahaya. Selain itu, banyak orang takut akan pekerjaan dan masa depan mereka.

Pandemi Menuju Endemi

Sudah hampir dua tahun kita mencoba terbiasa dengan kondisi pandemi ini. Namun Ketika gaung endemi mulai terdengar, banyak yang akhirnya memiliki harapan untuk sebuah kehidupan lain di luar lingkaran COVID-19 yang penuh kebingungan.

Berita Kontan Nasional menuliskan bahwa Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam Konferensi Pers Perpanjangan PPKM secara virtual telah memaparkan, rencana pemerintah supaya Indonesia dapat masuk masa transisi dari pandemi menjadi endemi. Dari sisi hulu yaitu mengintensifkan vaksinasi pada bulan ini sampai Oktober 2021 menjadi sebanyak 2,5 juta suntikan per hari, mendisiplinkan 3M, mengakselerasi testing dan tracing (21/09/2021).

Pandemi dan epidemi adalah fenomena sosial. Akibatnya, akhir mereka terjadi dalam dua cara. Ada kesimpulan medis dari sebuah pandemi, ketika kejadian penyakit turun dan tingkat kematian menurun. Tetapi ada juga akhir sosial, ketika ketakutan akan infeksi berkurang dan pembatasan sosial dilonggarkan.

Ada dua hal yang mungkin terjadi. Pertama, tingkat virus COVID-19 mungkin turun, lebih sedikit orang akan dirawat di rumah sakit dan meninggal, kecemasan orang dapat berkurang, dan kehidupan dapat kembali normal. Atau bisa tetap sama, tetapi orang-orang mulai merasa muak dan bosan dengan pembatasan dan memberanikan diri mereka melebur diri dalam keramaian.

Beberapan himbauan yang dikumandangkan selama ini terkait pada penggunaan masker di tempat umum, menghindari pertemuan dalam ruangan yang besar hingga mencuci tangan sesering mungkin. Namun ketika arahan resmi dan akal sehat telah menimpa pilihan individu, terlalu sering mereka bertabrakan dengan ketidakpedulian, kemarahan dan pembangkangan ketika situasi tidak berangsur membaik. Ya, kita juga harus ingat bahwa virus COVID-19 adalah penyakit global dan bahwa tempat yang berbeda akan memiliki kesimpulan sosial dan medis yang berbeda untuk versi pandemi masing-masing.

Mungkin beberapa sudah membaca diberbagai artikel bahwa pandemi flu Spanyol tahun 1918 disebut sebagai salah satu pandemi yang paling mematikan dalam sejarah. Menurut BBC wabah ini telah menewaskan sekitar 40 hingga 50 juta manusia dalam dua tahun. Bahkan peneliti dan sejarahwan menulis bahwa sepertiga penduduk dunia telah terkena penyakit tersebut. Dan sama seperti hari ini, saat itu warga dikenakan pembatasan sosial dan diperintahkan untuk memakai masker (29/04/2020).

Pandemi virus COVID-19 hari ini, tentu saja, berbeda dengan penyebaran influenza di seluruh dunia pada tahun 1918 karena paling tidak saat ini kita memiliki beberapa vaksin yang dinilai cukup efektif. Namun, sementara vaksin telah memainkan peran penting dalam upaya masa lalu untuk mengendalikan penyakit menular, kemampuan mereka untuk mengakhiri pandemi dengan cepat dan pasti jauh lebih terbatas. Jutaan dari kita telah kehilangan sebagian, atau bahkan semua, dari cara normal kita melihat orang lain. Dan itupun dilakukan untuk dapat menjaga satu sama lain tetap aman.

Ketika negara-negara kaya terus memvaksinasi diri mereka sendiri, berakhirnya pandemi bagi mereka mungkin datang relatif cepat. Tapi bagaimana dengan seluruh dunia? Kapan negara berkembang akan melihat kesimpulan serupa?

Menurut Kompas (01/078/2021) sekitar 94.119 nyawa hilang di Indonesia, krisis COVID telah menghasilkan pelajaran serius tentang penolakan manusia terhadap perubahan, bahkan dalam menghadapi konsekuensi yang menghancurkan. Ketika COVID-19 tiba-tiba mengubah hidup kita di awal tahun 2020, hal itu memisahkan kita hampir sepenuhnya dari rutinitas dan peristiwa yang biasanya mengakar kehidupan kita pada waktunya seperti pekerjaan, sekolah, kencan, acara sosial, olahraga acara, upacara, perjalanan, hal-hal yang kita rencanakan dan nantikan. Hidup cenderung kabur tanpa jangkar itu.

Bagi sebagian orang, pandemi COVID-19 mungkin terasa sudah berakhir. Bagi yang lain, mungkin terasa seperti tidak akan pernah berakhir. Kita tahu dari sejarah bahwa pandemi memang harus berakhir pada akhirnya, tetapi kapan tepatnya ini akan berakhir, dan apa yang diperlukan untuk akhirnya "kembali normal?"

Sudah banyak yang kehilangan dan hampir kehilangan dalam perang ini. Saya pribadi, juga kehilangan seseorang yang saya kasihi tahun ini. Ayah saya, sosok yang membentuk hati saya untuk menjadi pribadi yang tabah dan kuat dalam menjalani hidup. Walau beliau tidak terkena COVID-19, namun tetap, saya pun bisa merasakan bagaimana sedihnya ditinggal orang yang kita cintai selama-lamanya.

Tetapi seperti banyak rekan kita, pandemi telah mengintensifkan perasaan kita tentang bagaimana kita ingin menjalani sisa hidup kita. Usia ayah saya saat itu hampir 74 tahun. Dan saya cukup bersyukur dapat menghabiskan waktu terakhir dengan melihatnya meninggal damai di tidurnya. Mungkin banyak mereka yang berduka karena COVID-19 hal tersebut adalah hal yang tidak dapat mereka lakukan.

Penghargaan Makna Hidup

Kita sudah mencoba mengadopsi kebiasaan baru, belajar dan bekerja melalui konferensi video, menjadikan jarak sosial sebagai kebiasaan sehari-hari dan masker menjadi item fashion. Tetapi melalui pandemi ini akhirnya muncul kesadaran bahwa ada banyak hal yang kita lewatkan yaitu kesenangan sederhana dalam hidup. Seperti mendapatkan burger favorit kita bersama teman, atau sekadar bisa bertemu langsung dengan mereka.

Tapi kita semua rindu itu bukan? Tak sedikit orang meminta normalitas dari keseharian yang dijalani, namun apakah normalitas itu akan sama seperti sebelumnya? Mungkin beberapa hal yang akan saya sampaikan ini akan menjadi sebuah angan, namun saya lebih inginkan ini menjadi kenyataan.

Di dunia global pra-pandemi, kami menikmati tingkat kepercayaan tertentu yang sebagian besar kami anggap remeh. Dahulu kita dapat melakukan perjalanan hampir tanpa batasan, bertemu orang tanpa batasan, dan memesan produk di seluruh dunia. Dan ini secara mendadak berubah setelah miliaran orang harus tinggal di dalam rumah selama berminggu-minggu.

Rumah kita mungkin telah menjadi tempat perlindungan dengan cara yang tidak kita duga sebelumnya. Hal kecil yang kini hilang seperti berkebun, hiking, berjalan melalui taman, atau hanya menjulurkan kepala kita keluar dari pintu depan untuk mencari udara segar dan sinar matahari dalam alam bebas tetap menjadi tempat pelarian yang layak. Dunia mungkin sudah tidak ada lagi seperti yang pernah kita ketahui.

Kesehatan mental

Selain itu, hidup melalui pandemi global telah mendorong perubahan dramatis dalam pekerjaan kita, kebiasaan makan, pengasuhan anak, dan bahkan waktu bersama kita. Kita juga tidak akan bisa melakukan perjalanan sebebas itu dengan begitu mudah. Kita akan berpikir dua kali sebelum pergi ke suatu tempat atau bertemu seseorang. Pandemi sudah memperburuk tanda-tanda kecemasan sosial dan agoraphobia. Menurut Anxiety and Deppression Association of America, orang yang menderita agoraphobia biasanya adalah orang yang memiliki gejala gangguan kepanikan. Tirto.id menyebutkan bahwa gangguan kecemasan ini terlihat di mana seseorang akan merasa takut, dan menghindari tempat atau situasi yang dianggap dapat membuat panik, terjebak, tidak berdaya, dan malu. Dan COVID-19 telah memicu gangguan ini (14/04/2020). Untuk mendapatkan kembali kepercayaan membutuhkan waktu dan tren ini akan berlangsung selama berbulan-bulan walau setelah pembatasan dicabut kembali.

Beberapa merenungkan apakah masyarakat akan terbiasa dengan isolasi dan apakah orang harus mempelajari kembali keterampilan sosial. Bahkan psikolog mengatakan kecemasan yang disebabkan oleh pandemi kemungkinan akan berlanjut karena ketakutan akan tertular COVID-19 tidak akan hilang dalam semalam. Menurut Ketua Umum Ikatan Psikolog Klinis Indonesia Indria Laksmi Gamayanti melalui Republika menyatakan bahwa sebanyak 14.619 individu baik dewasa dan anak-anak yang dilaporkan telah mengakses layanan psikolog klinis (22/10/2020).

Kegiatan praktis seperti mengendarai mobil atau naik kereta api mungkin terasa aneh, dan bagi banyak dari kita, keinginan untuk melanjutkan hobi dan kebiasaan lama seperti nongkrong di kafe, pesta makan malam dengan teman dan keluarga yang mungkin diwarnai dengan kekhawatiran tentang apakah itu benar-benar bijaksana untuk bersosialisasi dalam kontak dekat dengan orang lain.

Tetapi bagi yang lain, perubahannya mungkin lebih dalam. Sifat pandemi yang tidak terduga dan kedatangannya yang tiba-tiba yang mengganggu hidup kita akan meninggalkan beberapa pertanyaan apakah dunia masih merupakan tempat yang aman. Karena fakta bahwa kita telah mengalami pandemi dalam hidup kita, bagi banyak orang yang akan menggoyahkan keyakinan mereka akan stabilitas dunia

Interaksi Sosial

Kita bisa berharap untuk melihat banyak perubahan ketika kita kembali pada rutinitas parca pandemi. Di mulai dari kafe favorit yang tidak bertahan dari penutupan hingga sapaan antar teman yang sekarang terdiri dari anggukan atau lambaian tangan, daripada pelukan yang berlebihan. Kehilangan kontak tatap muka dengan orang-orang yang lebih dekat dari biasanya dapat membuat stres yang mungkin mengkhawatirkan, menakutkan, atau bahkan tak tertahankan.

Sebelum virus COVID-19 mendominasi hidup kita, banyak dari kita mungkin menganggap remeh interaksi manusia. Menghabiskan waktu dengan orang yang kita cintai sekarang, bagaimanapun, telah menjadi pusat perhatian. Terlepas dari frustrasi yang mungkin ditimbulkan oleh kurungan sehari-hari, penting untuk merenungkan apa arti keluarga dan teman-teman kita bagi kita.

Pada saat kita semua menghadapi ketidakpastian dan kekhawatiran yang berkelanjutan tentang virus COVID-19, tekanan pada hubungan kita ini mungkin semakin sulit untuk diatasi. Jadi ada baiknya mencoba ekstra sabar dan pengertian, baik dengan satu sama lain dan juga diri kita sendiri.

Saya masih ingat ketika melakukan ciuman pertama saya kepada keponakan saya melalui ponsel, karena seperti banyak interaksi selama pandemi, hal itu terjadi bukan secara langsung tetapi di layar. Itu berarti bahwa sebagian besar hidupnya hanya terlihat di layar ponsel saat ia tumbuh menjadi balita. Dan saya salah satu yang beruntung: Saya tidak perlu mengucapkan selamat tinggal kepada seseorang di FaceTime atau menyampaikan berita terburuk kepada seseorang melalui telepon.

Dan dengan atau tanpa disadari, banyak dari kita dipaksa atau memaksakan diri untuk duduk di depan layar komputer kita selama berjam-jam. Kita sudah hidup di dunia platform yang terpisah. Platform mendikte apa yang kita lihat berdasarkan apa yang menurut platform ingin kita lihat. Mereka menopang kesombongan mengenal kita lebih baik daripada kita. Dan sekarang pandemi semakin mengasingkan kita semua. Saya berharap isolasi yang kita alami ini tidak akan menghambat kemampuan kita untuk terhubung satu sama lain.

Ada beberapa lelucon yang beredar bahwa mereka bahkan akan memeluk musuh mereka jika memungkinkan. Ya, bagi mereka yang tinggal di sebuah ruang kecil sendirian, salah satu hal yang paling dilewatkan adalah interaksi antar manusia. Beberapa dari kita mungkin akan mengatakan bahwa kita tidak sabar untuk pulang dan bertemu keluarga atau mengunjungi kerabat. Namun saat ini hal itu terbatasi demi menjaga jarak sosial yang dianggap dapat menyelamatkan hidup seseorang.

Tak bisa dipungkiri manusia memang makhluk sosial, sudah kodratnya untuk bisa berinteraksi satu sama lainnya. Bertemu maya akhirnya menjadi normalitas baru yang dipaksakan untuk sekedar melihat fisik tanpa menyentuh sehelai rambut kawan lainnya. Maraknya main bareng atau sering disebut mabar hingga dini hari menjadi satu hal yang merekatkan hubungan persahabatan anak-anak kita dan lainnya sekedar memainkan jemari di layar HP untuk melihat postingan terbaru teman kita yang durasinya kini semakin singkat saja.

Jadi mungkin pandemi telah mengajarkan kita bahwa kita tak bisa hidup tanpa orang lain. Kita pernah menganggap remeh rencana makan siang dengan teman atau keluarga. Namun kini saya pasti akan mengatakan ‘ya’ untuk lebih banyak peluang yang saya tunda di masa lalu.

Canda gurau itu tak akan lengkap rasanya tanpa sedikit tepukan atau cubitan jahil dari sobat kita diluar sana. Ingin rasanya melihat seringai jahil seseorang atau tawa mereka saat kita lontarkan lelucon tentang hal konyol yang tak mendasar. Jadi, salah satu hal tersulit selama pandemi ini ada yaitu ketika persahabatan menjadi sesuatu yang berbahaya. Bahaya disaat temu bersama tak bisa ditemani oleh masker atau sanitizer.

Beberapa waktu ini, saya belajar bahwa koneksi tak terasa sama ketika jarak memisahkan kita. Dan mungkin di luar sana, ada yang melanggar aturan itu setidaknya sekali ataupun dua untuk bisa menjalin koneksi lebih dalam lagi. Jadi mungkin, ketika pandemi ini akhirnya mungkin usai, perayaan pertama adalah merayakan koneksi yang tadinya meregang. Interaksi fisik itu akan melipatganda dan menjadi candu untuk beberapa waktu mendatang.

Terbebas melangkah kembali

Sebenarnya sangat unik bagaimana otak kita bekerja, kita sering menginginkan apa yang tidak bisa kita dapatkan. Atau apa yang secara khusus diperintahkan untuk tidak kita lakukan. Saat pra-pandemi, hal yang paling diinginkan adalah menghabiskan banyak waktu di rumah, berbaring sembari mendengarkan musik atau melakukan streaming film. Dan bom, seketika keinginan itu terpenuhi setahun terakhir ini. Dan kini sebagian besar sudah merasa jengah terkukung dalam rutinitas itu.

Dengan penutupan perbatasan di tengah pandemi, salah satu hal terbaik dalam hidup kita yang telah dirampas adalah kebebasan untuk menjelajahi berbagai tempat. Untuk bergerak di sekitar kota dan negara atau mendapatkan inspirasi dengan mengubah zona nyaman kita. Mungkin banyak orang yang tidak sabar untuk meninggalkan kota dan pergi ke suatu tempat yang jauh dari tempatnya berada.

Mengapa kita merasa ingin berpergian? Apakah kesembatan menambah posting di Instagram kita? Mungkinkah bertemu orang baru dari tempat baru yang menarik? Atau sesuatu pada tingkat yang jauh lebih dalam yang membuat kita kembali lagi, selalu mendorong diri kita sendiri untuk melihat lebih banyak, makan lebih banyak.

Siapa pun yang pernah terbang dengan maskapai menggunakan potongan diskon pasti mengerti arti kata "sabar". Tindakan berpindah dari satu tempat ke tempat lain bisa menjadi rintangan yang tampaknya tidak dapat diatasi, dengan penundaan penerbangan, kehilangan bagasi, turun di halte kereta yang salah, atau pengemudi bus mogok.

Perjalanan mengajarkan kita bahwa ketika segala sesuatunya menantang atau jika semuanya berjalan salah, kita harus mengikutinya dan membuat rencana baru, tanpa membiarkannya memengaruhi perjalanan tersebut. Menghadapi perjuangan ini secara langsung membuat kita merasa berhasil dan puas yang akhirnya menjadi pengalaman gila yang menjadi kenangan terbaik.

Berita yang kita lihat di sosial media atau televisi pasti memiliki cara untuk membuat dunia tampak seperti tempat yang menakutkan. Meskipun kita harus selalu waspada terhadap lingkungan sekitar kita dan himbauan keselamatan di negara-negara tertentu, kenyataannya adalah bahwa bahkan di dalam negara-negara yang tampak sangat asing atau menakutkan, mungkin ada banyak keindahan juga.

Sebagian besar perjalanan memaksa kita untuk menaruh kepercayaan pada kebaikan orang asing. Saat menanyakan arah jalan, rekomendasi restoran terbaik di kota, atau bertukar cerita dengan teman baru ketika kita kembali, kita harus terus-menerus mengandalkan orang lain, banyak di antaranya bahkan mungkin tidak berbicara bahasa yang sama. Saat menukar uang di pasar, berjalan di jalan yang tidak dikenal, atau naik bus, kita masih harus mengandalkan kebaikan orang lain.

Sulit untuk takut pada suatu wilayah atau negara setelah kita berinteraksi dengan cara seperti ini. Melihat orang asing menjalani hidup mereka, tersenyum dan tertawa, mencuci pakaian mereka, berjalan-jalan dengan anjing mereka, berbagi es krim dengan anak-anak mereka, duduk di bangku dengan orang yang lebih tua, semua pengalaman ini memperumit perasaan benci atau prasangka kita, sehingga akan mungkin membuat perasaan itu hilang sepenuhnya. Ini memungkinkan kita untuk terbuka, percaya, mendobrak hambatan budaya, dan mengubah orang asing menjadi manusia lain.

Ketakutan akan kontak langsung dengan virus yang akhirnya membuat kita memutuskan untuk diam ditempat, sehingga traveling menjadi hal yang kembali masuk whishlist kita. Selain itu berkuliner di luar juga akhirnya berangsur terbatasi. Banyak akhirnya memutuskan untuk masak dan makan di rumah. Namun kebosanan yang muncul seringkali membuat kita akhirnya menggunakan jasa pengiriman makanan. Tetap saja, sensasi yang di rasakan berbeda. Menikmati berbagai kuliner dan mengunjungi tempat makan menjadi salah satu kesenangan yang tersendiri.

Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa menghabiskan waktu di luar ruangan menurunkan detak jantung dan tekanan darah, menurunkan hormon stres, dan meredakan ketegangan otot. Sebuah studi dari University of Michigan di tahun 2007 menemukan bahwa orang yang berjalan di luar seminggu sekali merasa lebih sedikit stres dan melaporkan lebih banyak emosi dan perasaan positif. Studi lain yang dilakukan oleh Stanford menemukan bahwa efek pengurangan stres ini terutama terjadi ketika orang berjalan di luar ruangan melalui daerah berhutan, dibandingkan dengan jalan-jalan yang sibuk. Keluar rumah untuk makan siang bisa menjadi pendorong suasana hati yang alami. Berada di dalam ruangan hampir sepanjang hari terkait dengan tingkat depresi dan kecemasan yang lebih tinggi.

Saya rindu bisa menyegarkan diri dengan menarik napas dalam-dalam dan disambut aroma kopi bercampur aroma berbagai rempah-rempah. Namun yang paling saya rindukan adalah perasaan berada di sekitar orang, memperhatikan tingkah polah mereka.

Kebiasaan itu akhirnya juga dihilangkan selama pandemi. Begitu juga menonton konser musik, turnamen olahraga atau bahkan ke mall. Kebiasaan dan kegemaran yang mungkin menjadi hal yang sangat di tunggu jika memang pandemi telah usai. Konser pertama saya adalah menonton Gigi, saat itu kerumunan besar di salah satu area paling strategis di Bandung. Mendengar dentuman musik dan bergoyang mengikuti iramanya menjadi sensasi yang menyenangkan. Beberapa teman saya pun akan tak segan membeli tiket menonton sepak bola favoritnya. Berteriak di tempat duduk dan mendukung tim mereka sembari ikut mengumpat jika tim lawan mulai beraksi nakal.

Dan hal lain yang saya akan lakukan jika pandemi ini usai adalah pergi ke bioskop. Saya ingin masuk dan mencium dan mendengar popcorn meletus, membeli sendiri makanan ringan yang mahal. Dan mungkin saya juga akan dengan senang hati menonton trailer dan mencatat film-film yang mungkin ingin saya tonton selanjutnya. Saya hanya perlu duduk di ruangan gelap bersama orang lain dan menikmati apa yang dulunya merupakan pengalaman normal tanpa harus khawatir tentang apa pun selain film yang kita semua tonton di sana. Saya sering berpikir kembali ketika saya melihat Avengers: Endgame di teater Cineplex yang penuh sesak ketika pertama kali dirilis seperti saya seorang wanita tua yang mengenang masa lalu yang indah. Saya tidak akan pernah melupakan antisipasi yang gamblang, sorakan kolektif, terengah-engah, dan isak tangis yang terdengar. Ya, betapa aku merindukan energi bersama semacam itu.

Tantangan Dunia Kesehatan

Namun ada sejumlah kemungkinan masa depan, semuanya bergantung pada bagaimana pemerintah dan masyarakat merespons virus COVID-19 dan dampak ekonominya. Semoga krisis ini dapat kita manfaatkan untuk membangun kembali, menghasilkan sesuatu yang lebih baik dan lebih manusiawi. Berapa perubahan di masa yang akan dapat akan berdampak pada sisi kesehatan, pendidikan dan pekerjaan

Dalam beberapa hal, COVID-19 akan dikenang sebagai kejayaan ilmu biomedis. Beberapa telah mengembangkan vaksin yang aman dan efektif. Hal yang dahulu baru bisa dilakukan selama satu dekade atau lebih, kini dapat diselesaikan dalam waktu setahun. Dan, terlepas dari sejumlah kendala, menurut CNN (26/08/21), kematian COVID-19 di Indonesia masih salah satu yang tertinggi di dunia. Dan yang paling memprihatinkan adalah bahwa Indonesia sempat disebut sebagai episentrum wabah COVID 19 di wilayah Asia. Bahkan tenaga medis sampai kelelahan dan tak sedikit yang akhirnya gugur menjadi pahlawan kesehatan dalam melawan COVID-19.

Memang COVID-19 telah memberikan gambaran yang menyeramkan di mana kita telah gagal menciptakan dunia yang memberikan ketenangan. Cukup lama kita bergelut dengan kebingungan, kesedihan dan bahkan keputusasaan dalam menghadapi situasi ini. Setelah pandemi usai, kita pasti akan lebih banyak berdiskusi tentang bagaimana mencegah pandemi selanjutnya di masa yang akan datang, dimana kita bisa memastikan masa depan yang lebih sehat. Tapi apakah kita akan berpikir tentang kesehatan dalam arti yang lebih besar?

Mungkin dulu kita kurang melakukan investasi untuk menciptakan lingkungan yang sehat, Pendidikan yang memadai, ruang kerja yang aman dan upah yang layak huni, sehingga akhirnya negara yang tidak sehat dan terimpas rentan akibat virus baru. Tak usah malu melihat kondisi ini, negara yang tergolong maju seperti Amerika pun memiliki tingkat infeksi COVID-19 per kapita tertinggi selama pandemi. Dilansir dari berita Pikiran Rakyat (05/08/21) Amerika menduduki peringkat pertama negara dengan kasus aktif COVID-19 tertinggi di dunia.

Momen ini seharusnya mengajarkan kita untuk menghindari gelombang pandemik lainnya dan mengharuskan kita untuk memikirkan kembali bagaimana Langkah kita terkait bidang kesehatan. Ini adalah pengakuan bahwa kita tidak bisa sehat, kecuali kita membangun dunia dengan perumahan yang aman, sekolah yang baik, upah yang layak, kesetaraan gender dan ras, udara bersih, air minum, ekonomi yang adil.

Tantangan Dunia Kerja

Selama beberapa dekade, tantangan bagi orang tua yang bekerja sangatlah mudah: Bagaimana cara menemukan penitipan anak yang terjangkau? Bagaimana cara mengantar anak saya ke dan dari sekolah? Apa keseimbangan yang baik antara waktu yang saya habiskan untuk bekerja versus kehidupan rumah?

Tetapi setahun setelah pandemi COVID-19, tidak ada lagi pekerjaan sebagai orang tua yang jelas. Jumlah pertimbangan telah membengkak termasuk menimbang apakah penitipan anak merupakan risiko kesehatan dan bagaimana menangani pekerjaan di rumah sementara anak-anak melakukan sekolah online. Bagi orang tua yang masih harus bolak-balik ke tempat kerja, situasinya semakin rumit. Satu-satunya hal yang konstan akhir-akhir ini tentang menjadi orang tua yang bekerja terutama menjadi ibu yang bekerja, karena para ibu memikul beban pandemi ini secara tidak proporsional.

Bagi orang-orang yang dapat bekerja dari rumah selama pandemi, efek disorientasi itu diperparah oleh batas yang runtuh antara pekerjaan dan rumah, dan hari kerja yang sekarang lebih lancer. Pertanyaan terkait Kapan hari dimulai dan berakhir ketika Anda tidak pernah bisa benar-benar meninggalkan dunia maya kantor pandemi?

Dan pandemi juga mempercepat pembahasan tentang bagaimana tempat kerja dapat dan harus berkembang. Saya pikir pelajaran yang kita pelajari tahun ini hampir pasti akan mengarah pada fleksibilitas yang lebih besar dalam jangka panjang. Terlepas dari dislokasi yang memilukan, sebagian besar karyawan jarak jauh mengatakan bahwa ketika pandemi akhirnya berakhir, mereka akan menginginkan pilihan tempat mereka bekerja, dengan banyak yang lebih memilih perpaduan yang fleksibel antara kantor dan rumah. Itu adalah perubahan besar, yang harus dihadapi perusahaan selama bertahun-tahun. Ya, bisnis akan menghemat jutaan untuk utilitas dan sewa kantor. Dan ada juga penghematan produktivitas, hilang sebelum berjam-jam dihabiskan dalam rapat yang tidak perlu atau dalam perjalanan panjang.

Tahun ini membuktikan bahwa banyak pekerjaan yang bisa dilakukan dari jarak jauh. Itu juga memperjelas beberapa hal yang lebih baik dilakukan secara langsung seperti membangun ikatan, bimbingan, dan pembangunan hubungan baru. Setiap pekerja membutuhkan waktu dan ruang untuk bekerja dengan tenang, waktu dan ruang untuk rapat, dan waktu dan ruang untuk komunikasi informal dan lebih santai. Saat dulu rapat berlarut-larut hingga jam 7 atau 10 malam diadopsi dengan penggunaan virtual meeting yang sama melelahkannya karena ternyata bukan cara yang efektif untuk bekerja. Tidak ada waktu untuk berpikir, atau untuk benar-benar melakukan pekerjaan yang dihasilkan dalam pertemuan-pertemuan itu.

Perusahaan tampaknya akhirnya mengetahui bahwa karyawan mereka adalah manusia seutuhnya. Pekerjaan adalah bagian dari kehidupan mereka, dan kehidupan mereka di luar pekerjaan sangat penting dan berharga untuk kesejahteraan mereka.

COVID-19 juga memaksa organisasi untuk berubah. Ini memaksa mereka untuk lebih fleksibel, dan pengalaman itu menyoroti apa yang hilang di lingkungan yang 100% jauh. Tugas para pemimpin sekarang adalah berhenti, merefleksikan, dan merangkul apa yang kami temukan di tahun lalu, dan secara sadar membangun tempat kerja dan ruang kerja yang memanfaatkan pelajaran tersebut, untuk memungkinkan perusahaan mencapai tujuan mereka dan pekerja merasa terpenuhi.

Tapi kerugian dari membuat sistem Work Form Home (WFH) permanen bisa sama besar. Mereka yang baru memulai karir telah berjuang untuk menjadi produktif saat bekerja dari rumah. Dan penelitian menunjukkan bahwa kontak tatap muka sangat penting untuk menghasilkan ide-ide baru.

Tantangan Dunia Pendidikan

Dalam pergeseran ke pembelajaran jarak jauh telah menjadi bencana bagi sekolah yang menganut sistem tradisional. Distorsi terjadi ketika pembelajaran akhirnya beralih dari sekolah ke lingkungan rumah. Semua merasakan kesulitan dan kelelahan ketika harus mengganti sistem pembelajaran dalam jangka waktu singkat. Dari guru, siswa hingga para pendamping mereka di rumah. Tetapi ada juga bukti bahwa tinggal di rumah bermanfaat bagi banyak anak, menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana kita mendidik dan merawat mereka selama masa normal.

Namun memang, baik sebelum dan sesudah pandemi, berbagai penelitian telah menemukan bahwa pembelajaran jarak jauh online tidak dapat menggantikan pengalaman kelas. Kurangnya interaksi pribadi dan keterlibatan sosial tampaknya mengganggu retensi pengetahuan, dengan anak-anak yang lebih muda paling tidak mampu beradaptasi.

Sehingga akhirnya pandemi COVID-19 telah menghasilkan setidaknya satu hal positif yaitu apresiasi yang jauh lebih besar terhadap pentingnya sekolah umum. Ketika orang tua berjuang untuk bekerja dengan anak-anak mereka di rumah karena penutupan sekolah, pengakuan publik akan peran penting yang dimainkan sekolah dalam masyarakat telah meroket. Ketika kaum muda berjuang untuk belajar dari rumah, rasa terima kasih orang tua kepada guru, keterampilan mereka, dan peran mereka yang tak ternilai dalam kesejahteraan siswa, telah meningkat.

Sekarang adalah waktunya untuk memetakan visi tentang bagaimana pendidikan dapat muncul lebih kuat dari krisis global ini daripada sebelumnya dan mengusulkan jalan untuk memanfaatkan dukungan baru pendidikan di hampir setiap komunitas di seluruh dunia.

Renungan akhir kita

Sementara COVID-19 telah memunculkan tantangan dan ketidakpastian baru, pandemi juga menghasilkan beberapa pelajaran berharga. Tahun lalu, negara kita tidak hanya terperosok dalam satu krisis yang mendalam yaitu pandemi. Menghadapi semua ini telah mendominasi banyak energi, perhatian, dan bahkan emosi kita. Sudah jelas bahwa pandemi COVID-19 membuat orang merasa stres dan ketakutan. Itulah mengapa mungkin lebih penting dari sebelumnya untuk fokus pada rasa syukur dengan memperhatikan dan menyadari atas apa yang berharga dan berarti bagi kita. Ini baik untuk kesehatan mental dan fisik kita, dapat membantu kita rileks dan efeknya dapat membantu kita tetap sehat melalui pandemi virus COVID-19 dan seterusnya.

Meskipun tidak ada yang akan tidak senang jika kita secara ajaib dapat menghapus seluruh pengalaman pandemi ini, itu telah menjadi wadah hidup kita selama setahun, dan kita harus banyak belajar darinya. Setelah pandemi, hal pertama yang akan saya lakukan adalah merenungkan kesulitan yang disebabkan oleh pandemi dan menganjurkan kesiapan yang lebih baik untuk pandemi di masa depan.

Fakta yang disayangkan dari umat manusia adalah bahwa kita memiliki penyakit dan penyakit yang tidak membeda-bedakan. Mereka dapat mengancam hidup kita dan keberadaan kita di bumi. COVID-19 mengejutkan pemerintah dunia kita, dan saya merasa bahwa semua negara bagian di seluruh dunia telah berjuang keras untuk menemukan solusi dan ide yang akan ditanggung oleh generasi berikutnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image