Sabtu 24 Jul 2021 16:56 WIB

Kenapa Pricing Bank Syariah Lebih Mahal?

Bank Syariah Indonesia didirikan agar pricing perbankan syariah lebih kompetitif

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Bank Syariah Indonesia. Bank Syariah Indonesia didirikan agar pricing perbankan syariah lebih kompetitif
Foto: BSI
Bank Syariah Indonesia. Bank Syariah Indonesia didirikan agar pricing perbankan syariah lebih kompetitif

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank syariah disebut memiliki pricing yang lebih mahal dari bank konvensional. Pemerhati Bisnis dan Keuangan Syariah, Ronald Rulindo menyampaikan setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan pricing bank syariah bisa lebih mahal.

"Yang pertama, ini sudah banyak disampaikan yaitu skala ekonominya," katanya pada Republika, Sabtu (24/7).

Baca Juga

Ia mengajak membandingkan bank syariah dengan bank lain yang kurang lebih total asetnya sama, maka pricing kurang lebih tidak akan jauh berbeda. Beda halnya saat membandingkan aset bank syariah yang asetnya Rp 20 sampai Rp 30 trilliun dengan induknya yang Rp 200 trilliun bahkan Rp 1.000 trilliun.

"Kalau harus sama ya tidak masuk akal," katanya.

Maka dari itu, Bank Syariah Indonesia didirikan supaya bisa mencapai skala ekonomi yang dibutuhkan, agar pricing lebih kompetitif. Tapi itu baru BSI, sementara masih banyak bank syariah lain yang skalanya lebih kecil.

"Logika sederhana aja, mahal mana beli di warung depan rumah, sama di hypermarket? Umumnya pasti di warung yang lebih kecil," katanya.

Alasan kedua, bisa jadi pengaruh akad, terutama akad murabahah atau jual beli yang memiliki harga tetap. Mau terjadi inflasi seberapa pun harga tidak akan berubah. Beda dengan bank konvensional atau produk syariah yang bisa menawarkan flat rate nilainya lebih fleksibel.

Hal ini karena dalam keuangan, semakin panjang durasi investasi semakin tinggi risiko. Maka ekspektasi return pembiayaan jangka panjang juga akan tinggi. Karena itu, akad murabahah menjadi relatif lebih mahal.

"Yang ketiga, karena struktur produk dan ketentuan syariah sendiri, nah, yang ini orang banyak tidak tahu," katanya.

Ia menjelaskan bagaimana laba bisa halal dan riba menjadi haram. Ini karena, untuk dapat laba, harus ada iwadhnya, alias countervalue, atau justifikasi kenapa kita berhak dapat laba tersebut.

Beda dengan riba yang duduk ongkang-ongkang kaki tapi dapat uang dengan cara meminjamkan uang tersebut ke orang lain. Tanpa peduli dari penggunaan dana tersebut.

"Iya kalau mereka berusaha dan untung, Kalau rugi? Apalagi misalnya minjamnya untuk bayar rumah sakit malah menambah kesusahan kan? Makanya riba itu haram," katanya.

Iwadh sebagai syarat dari laba itu sendiri ada beberapa macam. Bisa jadi ada usaha yang dilakukan, kewajiban tambahan yang harus dijalankan, atau ada risiko yang harus diterima. Dari tiga ini, jelas ada biaya tambahan untuk mendapatkan laba tersebut.

"Berbeda dengan riba, kalau dari sudut pandang efisien ya pasti lebih efisien, tidak melakukan apa-apa tapi juga bisa untung," katanya.

Maka dari itu, sebenarnya wajar saja jika bank syariah mahal karena ada hal-hal yang harus dilakukan untuk mendapatkan keuntungan tersebut. Ini juga dapat menjadi bahan introspeksi bagi bank syariah apakah sudah melakukan iwadh tadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement