Rabu 08 Sep 2021 05:02 WIB

Razia Industri Teknologi Berlanjut, Beijing Incar Penguasaan Saham

Richard Liu menjadi korban terbaru razia Partai Komunis terhadap industri teknologi

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
China dan Perusahaan Teknologi
China dan Perusahaan Teknologi

Richard Liu, yang mendirikan JD.com pada 1998, mengundurkan diri dari semua jabatan eksekutif dengan alasan "ingin menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengembangkan strategi jangka panjang perusahaan,” tulisnya dalam sebuah keterangan pers, Senin (6/9).

Perusahaannya yang mendominasi pasar perdagangan elektronik di Cina belakangan dibidik negara dalam razia teranyar melawan ekspansi "kalut” sektor teknologi.

Dalam kebijakan tersebut, pemerintah Cina melakukan penyelidikan antikorupsi, serta memperketat regulasi, mulai dari pembatasan dalam desain permainan video hingga perbaikan hak buruh.

Liu yang dikenal dengan nama Cina, Liu Qiangdong, pernah ditahan di Amerika Serikat pada 2018 silam atas dugaan pelecehan seksual, sebelum akhirnya diizinkan pulang ke Cina.

JD.com tidak memberikan alasan spesifik perihal pergeseran di level manajemen, namun memastikan Liu tetap menjabat direktur umum.

Beberapa bulan silam, Beijing menggeruduk pesaing terbesar JD.com, Alibaba, dan memaksa pendirinya, Jack Ma, untuk undur diri.

Dia belakangan jarang tampil di publik, terutama sejak penawaran saham perdana Ant Group miliknya di bursa Hong Kong dan Shanghai dibatalkan, hanya beberapa hari jelang peluncuran pada November 2020 silam.

Pada saat itu Alibaba dikenakan denda senilai USD 2,8 miliar oleh pemerintah atas pelanggaran UU anti-monopoli.

Nama besar lain yang turut menjadi korban razia Beijing adalah Zhang Yiming, pendiri TikTok dan investor terbesar Bytedance. Dia mengundurkan diri pada Mei silam, menyusul pendiri Pinduoduo, Coling Huang, yang Maret sebelumnya mengumumkan pensiun dari dunia bisnis, dan ingin fokus pada filantropi.

Doktrin baru kuatkan peran negara

Gelombang investigasi di sektor teknologi melengkapi langkah pemerintah Cina menggariskan haluan baru untuk dunia digital. Regulasi baru diberikan bagi industri hiburan, pendidikan hingga pinjaman online.

Secara umum Beijing ingin memastikan penguasaan data tetap berada di tangan pemerintah, dan memperkuat peran negara dalam bisnis jasa. Hal ini dinilai menempatkan pelaku ekonomi dalam situasi ketidakpastian.

Jumat (3/9) silam pemerintah kota Beijing mengumumkan niat menempatkan raksasa teknologi, Didi Global, di bawah pengawasan negara. Dalam proposal tersebut, perusahaan pemerintah akan berusaha menguasai "saham emas” yang menjamin kedudukan di dewan direksi.

Didi Global lahir sebagai layanan jasa angkutan di Beijing, yang berkembang menjadi raksasa teknologi dengan investasi besar di bidang kecerdasan buatan dan teknologi otonom.

Perusahaan yang juga aktif di Jepang, Brasil dan Australia itu sejak lama dianggap duri dalam daging, lantaran terdaftar di bursa saham New York, dan sebabnya tunduk pada regulasi pemerintah Amerika Serikat.

"Kami memang memprediksi akan ada kebijakan terkait (Didi), tapi tidak dalam dimensi sebesar ini,” kata Justin Tang, kepala penelitian di perusahaan konsultan United First Partners di Singapura.

rzn/hp (afp,rtr)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement