Jumat 30 Jul 2021 16:50 WIB

Bedakan Kritik & Oposisi Reaksioner di Penanggulangan Covid

Pandemi adalah perang dan menyatukan umat manusia dalam tujuan mengalahkan Covid-19.

Dua orang tenaga kesehatan beristirahat sejenak saat menunggu pasien di ruang isolasi COVID-19 Rumah Sakit Umum (RSU) Dadi Keluarga, Kabupetan Ciamis, Jawa Barat.
Foto: ANTARA/Adeng Bustomi
Dua orang tenaga kesehatan beristirahat sejenak saat menunggu pasien di ruang isolasi COVID-19 Rumah Sakit Umum (RSU) Dadi Keluarga, Kabupetan Ciamis, Jawa Barat.

Oleh : Selamat Ginting, Wartawan Senior Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Sosiolog dari Universitas Nasional (Unas) Dr Erna Ermawati Chotim M.Si menjelaskan harus dibedakan antara kritik dan oposisi reaksioner dalam menanggapi penanggulangan Covid-19 yang dilakukan pemerintah. Oposisi didasarkan pada posisi politik dan afiliasi daripada etika, keadilan sosial, dan pertimbangan keamanan publik.

“Warga negara yang kritis dan mempertanyakan (penanggulangan Covid-19) harus didasarkan pada prinsip tidak membahayakan. Jika pelaksanaan kebebasan dan pilihannya anti-social distancing serta berpotensi membahayakan orang lain, tidak dapat disebut sebagai perilaku yang dihasilkan dari berpikir kritis,” kata pengajar program studi sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas di Jakarta, Rabu (28/7).

Erma mengemukakan hal itu dalam Konferensi Nasional Ilmu Sosial ke-1 dengan tema “Solidaritas, Kreativitas, Konetivitas”. Konferensi mengkaji dari ilmu politik, ilmu hubungan internasional, sosiologi dan ilmu komunikasi. Fokus masalah penanganan Covid-19 yang diselenggarakan secara virtual dengan tuan rumah Unas.

Konferensi ini merupakan konsorsium publikasi ilmiah bidang ilmu sosial bekerja sama dengan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah III (LLDIKTI III) DKI Jakarta. Tampil sebagai pembicara kunci Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto. Acara dibuka Wakil Rektor Unas bidang akademik dan kemahasiswaan Dr Suryono Effendi. Ditutup oleh Ketua LLDIKTI III Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Prof Agus Setyo Budi.

Kesadaran Warga

Lebih lanjut Erma mengemukakan, berpikir reflektif mengajarkan seseorang untuk

mempertanyakan tidak hanya sistem, tetapi juga keterlibatan dalam sistem dan

konsekuensinya. Sebab pada dasarnya kesadaran kewargaan harus berorientasi pada kesejahteraan, hubungan manusia, hubungan etis, pemeliharaan lingkungan, dan keadilan sosial.

Ia mengutip pendapat Jurgen Habermas seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman. Habermas berpendapat kesadaran kewarganegaraan dapat dimulai dengan membentuk identitas kolektif melalui berbagai pemikiran dan kegiatan secara reflektif. Dalam hal ini individu dituntut untuk berpartisipasi dalam proses komunikasi pembentukan identitas. Sehingga akan terjadi proses pembelajaran yang berkelanjutan.

“Proses tersebut tidak harus selalu terlembagakan tetapi dapat terjadi secara cair

dalam waktu dan tempat tertentu,” kata Erna, doktor sosiologi itu.

Kebiasaan tersebut, lanjut Erna, jika terus dilakukan dapat terus menyebar pada berbagai dimensi dan area kehidupan masyarakat. Habermas menyebutnya proses tersebut memiliki karakter subpolitik, yaitu proses yang bekerja di bawah tingkat proses keputusan politik tetapi proses tersebut secara tidak langsung dapat mempengaruhi sistem politik, mengubah kerangka kerja normatif dari keputusan politik. Karena itu pula, menurut Erna, studi dan analisis tentang kewarganegaraan memberikan inspirasi tentang hak-hak sosial, cara masyarakat dilayani atau tidak dilayani oleh sistem kesejahteraan dan kebijakan sosial negara.

“Jadi, selayaknya warga negara akan mendapatkan pelayanan dan haknya setara dengan partisipasi apa yang diberikannya atau sebaliknya. Dalam konteks ini masyarakat dituntut tidak hanya mendapatkan haknya tetapi bertanggung jawab, berpartisipasi untuk terpenuhinya hak-haknya,” ungkap Erna.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement