Senin 30 Aug 2021 23:27 WIB

Pentingnya Bangsa Ini Mulai Adaptif Dengan Industri 5.0

Prof Ahmad M Ramli nilai, saat ini sudah memasuki fase meninggalkan industry 4.0.

Pakar Transformasi Digital Prof Dr Ahmad M Ramli SH MH FCBArb dalam Studium Generale dan Webinar Cerdas bertelekomunikasi atas kerjasama Kementerian Kominfo RI dengan Pusat Studi Cyber Law dan Transformasi Digital Universitas Padjadjaran di Kampus Unpad, Senin (30/8). Kegiatan itu sempat ditampilkan juga secara live di Youtube dan aplikasi Zoom.
Foto: Istimewa
Pakar Transformasi Digital Prof Dr Ahmad M Ramli SH MH FCBArb dalam Studium Generale dan Webinar Cerdas bertelekomunikasi atas kerjasama Kementerian Kominfo RI dengan Pusat Studi Cyber Law dan Transformasi Digital Universitas Padjadjaran di Kampus Unpad, Senin (30/8). Kegiatan itu sempat ditampilkan juga secara live di Youtube dan aplikasi Zoom.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Kehadiran Industri 5.0 yang semula diprediksi 20 tahun setelah era 4.0 ternyata akan tiba lebih cepat, yakni hanya bertransisi sekitar 10 tahun. Kehadiran teknologi telekomunikasi 5G dan masifnya platform digital Over TheTop menjadi pemicu kehadiran Industri 5.0.

Kondisi ini menjadi tantangan juga bagi profesi hukum, seperti advokat, pengacara, konsultan hukum. Jika tidak segera merespons transpormasi digital tersebut, maka profesi hukum akan kalah bersaing.

photo
Studium Generale dan Webinar Cerdas bertelekomunikasi yang diselenggarakan atas kerjasama Kementerian Kominfo RI dengan Pusat Studi Cyber Law dan Transformasi Digital Universitas Padjadjaran di Kampus Unpad, Senin (30/8). (Istimewa)

 

Demikian juga dengan profesi penegak hukum seperti hakim dan arbiter sama-sama dituntut mampu beradaptasi dengan perkembangan industri digital tersebut. Peringatan itu disampaikan Pakar Transformasi Digital Prof Dr Ahmad M Ramli SH MH FCBArb dalam Studium Generale dan Webinar Cerdas bertelekomunikasi atas kerjasama Kementerian Kominfo RI dengan Pusat Studi Cyber Law dan Transformasi Digital Universitas Padjadjaran di Kampus Unpad, Senin (30/8). Kegiatan itu sempat ditampilkan juga secara live di Youtube dan aplikasi Zoom.

Studium Generalei tersebut sekaligus orasi ilmiah dalam rangka menyambut kembali Prof Ahmad M Ramli sebagai Guru Besar Unpad setelah 17 tahun berkiprah sebagai eselon I di berbagai kementerian, dan terakhir sebagai Dirjen Penyelenggaran Pos dan Informatika Kemenkominfo RI.

Hadir pula dalam Studium Generale ini, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, Rektor Unpad Prof Rina Indiastuti, Dirjen SDPPI Kominfo Ismail, Dekan Fakultas Hukum Unpad Dr Idris dan para pembicara lainnya.

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo sempat menyampaikan bahwa transformasi digital merupakan sesuatu yang sudah dihadapi, dan tidak ada pilihan kecuali mempersiapkan diri untuk terus menghadapinya agar tidak terdisrupsi.

Menurut Bambang, Studium Generale yang mengambil tema Dampak Transformasi Digital terhadap Pendidikan Tinggi dan Profesi Hukum, papar Bambang, sangat penting untuk dijadikan referensi terkait kebijakan dan regulasi digital nasional dan perkembangan pendidikan hukum di Tanah Air.

Sementara Prof Ahmad M Ramli mengatakan, saat ini sudah memasuki fase transisi meninggalkan revolusi industri ke-4. Karena secara riil, imbuh dia, revolusi industri ke-5 atau Industri 5.0 sudah mulai. Saat Industri 4.0, semua menekankan pada revolusi digital berupa cyber physical. Oleh karena itu, pada revolusi industri ke-5, karakter penekanan lebih tertuju pada peran manusia sebagai pusat peradaban yang memanfaatkan teknologi digital sebagai alat pranata kehidupan dalam berbagai bidang.

Dengan demikian Industri 5.0 lebih menekankan tidak hanya relasi machine to machine dan efektivitas robotic, tetapi juga human to machine dan sebaliknya. Sebagai contoh di Jepang yang penduduknya akan didominasi usia lanjut mazhab society 5.0, layanan teknologi digital ditujukan untuk layanan kesehatan para usia lanjut, juga peran machine dalam menggerakan infrastruktur publik, monitoring fasilitas kanal jalan raya dan kereta api, terowongan bawah laut.

Menurut Prof Ahmad, Indonesia tidak memiliki pilihan lain kecuali terus melanjutkan pembangunan infrastruktur digital, membuat kebijakan dan regulasi yang mendorong pertumbuhan industry telekomunikasi yang efisien dan progresif. Selain itu, kolaborasi lintas platform digital harus direalisasikan.

‘’Pemerintah juga perlu terus melanjutkan secara sistemik untuk melahirkan SDM digital, menciptakan ekosistem digital,’’ ujarnya dalam siaran pers yang diterima Republika, Senin (30/8). Dalam industri telekomunikasi dan digital relatif tidak mungkin berlangsung optimal tanpa kolaborasi dan digital sharing.

Sebagai contoh, industri telekomunikasi sebagai penyedia jaringan dan akses internet harus symbiosis mutualistic dengan platform over the top, baik yang bergerak di bidang e-commerce, platform komunikasi, video conference, streaming, maupun content provider dan konten social media.

Covid-19 yang telah menyebabkan semua orang berpaling ke digital device juga, papar Ahmad, telah memberi pesan khusus akan pentingnya penyelenggara telekomunikasi dan platform menjaga quality of service (QoS). Perang tarif untuk menjangkau sebanyak mungkin pelanggan dengan mengabaikan QoS harus ditinggalkan. Industri harus lebih realistis.

Industri 4.0 dan industri 4.0 berbasis cyber-fisik, internet of things (IoT), komputasi awan, dan komputasi kognitif telah berdampak pada kehidupan manusia di seluruh dunia. Kehadiran Industri 5.0 adalah untuk menciptakan keseimbangan antara kemajuan teknologi digital, kemajuan ekonomi paralel dengan penyelesaian masalah sosial. Industri 5.0 identik dengan sinergi peradaban manusia dan teknologi digital tanpa menghilangkan jati diri manusia yang sesungguhnya.

Industri 4.0 yang berbasis pada physical cyber telah membuat perubahan drastic, baik dari sisi ekonomi, sosial, politik bahkan perilaku individual. Pandemi Covid-19 yang menerpa secara global, membuat semua penduduk dunia berpaling pada teknologi telekomunikasi dan digital.

Keharusan social distancing dan transaksi tanpa bertemu fisik menyebabkan penggunaan dan belanja kuota telekomonunikasi naik hampir dua kali lipat. Bisa dihitung sendiri kenaikan dua kali lipat ini, dampak multyplier efeknya terhadap ekonomi digital.

Memasuki Industri 5.0 dengan ciri super speed telecomunication, SDM hukum tidak akan lepas dari dampaknya. Berbagai pekerjaan profesi hukum di pemerintahan, seperti pembuatan regulasi dan proses legislasi tidak mungkin bekerja secara konservatif tanpa pendekatan digital. Demikian juga proses penyusunan regulasi yang selama ini, seringkali memerlukan proses legal, politik, dan birokrasi yang lama dan cenderung mengutamakan prosedur dan ego sektoral daripada substansi harus ditata ulang.

Langkah progresif pemerintah dan parlemen seperti model legislasi omnibus law, di bidang transformasi digital khususnya untuk bidang pos telekomunikasi dan penyiaran, adalah contoh nyatanya. Banyak hal yang tertunda belasan tahun terhambat karena regulasi, sehingga terhambatnya transformasi digital seperti pemanfaatan infrastruktur sharing, digital dividend spektrum frekuensi, membuat industri tekekomunikasi sanggup bersaing dengan over the top sebagai pembawa teknologi baru.

Saat ini, tutur dia, sangat diperlukan SDM hukum yang paham teknologi digital. Mengingat, tutur dia, dalam hitungan tahun kita semua akan berada pada era di mana dunia berada pada system cyber physical dan human centered.

Indonesia memiliki bonus demografi, di mana usia produktif jauh lebih banyak dibanding non produktif. BPS mencatat ada 70,72 persen penduduk Indonesia berada di usia 15-64 tahun.

Diprediksi pada tahun 2030 dependency ratio Indonesia mencapai titik terendah di 46,9 persen, yang berarti tahun itu kelompok usia produktif setidaknya mencapai dua kali lipat dibandingkan yang tidak produktif.

Dengan berkaca pada kenyataan saat ini, mahasiswa juga harus dibekali subyek materi etika profesi dan kemampuan negosiasi. Salah satu yang mengantarkan kunci sukses adalah sikap integritas dan konsisten.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement