Selasa 03 Aug 2021 05:55 WIB

Hari Survei Politik di Indonesia dan Kisah Sebuah Kafe

Survei politik membawa SBY-JK menjadi presiden dan wapres dan Golkar menang di 2004.

Denny JA
Foto: denny ja
Denny JA

Oleh : Denny JA, Kolumnis/Akademisi/Konsultan Politik

REPUBLIKA.CO.ID, --- Procope Coffee House.  Ini kafe yang paling tua di Paris, Perancis. Berdiri di tahun 1686, sekitar 335 tahun lalu. (1)

Di tahun 2011, saya duduk menikmati suasana di Cafe itu. Pemandu tur ini sangat tahu saya seorang penulis yang senang membaca.

“Di meja itu, Pak,” Ia menunjuk. “Sering diduduki Voltaire di tahun 1750-an. Victor Hugo sekitar tahun 1790-an lebih senang di pojok sana.”

Sang pemandu acap menyebut filsuf besar yang pernah ke kafe ini, ratusan tahun lalu. “Benyamin Franklin, tahun 1770-an, menulis sebagian konsep declaration of independence juga di sini.”

Beberapa waiter di Coffee Shop ini juga dilatih untuk memahami kisah sejarah yang terjadi di Coffee House itu. “Yess Sir. It is correct,” ujar sang waiter.

“Ketika Napoleon masih menjadi tentara rendahan, Ia pernah ke kafe ini. Ia kurang bayar. Dan Ia membayar sisa tagihan dengan topinya.”

“Wow,” saya pun terpana. 

Begitu banyak sejarah di kafe ini. Beberapa kali saya pejamkan mata, berimajinasi seolah para pemikir dan raja Perancis itu benar benar hadir di Cafe ini. 

Namun tujuan saya ke Cafe ini lebih jauh lagi. Saat itu saya mulai menulis soal sejarah opini publik. Kebetulan tahun itu, saya ke Paris.

Opini publik memang berasal dari bahasa perancis: opinion publique. Kata ini sudah muncul di buku pemikir perancis yang lain; Jean Jaques Rousseau, Julie or the New Heroise. Tahun 1761.

Dikisahkan bahwa opini publik pertama kali muncul dari Coffee House, kafe shop, di abad 16-17 di Paris dan Eropa. Opini publik awalnya turut dilahirkan di kafe ini pula, salah satunya.

Saat itu para bangsawan acap menghabiskan waktu, berjumpa di Coffee House. Di sana mereka bergunjing hingga diskusi serius.

Sambil minum kopi dan wine, mereka beropini soal baik dan buruknya kerajaan. Mereka berceloteh. Mengkritik. Beranalisa. Membuat prediksi. Memuji.

Mereka adalah generasi elit pertama Eropa yang mengisi  waktu luang di Coffee House sambil beropini.

Raja Perancis pun mencatat itu. Betapa kebijakannya, bahkan kehidupan pribadinya, acapkali digunjingkan di aneka Coffee House di Paris.

Sambil menikmati kopi. Makan sandwich. Saya merasa terbang ke waktu berbeda, ketika pertama kali tradisi opini publik lahir.

-000- 

Imajinasi ini datang kembali ketika saya harus menjawab pertanyaan: apa yang dapat dijadikan momen menetapkan hari survei politik untuk Indonesia?

Ini pertanyaan terutama dari sesama pegiat survei politik, pemimpin partai, akademisi, ketika bicara kemungkinan survei politik di Indonesia menapak ke tahap yang lebih tinggi. Yaitu memiliki hari nasionalnya.

Survei politik ini istilah untuk survei opini publik, yang kini banyak dipakai oleh partai politik. Kini di tahun 2021, tak ada pemilu atau pilkada penting tanpa kehadiran survei politik.

Tanggal berapa, bulan apakah selayaknya ditetapkan sebagai Hari Survei Politik di Indonesia? 

Aneka profesi memiliki hari jadinya. Ada hari film nasional 30 maret. Ada hari pers nasional 9 Febuari. Ada hari puisi 28 April.

Kapan hari survei politik?

Sebelum menjawab itu, pikiran saya kembali berkelana. Setelah coffee house, subkultur kedua yang menumbuhkan tradisi opini publik adalah mass media.

Khusus untuk opini publik di bidang kontestasi politik, dan pemilu, yang sangat kuat adalah mingguan Literary Digest, di Amerika Serikat.

Pusat gravitasi opini publik dari Coffee House di Paris di abad 17-18 pindah ke media Amerika Serikat abad ke-20.

Di tahun 1890, media mingguan Literary Digest didirikan oleh Isaac Kaufman Fanc. Tapi baru di tahun 1916, 26 tahun kemudian, mingguan ini membuat sejarah.

Di tahun 1916, majalah ini mempublikasi apa yang kelak menjadi tradisi survei opini publik, atau survei politik.

Tulis majalah ini, Woodrow Wilson akan memenangkan pemilu presiden Amerika Serikat tahun ini (1916). Majalah ini mengirimkan lebih dari sejuta postcard berbagai rumah tangga.

Postcard itu bertanya, siapa yang akan ibu/ bapak, saudara/saudari pilih sebagai presiden Amerika Serikat.

Dan prediksi ini akurat! Woodrow Wilson sungguh terpilih menjadi presiden Amerika Serikat, tahun 1916.

Banyak yang menduga, ini kebetulan belaka. Sejenis gutak gatik angka, tapi ini sedang untung saja: prediksi tepat.

Lalu dalam pemilu presiden di Amerika Serikat tahun 1920, 1924, 1928, 1932, kembali Literary Digest memprediksi secara akurat pemenang pilpres AS, mulai dari Warent Harding, Calvin Colidge, Herbert Hoover hingga Franklin Roosevelt. (2)

Sudah lima kali berturut-turut selama 16 tahun (1916- 1932) prediksi Literary Digest terbukti. ilmuwan, politisi dan publik luas tak lagi menganggapnya gutak gatik angka.

Namun di tahun 1936, prediksi Literary Digest meleset total. Ia menyatakan yang akan menang adalah Alfred Landon. Tak hanya menang, tapi Landon menang telak.

Ternyata yang menang sebaliknya. Franklin Roosevelt terpilih sebagai presiden Amerika Serikat.

Ikhtiar di Literary Digest menjadi awal lahirnya science: ilmu perilaku pemilih. Voting behavior. Kegagalan prediksinya juga keberhasilan sebelumnya menjadi bagian dari eksplorasi mencari motodelogi riset yang lebih valid.

Itulah momen terpenting bagi evolusi opini publik untuk konstestasi pemilu di dunia barat sana.

-000-

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement