Jumat 17 Sep 2021 15:59 WIB

Mendag: Rekor Surplus Dagang Terbantu Supercycle Komoditas

Supercycle komoditas saat ini kemungkinan berlangsung lebih lama dari yang biasanya.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Pekerja memanen tandan buah segar kelapa sawit saat panen di Desa Jalin, Kecamatan Kota Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Senin (23/8/2021). Kinerja surplus neraca perdagangan Indonesia mencetak rekor terbesar sepanjang sejarah, yakni 4,74 miliar dolar AS, yang didorong oleh fenomena supercycle komoditas.
Foto: Antara/Syifa Yulinnas
Pekerja memanen tandan buah segar kelapa sawit saat panen di Desa Jalin, Kecamatan Kota Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Senin (23/8/2021). Kinerja surplus neraca perdagangan Indonesia mencetak rekor terbesar sepanjang sejarah, yakni 4,74 miliar dolar AS, yang didorong oleh fenomena supercycle komoditas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kinerja surplus neraca perdagangan Indonesia mencetak rekor terbesar sepanjang sejarah, yakni 4,74 miliar dolar AS. Nilai ekspor pada bulan lalu turut mencatat rekor tertinggi yakni 21,42 miliar dolar AS, sementara impor sebesar 16,63 miliar dolar AS.

Meski surplus dagang mencetak rekor, Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi menuturkan, salah satu pendorong tercapainya surplus yang tinggi lantaran faktor supercycle komoditas. Supercycle komoditas salah satunya ditandai dengan fenomena melonjaknya harga komoditas dunia. Di mana, Indonesia menjadi salah satu eksportir komoditas mentah yang digunakan berbagai negara menjadi bahan baku industri.

"Ekspor kita saat ini sudah tinggi dan ini memecahkan rekor-rekor sebelumnya. Tapi, saya sadar ini bukan hanya karena permintaan yang bagus terhadap barang jadi dan industri teknologi tingi, tapi juga dorongan supercycle ekonomi yang membuat tingginya nilai-nilai barang," kata Lutfi dalam konferensi pers, Jumat (17/9).

Seperti diketahui harga komoditas yang diproduksi Indonesia seperti batu bara, bijih tembaga, hingga minyak kelapa sawit tengah mengalami kenaikan harga dunia. Situasi tersebut menguntungkan Indonesia sebagai produsen.

Menurut Lutfi, dalam situasi ini, pemerintah harus menempatkan kebijakan-kebijakan strategis yang mendukung ekspor. Momentum tingginya harga komoditas saat ini juga harus dimanfaatkan untuk bisa meningkatkan efisiensi industri.

Meski begitu ia menekankan, fenomena supercycle sangat mudah dipengaruhi oleh kebijakan ekonomi di masing-masing negara, khususnya negara maju. Sebab itu akan berkaitan langsung dengan tingkat permintaan komoditas.

"Jadi, apapun yang kita kerjakan, kita harus bisa memahami bahwa yang terpenting memastikan dukungan ekspor. Jadi kita nikmati harga yang tinggi dengan mendukung ekspor bukan malah menyandungnya," kata Lutfi.

Lebih lanjut, Lutfi memperkirakan supercycle komoditas saat ini kemungkinan berlangsung lebih lama dari yang biasanya sekitar 14 bulan. Ia memprediksi situasi ini kemungkinan akan dinikmati dalam jangka waktu antara 24-30 bulan terhitung sejak September 2020 di mana mulai terjadi kenaikan harga minyak mentah dan batu bara.

Adapun faktor yang memicu fenomena supercycle lebih lama yakni kebutuhan dunia akan komoditas yang tengah meningkat seiring tren pemulihan ekonomi. Selain itu, masalah perubahan iklim yang membuat harga komoditas pangan dunia mengalami lonjakan harga.

"Jadi kalau kita hitung ini kalau tidak ada aral melintang ini bisa kita nikmati sampai September 2022," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement