Rabu 08 Sep 2021 19:47 WIB

Era Taliban, Mahasiswa dan Mahasiswi Afghan Duduk Terpisah

Pihak Universitas siap melaksanakan aturan yang ditentukan Taliban.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Mahasiswa dan mahasiswa Afghanistan duduk belajar terpisah.
Foto: Tangkapan Layar Youtube/South China Morning P
Mahasiswa dan mahasiswa Afghanistan duduk belajar terpisah.

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL --  Sejumlah mahasiswa di Universitas Avicenna Kabul tampak duduk belajar di dalam ruangan kelas awal pekan ini. Mereka dengan serius memperhatikan dosen yang sedang memberikan materi kuliah.

Para mahasiswa tidak duduk bercampur. Sebuah tirai yang terpasang di tengah ruang memisahkan duduk mahasiswa putra dan putri.

Baca Juga

Foto mahasiswa/i Afghanistan yang beredar di media sosial itu pun menjadi perbincangan hangat publik. Kementerian Pendidikan yang dijalankan Taliban telah menyetujui pemisahan pembelajaran antara pria dan wanita. Ini adalah sebuah langkah kemajuan, mengingat saat 1996-2001, ketika Taliban memimpin, wanita dilarang mendapat pendidikan dan bekerja.

Universitas-universitas di Afghanistan pun akan mulai menerapkan peraturan Taliban perihal segregasi mahasiswa berdasarkan gender di ruang kelas. Ke depan, perguruan tinggi di sana tampaknya akan merekrut dosen sesuai dengan gender para mahasiwa yang mereka ajar.

Wakil Rektor Universitas Bakhtar Waheed Roshan mengatakan, pihaknya akan mematuhi peraturan Taliban perihal segregasi gender di ruang kelas. Saat ini universitas swasta yang berlokasi di Kabul itu memiliki dua ribu mahasiwa. Sebanyak 20 persen di antaranya adalah perempuan.

Roshan mengungkapkan, universitasnya dapat mengadakan kelas untuk mahasiswa laki-laki dan perempuan dalam giliran terpisah. Namun, dia menilai perguruan tinggi lain mungkin kesulitan memperoleh partisi di dalam ruang kelas mereka.

Oleh sebab itu, dia berpendapat, untuk banyak perguruan tinggi, mereka tampaknya bakal menghadapi kendala logistik ketika ingin mematuhi peraturan Taliban perihal segregasi gender dalam kegiatan belajar mengajar. Peraturan Taliban itu pun menuai reaksi beragam dari kalangan mahasiswa.

Sahar (21 tahun), misalnya, mengaku senang Taliban tak melarang kaum perempuan untuk mengikuti pendidikan akademis. Namun, dia menilai, aturan segregasi gender itu terlalu ekstrem.

Sahar mengungkapkan, ada begitu banyak mahasiswi di Kabul yang tumbuh di lingkungan bebas. Mereka memiliki kesempatan memilih baju apa yang ingin dikenakan dan ke universitas mana mereka ingin menempuh studi.

Sahar mengatakan, mahasiswa perempuan di sana pun punya kehendak bebas untuk duduk di kelas dengan laki-laki atau tidak. "Tapi sekarang akan terlalu sulit. Sulit bagi mereka beradaptasi dengan aturan ekstrem ini," ucapnya, dikutip CNN, Rabu (8/9).

Mahasiswa lain, yakni Ziba (20 tahun), mengatakan dia tak mengharapkan lagi bisa lulus perguruan tinggi. Selain karena situasi keamanan, hal itu turut dipengaruhi peraturan baru Taliban yang kemungkinan bakal makin ketat di masa mendatang.

Sementara Nisa Qasem (19 tahun) yang baru lulus SMA tahun lalu, mengaku semangat untuk segera menempuh studi di universitas. "Saya akan mengenakan hijab jenis apa pun yang mereka minta selama mereka tetap membuka universitas untuk para gadis," ujarnya.

Dia mengatakan, jika anak perempuan ingin memiliki suara di masa depan, mereka harus dididik dalam keadaan apa pun. "Saya sangat bersemangat memulai babak baru kehidupan saya," kata Qasem.

Saat Taliban memerintah Afghanistan pada 1996-2001, mereka melarang perempuan dan anak perempuan bersekolah serta bekerja. Saat pemerintahan Taliban tumbang pada 2001, kaum perempuan di sana dibebaskan untuk kuliah dan bekerja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement