Senin 16 Aug 2021 05:01 WIB

Saigon 1995, Kabul 2021: AS Akankah Malu di Afghanistan?

Akankah AS akan mengulang tragedi Saigon di Kabul?

Ribuan keluarga terlantar di satu taman di Kabul, Afghanistan, pada 11 Agustus 2021. Sekitar 30.000 keluarga telah mengungsi karena bentrokan pemerintah dan Taliban di provinsi utara.
Foto: Anadolu Agency
Ribuan keluarga terlantar di satu taman di Kabul, Afghanistan, pada 11 Agustus 2021. Sekitar 30.000 keluarga telah mengungsi karena bentrokan pemerintah dan Taliban di provinsi utara.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Teguh Setiawan, Jurnalis Senior.

Sebuah foto yang mengabadikan kekalahan AS di Vietnam 1975, memperlihatkan pengungsi berebut naik ke helikopter di atap gedung Kedubes AS, menyebar cepat di jejaring sosial AS sepanjang Kamis 12 Agustus, atau Jumat 13 Agustus WIB.

Entah siapa yang mengirim foto itu. Yang pasti, foto itu muncul tak lama setelah Presiden AS Joe Biden mengumumkan pengerahan pasukan darurat untuk menyelamatkan warga AS dan pengungsi dari Kabul, menyusul kejatuhan kota-kota di sekitar ibu kota AfghanistanMitch McConnell, legislator terkemuka Partai Republik, mengomentari situasi ini. "Berita terbaru tentang penarikan dari keduataan AS dan pengerahan pasukan yang tergesa-gesa tampaik seperti persiapan untuk kejatuhan Kabul," kata McConnell.

Ia melanjutkan; "Keputusan Presiden Joe Biden membuat kita bergegas menuju sekuel lebih buruk dari kejatuhan Saigon yang memalukan pada tahun 1975." Saigon adalah ibu kota Vietnam Selatan. Setelah penyatuan Vietnam, Saigon berubah nama menjadi Ho Chi Minh City (HCMC) untuk mengenang Ho Chi Minh, bapak pendiri Vietnam.

Juni lalu, ketika Taliban membangun momentum, Joe Biden membahas persamaan Kabul dan Saigon. Anehnya, setelah pembicaraan itu, Biden mengabaikannyaBiden sebelumnya mengatakan; "Tidak akan ada situasi orang-orang diangkat dari atap Kedubes AS di Afghanistan." Ia seolah yakin tidak akan ada episode kedua kekalahan AS yang memalukan.

Pada bulan yang sama, Kepala Staf Gabungan Jenderal Mark Milley juga menolak asumsi membandingkan Kabul dengan Saigon. "Saya tidak melihat itu terjadi," kata Milley.

"Saya mungkin salah. Anda mungkin bisa memprediksi masa depan. Tapi saya tidak melihat Saigon 1975 terulang di Afghanistan," lanjut Milley. "Taliban bukan tentara Vietnam Utara. Afghanistan tidak akan seperti itu."

Di Vietnam, VietCong dan Veitnam Utara menerobos perbatasan dan merebut kota-kota dan desa-desa penting di Vietnam Selatan setelah AS menarik pasukannya. Vietnam Utara dan VietCong memperlambat gerakan masuk ke Saigon karena tahu AS, dan warga Vietnam Selatan yang ketakutan, berusaha lari.

Milley keliru. Sejak AS mulai menarik pasukannya, Taliban bergerak cepat dan cepat, merebut kota-kota strategis seolah tanpa perlawanan. Kini, Taliban hanya berjarak 90 kilometer.

Taliban kemungkinan memperlambat gerakannya menuju Kabul, untuk memberi ruang waktu bagi pasukan AS dan mitranya mengevakuasi warganya.

Media Sebagai Senjata Terakhir

Seperti di Vietnam 1974, AS -- dan juga negara-negara Barat -- memanfaatkan senjata terakhir-nya, yaitu media. Wall Street Journal, misalnya, menurunkan laporan Taliban memaksa keluarga menyerahkan anak gadis yang belum menikah untuk dipersunting pasukannya.

Dulu di Vietnam Selatan, media -- sebagai upaya terakhir membangkitkan perlawanan rakayat -- menebar kabar komunis akan mencingcang setiap warga setelah menduduki Saigon.

Propaganda itu tidak efektif membangkitkan perlawanan warga, tapi ampuh menimbulkan ketakutan jangka panjang. Yang terjadi setetelah pendudukan Vietnam Utara atas Saigon adalah komunis menggiring orang ke kamp reedukasi.

Rakyat Vietnam Selatan dipersiapkan selama satu tahun untuk hidup di iklim politik baru, yaitu komunis. Tidak ada yang salah dengan semua itu. Namun mereka yang menolak reedukasi melarikan diri lewat laut.

Sepanjang paruh kedua 1970-an, dan awal 1980-an, dunia mengenal boat people atau manusia perahu, yaitu orang-orang Vietnam yang melarikan diri lewat laut menuju negara ketiga.

Propaganda Barat di Afghanistan saat ini juga bertujuan sama; rakyat Afghanistan melawan Taliban di pertempuran terakhirnya, yaitu Kabul.

Jika itu terjadi, evakuasi warga Paman Sam dari Kedubes AS akan berjalan mulus. Jika yang terjadi sebaliknya, dunia mungkin akan melihat episode memalukan seperti Saigon 1975.

Tidak ingin mengambil risiko, AS dikabarkan mengerahkan 3.000 tentara untuk mengamankan bandara, dan 1.000 lainnya ke Qatar dengan tugas dukungan teknik dan logistik. Sedangkan antara 3.500 sampai 4.000 tentara ditempatkan di Kuwait untuk dikerahkan jika diperlukan.

Juru bicara Pentagon John Kirby menolak menyebut operasi ini sebagai NOE, atau Operasi Evakuasi Nonkombatan. Menurutnya, operasi ini tidak memiliki nama, dan menghindari bicara tentang evakuasi.

Misi NOE paling terkenal adalah Operasi Frequent Wind, ketika lebih 7.000 warga sipil Vietnam dievakuasi dari Saigon pada 29 dan 30 April 1975. Semuanya dibawa dengan helikopter.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement