Rabu 15 Sep 2021 20:11 WIB

'Serangan Siber ke Indonesia Terus Meningkat'

Jenis eksploitasi kerentanan yang paling umum terjadi adalah Remote Code Execution.

Serangan siber
Foto: Flickr
Serangan siber

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyedia solusi keamanan siber terkemuka dunia, Check Point Software Technologies Ltd., hari ini mengungkapkan lewat Check Point Threat Intelligence Report terbarunya bahwa dalam enam bulan terakhir, organisasi di Indonesia mengalami 746 persen lebih banyak serangan dari rata-rata global.

Di antara ancaman siber yang dihadapi, jenis eksploitasi kerentanan (vulnerability exploit) yang paling umum terjadi adalah Remote Code Execution, yang berdampak pada 62 persen organisasi dalam enam bulan terakhir.  Remote Code Execution adalah serangan siber yang terjadi ketika penyerang mengeksekusi perintah dari jarak jauh terhadap perangkat korban atau target, biasanya setelah host mengunduh malware berbahaya.

Check Point Threat Intelligence Report juga mengungkapkan bahwa tiga industri yang paling terdampak di Indonesia adalah bidang pemerintah/militer, manufaktur dan perbankan, yang masing-masing menerima 686 persen, 403 persen, dan 313 persen lebih banyak serangan per pekannya jika dibandingkan dengan rata-rata global pada setiap sektor.

"Di tengah pandemi, peralihan ke kerja dari rumah (remote working) telah mempercepat transformasi digital di Indonesia. Oleh karena itu, para pelaku kejahatan siber telah mengadaptasi praktik kerja mereka dengan cara memanfaatkan peralihan ini untuk membidik jaringan distribusi perusahaan dan jaringan mitra-mitra organisasi, untuk mencapai kerusakan maksimal," ujar Country Manager Indonesia Check Point Software, Deon Oswari dalam siaran pers, Rabu (15/9).

Menurut Deon, banyak organisasi di Indonesia rentan terhadap serangan siber karena mereka tidak memiliki perlindungan yang memadai, atau masih bergantung pada teknologi yang sudah ketinggalan. 

"Check Point Software mendesak semua organisasi di Indonesia untuk meninjau kembali strategi keamanan siber dan kesterilan sistem keamanan mereka untuk menghindari menjadi korban dari kebocoran besar (mega breach) siber berikutnya," kata Deon.

Dalam dua tahun terakhir, Indonesia telah mengalami beberapa kebocoran tingkat tinggi. Pada bulan Juni 2020, lebih dari 230 ribu data pasien Covid-19 Indonesia telah bocor. Data yang bocor meliputi nama pasien, alamat, nomor telepon, kewarganegaraan, tanggal diagnosis, hasil, dan masih banyak lagi.  Berikutnya, informasi pribadi pengguna dua situs e-commerce terkemuka di Indonesia, Tokopedia dan Bukalapak, juga bocor pada tahun 2020. Baru-baru ini pada Mei 2021, data pribadi sekitar 279 juta orang Indonesia diduga telah dibocorkan dan dijual di situs platform peretas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement