Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image sri hartono

Momentum Kebangkitan Literasi

Lomba | Sunday, 19 Sep 2021, 15:41 WIB

Jauh sebelum ditetapkannya Corona Virus Disease 19 (COVID-19) sebagai pandemi oleh WHO pada tanggal 9 Maret 2020), bangsa Indonesia sudah berada pada kondisi tak kalah mengkhawatirkan. Sastrawan angkatan 66 yang juga pemilik Rumah Puisi, Taufik Ismail, meredaksionalkan kondisi tersebut dengan sebutan Tragedi Nol Buku. Dinamakan demikian bukan karena tidak adanya buku yang diterbitkan. Nol buku adalah sebuah tragedi yang ditandai dengan rendahnya minat baca masyarakat baik terhadap buku-buku sastra ataupun non sastra.

Betapa sulitnya menemukan satu orang saja yang memiliki gairah tinggi dalam membaca juga tampak melalui penelitian UNESCO. Menurut data badan PBB bidang pendidikan itu, rasio orang yang gemar membaca dengan yang tidak adalah 1 : 1000. Artinya dari 1000 orang hanya ada satu orang saja yang memiliki budaya baca. Senada dengan UNESCO, Central Connecticut State Univesity pada bulan Maret 2016 merilis hasil riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang menempatkan Indonesia di peringkat ke 60 dari 61 negara dalam hal minat baca.

Pada tahun 2020 Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjakdikbud) mempublikasikan hasil riset yang diberi nama Indeks Aktivitas Literasi Baca (Alibaca) Nasional. Ternyata hasilnya menguatkan kesimpulan tentang Tragedi Nol Buku yang melanda Indonesia. Secara jelas disebutkan bahwa Indeks Alibaca Nasional menunjukkan kategori aktivitas literasi rendah, yaitu 37,32. Ada empat indeks dimensi penyusunnya, antara lain Indeks Dimensi Kecakapan sebesar 75,92, Indeks Dimensi Akses sebesar 23,09, Indeks Dimensi Alternatif sebesar 40,49 dan Indeks Dimensi Budaya sebesar 28,50. Dari kedua dimensi tersebut bisa diketahui bahwa rendahnya aktivitas literasi membaca dipengaruhi oleh minimnya kebiasaan masyarakat dalam mengakses sumber-sumber tempat keberadaan bahan bacaan serta masih kurangnya jumlah perpustakaan sekolah maupun daerah (terutama desa).

Sebagai sebuah tragedi, status sebagai bangsa illiterate atau rendah minat baca memang tidak menimbulkan kemusnahan suatu populasi secara massal seperti halnya covid-19. Tetapi dalam perspektif peradaban, tidak adanya budaya literasi berpotensi membuat suatu bangsa hanya akan menjadi korban dalam kompetisi peradaban global. Bangsa illiterate bisa mengalamai penjajahan pemikiran, baik itu dalam dimensi ideologi politik, ekonomi, dan sebagainya.

Menghadapi realita tersebut, periode kehidupan pasca pandemi yang memungkinkan para pelajar bisa menikmati sekolah tatap muka sepenuhnya, bisa dijadikan momentum untuk membangkitkan budaya baca generasi muda. Belajar dari perjalanan historis era kebangkitan nasional hingga proklamasi kemerdekaan, budaya literasi memegang peranan penting, Kuatnya tradisi keilmuan berbasis literasi pasca penerapan Politik Etis melahirkan generasi pembawa gagasan-gagasan baru yang menumbuhkan kesadaran bersatu sebagai sebuah bangsa hingga lahirlah Kebangkitan Nasional. Ada banyak tokoh besar yang lahir sebagai motor kebangkitan dengan bekal utamanya adalah kecintaan terhadap membaca. Mohammad Natsir misalnya. Di sekolah ia rutin membaca buku-buku berbahasa Belanda dan juga bahasa Latin. Kegemarannya ini kemudian membuatnya dikenal sebagai pejuang melawan imperialisme leewat pemikiran-pemikiran kritisnya. Demikian juga dengan Mohammad Hatta. Salah satu Bapak Proklamator yang dikenal dengan gagasannya terutama di bidang ekonomi ini sangat cinta membaca. Saat pulang dari Belanda, Hatta mengemas 8000 bukunya ke dalam 14 peti untuk diangkut ke Indonesia.[1] Catatan sejatah inilah yang bisa dirawat dan dinapak tilasi untuk membangkitkan Indonesia dalam kompetisi global.

Untuk membangkitkan minat baca masyarakat secara massif diperlukan upaya sinergis antara pendidik dan pustakawan. Praktisi pendidikan terutama guru memegang peranan penting untuk mengembalikan kedudukan membaca menjadi kewajiban. Apapun mata pelajarannya, membaca adalah ruhnya, Sedangkan pustakawan bisa berperan aktif dengan melakukan gerakan “jemput bola”. Sudah saatnya pustakawan tidak lagi pasif menunggu datangnya pemustaka berkunjung ke perpustakaan untuk mengakses bahan bacaan. Di saat minat baca rendah, pustakawan harus keluar, termasuk ke sekolah-sekolah untuk mengkampanyekan pentingnya literasi untuk masa depan mereka dan bangsa. Bila kesadaran itu mulai tumbuh, diharapkan para pelajar bisa aktif mendatangi perpustakaan sekolah ataupun perpustakaan umum.

Terkait hal tersebut, apa yang dilakukan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur bisa dijadikan role model. Sebelum diterapkannya kebijakan PSBB hingga PPKM sebagai akibat dari pandemi covid-19, Dispersip Jatim mempunyai program bulanan berupa bimbingan literasi ke sekolah-sekolah di Surabaya, Sidoarjo, Bangkalan dan daerah lainnya di Jawa Timur. Dalam setiap kedatangannya, diterjunkanlah mobil perpustakaan keliling, tim pegiat literasi dan kadangkala bersama tim dongeng. Di setiap titik yang dikunjungi, mereka memberikan motivasi tentang pentingnya kecakapan membaca. Jika buku sering diibaratkan sebagai jendela, maka membaca adalah membuka jendela tersebut. Hanya dengan membaca, para pelajar akan bisa melihat banyak hal, memperoleh banyak informasi, ilmu dan pengetahuan. Dengan terbukanya “jendela dunia” itulah generasi muda bisa merumuskan ide-ide konstruktif untuk kemajuan bangsa. Tanpa budaya baca, wawasan mereka hanya terbatas pada apa yang ada di sekitarnya saja sehingga tidak akan bisa melahirkan gagasan-gagasan baru.

Sinergi pustakawan Dispersip Jatim dan sekolah ini bisa menjadi gerakan nasional jika diikuti oleh pustakawan seIndonesia. Gerakan pustakawan ke sekolah pasca pandemi bisa memberikan efek besar berupa lahirnya generasi-generasi baru berbudaya literasi yang bisa menjadi motor kebangkitan bangsa dalam kompetisi global.

[1] https://www.republika.co.id/berita/qxtbdj282/hatta-antarkan-indonesia-merdeka-lewat-gemar-membaca

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image