Selasa 14 Sep 2021 14:59 WIB

Mengkaji Hitung-hitungan Pahala, Fiqih dan Tasawuf

Ada orang yang suka hitung-hitungan pahala, fiqih dan tasawuf.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Mengkaji Hitung-Hitungan Pahala, Fiqih dan Tasawuf. Foto: KH Cholil Nafis
Foto: Republika/Thoudy Badai
Mengkaji Hitung-Hitungan Pahala, Fiqih dan Tasawuf. Foto: KH Cholil Nafis

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Muhammad Cholil Nafis, mengulas secara singkat tentang orang yang suka hitung-hitungan pahala, fiqih dan tasawuf. Hal ini disampaikannya saat Focus Group Discussion (FGD) di Youtube Republika Official berjudul "Tips Memperkokoh Iman di Kala Pandemi" pada Senin (13/9) sore.

Kiai Cholil menggambarkan atau mengilustrasikan tentang kehidupan dengan pandemi Covid-19. Ini ilustrasinya seperti seseorang yang sedang mendekatkan diri kepada Allah. Tapi orang itu hanya berbicara tentang sesuatu yang menyangkut dirinya sendiri.

Baca Juga

Ia mengatakan, pertanyaannya, apakah orang itu yang hanya membicarakan masalahnya sendiri akan bisa menerima cinta Allah. Tentu tidak bisa menerima cinta Allah.

"Seperti begini, kalau saya mau masuk ke kantor Republika pakai prosedural, maka saya akan menaruh KTP, ditanya bukti vaksinnya, diukur suhu tubuhnya karena prosedural itu (gambaran) fiqih," kata Kiai Cholil di Youtube Republika Official, Senin (13/9) sore.

Ia menjelaskan gambaran tasawuf seperti orang yang mau masuk kantor Republika tapi sudah menjadi kenalan dekat orang Republika. Sehingga saat masuk ke kantor Republika tidak harus melalui prosedural seperti tamu-tamu lainnya.

"Ketika sampai di pos satpam Republika, saya bilang saya tamunya Mas Erdi (orang Republika). Satpam langsung tanya siapa itu pak Cholil, Mas Erdi bilang itu teman saya, kemudian tidak akan ditanya lagi bukti vaksin, tes suhu tubuh dan lain-lain," jelasnya.

Kiai Cholil menerangkan, karena sudah dekat jadi bisa masuk ke kantor Republika tanpa melalui prosedural. Sementara mereka yang pakai prosedural adalah orang yang jauh dan belum kenal dekat.

"Yang mau mendekat itu pakai prosedural, bagi kita yang sudah dekat tidak usah pakai prosedural, itu yang disebut masuk surga tanpa dihisab, sudah tidak dihitung berapa dosa kamu, berapa pahala kamu, pokoknya dia kekasih-Ku masuk surga, selesai," jelas Kiai Cholil.

Ia menggambarkan lagi orang yang masih menerapkan prosedural dalam beribadah. Cara pandangnya kalau sholat sunah sebelum Subuh itu pahalanya melebihi langit dan bumi. Ia hitung-hitungan pahala dalam menjalankan ibadah, seperti orang berinvestasi untuk tujuan supaya bisa dekat dengan seseorang.

"Kita sebenarnya ketika berbicara mempertebal iman, prosedural tetap dilalui tapi lebih dari prosedural adalah ridho Allah yang kita harapkan, bukan hitung-hitungan pahala semata, bagi pemula bolehlah hitung-hitungan," ujarnya.

Kiai Cholil memberikan contoh lagi, seperti orang baru ber-Islam, dia berpikir menurut syariah harus menutup aurat kalau tidak hukumnya dosa. Itu gambaran cara pandang yang baru mengenal Islam.

Ia menerangkan, tapi ketika dia sudah mengenal Islam lebih dalam, dia mencapai akhlak. Akhlak ini sudah melampaui persoalan tutup aurat, tapi sudah sampai kepada kepantasan. Orang yang sudah sampai kepada kepantasan pasti akan menutupi auratnya.

"Jangan dibalik, akhlak tanpa syariat itu salah juga, yang penting akhlaknya kita bikin peradaban dengan akhlak (agamanya tinggalkan), itu tidak benar, karena yang melahirkan akhlak itu juga dari iman dan Islamnya," tegas Kiai Cholil.

Ia mengingatkan, tapi kalau seseorang berhenti sampai iman dan Islam, tidak sampai pada ihsan itu buntung. Seperti makanan mentah belum diolah, seperti pakaian cukup menutup aurat tapi tidak ada keserasian atau kepantasan.

Sebelumnya, Kiai Cholil menggambarkan, kalau ada orang berdoa, Ya Allah berikanlah surga. Jadi sebenarnya orang itu cinta kepada Allah atau kepada surga.

"Analoginya, anda datang ke rumah saya kemudian berkata, pak Cholil mudah-mudahan saya dikasih kopi, dikasih makanan. Kemudian saya tanya, anda itu senang saya atau senang dengan makanan saya," ujarnya.

Ia mengatakan, padahal kopi dan makanan lainnya itu bisa keluar untuk tamu, kalau tuan rumahnya sayang kepada tamu. Jadi tamu itu tidak akan ditelantarkan kalau disayang oleh tuan rumah.

Ia menjelaskan, dulu Nabi Daud bukan berdoa meminta bisa mengolah besi dan bisa mengukir besi. Tapi Nabi Daud meminta atau berdoa agar dicintai oleh Allah. Kemudian Allah memberi keistimewaan kepadanya, ia menjadi satu-satunya Nabi yang bisa mengolah besi dan mengukir besi.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement