Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aditya Budi S.

Menghargai Kehidupan

Lomba | Monday, 20 Sep 2021, 22:35 WIB
republika.co.id

Kehidupan memberikan segala hal bagi siapa saja yang mau mengambilnya. Saat pandemi mengganas kita semua dipaksa beralih ke berbagai macam kebiasaan baru. Mulai dari memakai masker, mencuci tangan, rutin olahraga hingga perihal menejamen pekerjaan.

Banyak dari kita yang menjalani Work From Home (WFH) termasuk juga membagi dan mengurangi jam kerja demi meminimalisir penularan covid-19. Fenomena WFH dan pengurangan jam kerja sejatinya memberi hikmah tersendiri.

Terkhusus bagi mereka yang bekerja formal, setidaknya selama pandemi justru memiliki waktu yang lebih untuk keluarga. Bercengkrama hangat dengan orang tua, saudara, anak, istri atau suami adalah momen yang nyaris jarang atau bahkan sulit untuk didapatkan sebelumnya. Tak lain sebagian besar karena kesibukan tuntutan bekerja yang hanya menyisakan akhir pekan untuk keluarga.

Pengurangan sebagian jam kerja – termasuk diganti dengan WFH – tidak selalu diidentikan dengan penurunan produktifitas perusahaan. Tahukah bahwa bekerja dengan waktu yang lama (long working hours) bahkan hingga lebih dari delapan jam, tidak menjamin pula produktifitas kerja meningkat.

Sebuah studi merilis negara-negara – kawasan nordik seperti Finlandia, Denmark, Swedia, Islandia dll – dengan jam kerja yang pendek dinobatkan sebagai negara yang paling berbahagia dengan produktifitas kerja yang tetap tinggi. Laporan Kebahagian Dunia (World Happiness Report) yang diterbitkan oleh PBB menunjukan bahwa kawasan negara nordik selalu konsisten sejak 2012 hingga 2021 ini selalu menduduki peringkat sepuluh besar bahkan lima besar.

Ukurannya tentu bermacam-macam. Tidak selalu berpatokan pada Produk Domestik Bruto semata namun juga mengukur interaksi sosial, rasa aman warganya atau kebijakan pemerintah yang sedemikian rupa memudahkan warganya. Filosofi hidup yang dianut masyarakat termasuk menjadi cerminan bagaimana negara tersebut menjadi bahagia.

Misalnya Denmark dengan tradisi Hygge sebagai salah satu prinsip kehidupan yang mengutamakan kenyamanan dan kebahagiaan. Dan nampaknya hari ini Hygge telah menyebar secara bertahap diamalkan oleh negara-negara semenanjung Skandinavia.

Hygge adalah semacam kebiasaan santai menikmati waktu sendiri atau bersama keluarga/saudara dengan ditemani secangkir kopi, teh atau dessert yang biasanya dilakukan di sore hari sepulang kerja. Tentu hal itu hanya terjadi dengan situasi jam kerja yang pendek. Bukan hanya itu, perusahaan di sana memberikan hak istirahat dan waktu lebih untuk cuti maupun berlibur.

Menghargai kehidupan dengan memberi waktu me time lebih kepada warga negaranya dengan cara sesederhana itu ternyata tidak mengurangi tingkat produktifitas mereka. Yang terjadi justru sebaliknya. Global Productivity Report yang dirilis oleh Expert Market menempatkan Norwegia – salah satu negara nordik – sebagai negara paling produktif per orangnya di Eropa dengan porsi jam kerja yang pendek. Sekitar 1.368 jam/tahun dengan tingkat produktifitas per jam 49,67 dollar.

Sumber : www.expertmarket.co.uk

Dengan jam kerja yang lebih pendek para pekerja mengakui mereka lebih bernergi dan mengurangi stres. Mereka punya cukup waktu untuk beristirahat, berolahraga, menyalurkan hobi ataupun berkumpul bersama keluarga dan teman. Dampaknya begitu positif bagi kesehatan dan mental pekerja. Kondisi psikis yang baik akan berimbas pula pada produktifitas kerja yang optimal, efektif dan efisien. Para pekerja di sana juga tetap mendapatkan upah yang sama meski jam kerja dipersingkat.

Selain itu pastinya didukung dengan disiplin waktu yang mereka terapkan. Artinya saat kerja harus fokus dalam pekerjaan. Pun saat istirahat atau momen Hygge akan dinikmati seutuhnya tanpa riuh perihal pekerjaan.

Rasanya itu semua akan sulit di temui di negara-negara dengan kebiasaan bekerja yang padat. Mungkin pada momen pandemi ini, situasi tersebut nampak ada karena situasi WFH dan pengurangan jam kerja menjadikan waktu bersama keluarga lebih banyak.

Mengapa kita tidak mencoba menjadikan kebiasaan tersebut eksis secara bergilir sebagai kebijakan alternatif seba’da pandemi. Selama tanggung jawab pekerjaan telah diselesaikan dengan baik, tidak ada salahnya untuk mengurangi jam kerja maupun WFH. Memberi waktu lebih para pekerja untuk beristirahat ataupun berkumpul bersama teman dan keluarga.

Telah lama sebelum pandemi melanda. Senja di negeri kita sibuk dengan hiruk pikuk hingga ia nampak pucat. Kita jarang menikmatinya karena gegap gempita kota dan kerja yang selalu saja menutupinya. Pulang sore jelang malam dengan agenda rutin kemacetan dan kelelahan. Berhari-hari lamanya keluarga di rumah hanya diberi waktu sisa demi segepok rupiah. Ritual itu seakan sudah menjadi kisah fardhu ‘ain bagi para pejuang nafkah.

Pandemi juga mengajarkan kita sikap menghargai dengan tetangga. Seperti di kota tempat saya tinggal, selama pandemi ada program Jogo Tonggo (Jaga tetangga). Betapa mereka (tetangga kita) semua sangat berharga, persis seperti keluarga sendiri. Mungkin selama ini masih ada sumbatan rasa kepedulian kita kepada tetangga.

Namun saat momen lockdown dan isolasi mandiri, siapa lagi yang paling care jika tidak tetangga kanan kiri kita. Saudara barangkali terkendala jarak, tapi tetangga selalu setia berbagi kebutuhan makanan setiap hari dan mengantarkannya di pagar-pagar rumah kita. Saling membantu satu sama lain bermiggu-minggu lamanya.

Barangkali pandemi mengajarkan kita untuk menghargai kehidupan. Karena adanya (kehidupan) tak melulu soal aku dan kerja. Andaikata pandemi telah pergi, berharap kita semua tetap menghargai rongga-rongga kehidupan yang selama ini terabaikan.

Tentang keluarga yang harus kita jaga. Tentang berbagi makanan kepada tetangga yang membutuhkan. Tentang sanak saudara yang harus kita doakan. Tentang khusyuknya ibadah yang berlipat-lipat karena kematian yang begitu dekat. Pun tentang rasa syukur yang berlimpah ketika kita mampu menghirup udara dengan mudahnya, tanpa perlu bantuan alat apapun. Haruskah itu semua terjadi hanya karena ada pendemi. Semoga saja tidak.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image