Senin 02 Aug 2021 06:44 WIB

Defisit APBN tidak Dibarengi Kinerja Baik Pemerintah

Selama pandemi pengeluaran pemerintah hanya tumbuh 1,8-3,8 persen.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Nidia Zuraya
Defisit APBN
Foto: Tim infografis Republika
Defisit APBN

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembiayaan APBN berlebihan akan membawa risiko fiskal membahayakan di masa depan. Guru Besar Ilmu Ekonomi FEB UGM, Mudrajat Kuncoro menyampaikan fungsi APBN terdiri dari Fungsi Alokasi, Fungsi Distribusi dan Fungsi Stabilisasi yang mengupayakan stabilitas ekonomi, menstimulasi aktivitas ekonomi, dan counter-cyclical.

APBN tahun 2020 mempunyai payung hukum bagi kebijakan fiskal yang ekspansif di era pandemi yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 yang mengizinkan batas defisit anggaran melampaui tiga persen dari PDB selama masa penanganan Covid 19 sampai dengan berakhirnya tahun anggaran 2022. Namun Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2020 menyatakan defisit anggaran di tahun 2020 sebesar 6,34 persen dari PDB.

"Konsekuensi dari pelebaran defisit itu adalah melonjaknya nilai pembiayaan utang pada 2020," katanya dalam Webinar INDEF dan Forum Guru Besar dan Doktor INSAN CITA, Ahad (1/8).

Masih merujuk ke Perpres 72, pembiayaan utang untuk tahun 2020 mencapai Rp 1.039,2 triliun, melonjak 158,4 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Ditinjau dari Belanja APBN 2021, mencapai Rp 2.750 triliun.

Namun demikian, APBN belum menjadi prime mover ekonomi nasional dan menimbulkan dampak pengganda yang besar bagi ekonomi rakyat. Pengeluaran pemerintah hanya menyumbang 6,7-12,3 persen terhadap PDB, jauh di bawah konsumsi rumah tangga yang antara 56-58 persen dan investasi sebesar 32 persen.

Tercatat selama pandemi, pengeluaran pemerintah hanya tumbuh 1,8-3,8 persen. Pada kuartal I 2021 tumbuh 2,96 persen. Di sisi lain, kapasitas dan ruang fiskal justru semakin menurun dalam lima tahun terakhir.

Tax ratio atau rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB menurun tajam dari 10,9 persen pada 2014 menjadi hanya 9,6 persen pada 2019 dan 7,9 persen tahun 2020. Belanja negara lebih besar daripada pendapatan negara. Akibatnya, terjadi defisit anggaran yang terus meningkat di atas tiga persen dari PDB.

"Tax ratio pada 2020 turun hingga 7,9 persen mencapai tingkat terendah dalam setengah abad terakhir," katanya. Penurunan penerimaan perpajakan akibat pandemi dan resesi membuat tax ratio hanya satu digit, keempat kalinya selama pemerintahan Jokowi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement