Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sutanto

Kumpulan Puisi (alm) Sumartono Terbit

Sastra | Saturday, 31 Jul 2021, 21:12 WIB
Cover Buku (almarhum) Sumartono

Burung-burung Yang Hidup di Pohon Kamboja

Sunyi sepi dan hening, adalah kelopak burung kecil

Perlahan tapi pasti dia buka matanya

Tentang daun kamboja yang memayungi kepala

Dunia ini penuh kedamaian

Enyahkanlah hari, cumbulah angan-angan dalam harapan

Remukkanlah duniamu, tentang sisa mentari yang kemarin pecah

Kujabat tanganmu, dingin. Kau sedih?

Nama-nama telah kutabur ke udara

Burung kecil itu ikut terbang dari Pohon Kamboja

Sunyi sepi dan hening

Resahlah Kamboja tua

Akankah berayun-ayun di pucukmu?

Aku tak tahu, sejak kapan burung-burung kita mati

Ironikah ia?

Harapan kita makin tak pasti dibawa burung-burung yang kemarin mati

Meranggaslah Kamboja

Antarkan mereka di padang hambar

Resahlah dunia kita, termakan mulut-mulut kecil bergigi raksasa

Oh kejamkah dunia?

Nama-nama kita makin hilang

Kapankah kita tahu dengan pasti

21 Oktober 1980

Dosen Ilmu Bahasa dan Budaya UGM, Dr.Suhandano,MA. (Pemberi Pengantar)

Kumpulan 121 puisi bertitel “Burung-burung yang Hidup di Pohon Kamboja” buah karya almarhum Sumartono berhasil terbit Juni 2021dengan nomor ISBN 978-623-275-847-6. Drs. Sutanto selaku editor sekaligus adik almarhum Sumartono, menjelaskan bahwa puisi-puisi tersebut ditulis dalam kurun waktu tahun 1975 s.d 1983 menjelang kepergiannya menghadap Allah.SWT.
Puisi milik almarhum awalnya hanya tersimpan di almari. Kemudian seluruh anggota keluarga berinisiatif mendomumentasikan karya tersebut menjadi sebuah buku.
“Alhamdulillah melalui Komunitas Yuk Menulis pimpinan mbak Vitriya Mardiyati, keinginan kami sekeluarga dapat terwujud,” ungkap Sutanto yang juga guru MTsN 3 Bantul DIY tersebut dengan penuhh bahagia.

(almarhum) Sumartono penulis buku

Sumartono merupakan Guru SD Negeri Mutihan Wirokerten Banguntapan Bantul di Tahun 1983. Lahir pada Senin Kliwon, 3 Februari 1964, dia merupakan putra Sulung dari Dwijo Sumarto (alm) dan Suparmi. Memiliki 3 adik yaitu Sumartini (alm), Sutanto dan Sumartanti. Sumartono mengenyam Pendidikan di SD Wuluhadeg II lulus 1976 , SMPN Sanden lulus 1979, dan SPGN Bantul lulus 1981. Sejak SMP dia sudah mulai menulis puisi, dan saat SPG bakatnya semakin terasah dengan bergabung di Majalah Media Siswa.

Diluar kesibukannya mengajar, waktu itu dia aktif menjadi Pengurus Dewan Kerja Cabang (DKC) Gerakan Pramuka Kwarcab Bantul, Pembina Pramuka di beberapa SD dan SMP di Bantul. Pernah mengikuti Raimuna Nasional Tahun 1982 di Cibubur. Selain menulis dia juga memiliki hobi catur, bermain gitar dan mencipta lagu.

Sumartono dipanggil Allah SWT pada 27 Desember 1983 dalam usia yang masih belia (19 tahun) saat memimpin Perkemahan Bhakti Masyarakat (Pertimas) SMP Dwijaya Karen di Sembungan Kasihan Bantul.

Sapto Widodo teman karib almarhum semasa sekolah

Terbitnya buku Sumartono, disambut haru dan gembira oelh Sapto Widodo yang merupakan teman karibnya semasa sekolah di SPGN Bantul.
Sapto merasa trenyuh, karena karya sahabatnya tersebut dapat diterbitkan menjadi sebuat buku.
"Almarhum memang sangat produktif semasa sekolah, dia juga menjadi redaktur majalah Media Siswa kala itu. Karya-karya sangat digemari teman-teman," ujar Sapto.


Menurut Dosen Ilmu Bahasa dan Sastra, Dr.Suhandano,MA, sebagian besar puisi dalam buku ini bercerita tentang isi hati dan alam. Alam dalam pengertian yang luas, meliputi jagat raya dan isinya seperti gunung, laut, matahari, pohon, burung, malam, pagi, sore, dan sebagainya. Dalam puisi “Burung-burung yang Hidup di Pohon Kamboja”, misalnya, kita melihat bagaimana penulis menjadikan alam sebagai bahan renungan dan sarana curahan hati. Puisi-puisi dalam buku ini memberi gambaran bagaimana dekatnya penulis dengan alam. Alam dengan segala suasananya telah membangkitkan pikiran dan perasaan yang kemudian terwujud dalam puisi,

Puisi-puisi dalam buku ini memiliki kekuatan dalam pilihan kata dan gaya bahasa yang banyak menggunakan metafora. Perhatikan, misalnya, bait pertama puisi “Angin Gunung II”: Kabut putih bersekongkol / Menutupi jalan setapak di puncak gunung / Menyentuh embun di ujung hatiku / Mencelupkan hasrat cintaku.

“Semua kalimat dalam bait ini menggunakan gaya bahasa metafora, menjelaskan sesuatu dengan hal lain, atau secara khusus gaya bahasa personifikasi. Kabut putih dijelaskan dengan mengumpamakannya seperti manusia yang dapat bersekongkol, menutupi jalan, dan seterusnya. Selain keindahan bahasanya, puisi-puisi dalam buku ini juga menyajikan tema yang beragam,” pungkasnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image