Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Ersyad Muttaqien

Kritik Atas Modernisme: Tinjauan Jurgen Habermas-Sayyed Nasr

Eduaksi | Saturday, 24 Jul 2021, 12:21 WIB
Sebuah bangunan di zaman modernisme

Modernisme telah mengantarkan manusia ke dunia yang lebih memudahkan, praktis dan aplikatif. Ciri termudahnya, smartphone sebagai produk modernisme bisa membangun konektivitas antar manusia padahal berbeda tempat. Pergi keluar negeri jika jalan kaki bisa menempuh waktu berbulan-bulan namun karena ijtihad modernisme mampu melahirkan pesawat terbang maka hanya memerlukan waktu beberapa jam saja untuk pergi keluar negeri.

Disisi lain modernisme juga melahirkan rasa takut dan mengikis prinsip-prinsip kemanusiaan, misalnya, tangan dan otak manusia mampu menciptakan nuklir (produk militer) yang membuat resah warga dunia. Contoh lainnya, Kebutuhan produksi di sebuah pabrik yang bertambah besar menciptakan tekanan kerja yang tinggi untuk para karyawannya. Fakta-fakta tersebut menghadirkan watak manusia menjadi penuh kekhawatiran, cemas dan stress.

Modernisme pada awal kebangkitannya (abad ke-16) di era renesains (masa awal keemasan barat) diberi tepuk tangan, di elu-elukan, karena berhasil membangun new paradigm (berkehidupan dan gaya berpikir yang baru). Menghilangkan tradisi mitos-mitos klasik yang tidak masuk akal dan meredam wewenang otoritas gereja (agama) yang absolut dan otoriter. Ilmu pengetahuan pada saat itu ditempatkan pada posisi tertinggi dalam mengurusi dunia.

Namun kini modernisme tampil sebagai mitos baru, mitos yang dijauhi manusia. Tidak lagi secara optimal menjadi jawaban terhadap kebutuhan manusia, seringkali mengganggu ekosistem alami kehidupan manusia. Modernisme dengan giatnya membuat kendaraan bermesin menyebabkan polusi udara yang mengganggu pernapasan manusia. Menghadirkan makanan cepat saji yang menyebabkan manusia gampang terserang kanker.

Habermas dan Sayyed Nasr merupakan dua pemikir (filsuf) yang berkembang dalam perjalanan modernisme (sekitar 1940-an), perbedaan usia keduanya tidak terpaut jauh. Keduanya memiliki kesamaan ‘keresahan akademis’ yakni melihat buruknya operasionalisasi modernisme. Mereka berdua meski tidak pernah bertemu menganggap bahwa modernisme telah mengikis hakikat yang dimiliki manusia.

Keduanya tidak menolak keberhasilan modernisme dalam membangun peradaban dunia. Habermas dan Sayyed Nasr meski memiliki pijakan epistemologis yang berbeda. Habermas berpijak pada rasio-kritis khas ilmuwan madzhab Frankfurt sementara Sayyed Nasr berpijak pada rasio-wahyu khas ilmuwan timur tengah. Keduanya sama-sama melakukan kritik yang konstruktif yakni tidak memiliki motif untuk mengubur ide modernisme.

Bagi mereka, ada poin-poin penting yang mesti di kritik pada operasionalisasi ide modernisme. Habermas melihat dalam poin relasi interaksi manusia paradigma berpikir khas modernisme yakni rasional-instrumental, melihat relasi manusia dengan manusia lainnya sebagai subjek dan objek adalah hal yang keliru. Subjek dan objek hanya bisa diaplikasikan dalam relasi manusia dan benda.

Relasi antar manusia harus dibentuk dengan paradigma subjek dan subjek, saya memiliki keinginan - anda pun memiliki keinginan (beginilah seharusnya relasi itu). Jika subjek dan objek yang di operasikan, maka akan ada perlakuan dimana manusia menganggap manusia lainnya sebagai robot atau mesin yang harus mengikuti apa kemauannya (dan otomatis dilaksanakan). Ini yang terjadi pada bos pabrik terhadap karyawannya. Seenaknya!

Argumentasi Habermas yakni rasio-komunikatif (bantahan terhadap rasio-instrumental) melihat bahwa antar manusia harus saling berbicara, mendiskusikan keinginan masing-masing, dan menyamakan visi. Sehingga modernisme dalam relasi antar manusia mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Kata kunci penting dalam ide Habermas ini adalah berkomunikasilah dan bentuk kesepakatan bersama. Jangan melihat manusia sebagai robot.

Sementara Sayyed Nasr melihat poin yang perlu di kritik dalam modernisme ialah jangan terus-menerus menciptakan benda dan model manusia yang hampa perasaannya. Modernisme pada kelahirannya telah meninggikan posisi akal setinggi-tingginya sehingga berjauhan dengan hati. Hubungan antar manusia menjadi sebatas mencari keuntungan materil dan kompetisi semata.

Modernisme didominasi pandangan hidup materialistik, pragmatik dan sekularistik. Pandangan tersebut sangat menjunjung tinggi nilai material dan mengenyampingkan nilai spiritual. Manusia dianggap hanya memerlukan rumah dan nasi saja, tanpa unsur lain yakni spiritualitas dan religiusitas.

Sayyed Nasr mengajak untuk kembali kepada dimensi pengetahuan klasik dan berketuhanan. Perlu adanya keseimbangan antara zikir dan pikir, rasa dan rasio, duniawi dan ukhrawi. Cita-cita modernisme tidak akan terwujud jika tidak ada harmonisasi.

Harmonisasi tersebut menurut Sayyed Nasr harus didorong oleh spirit dan narasi spiritualitas yang kuat. Karena dengan Agama manusia mampu melembutkan hatinya dan mengedepankan sikap-sikap persatuan.

Sifat dari Ilmu pengetahuan yakni universal menurut Sayyed Nasr bisa serasi dengan Agama Islam jika umat Islam menduplikasi akhlaq Universalitas Nabi Muhammad. Karena Nabi Muhammad telah mengoptimalkan ajaran Islam dalam bentuk perbuatan untuk mengelola bumi dan lingkungan. Sudah sejak dahulu kala Islam melahirkan amalan-amalan modernis.

Habermas dan Sayyed Nasr menuntun masyarakat dunia untuk menjadikan falsafah modernisme lebih akurat dalam melindungi martabat manusia, mendorong mental spiritualitas dan normalisasi dunia.

Catatan: Tulisan ini merupakan tinjauan sederhana mengenai kemiripan Jurgen Habermas dan Sayyed Hossein Nasr dalam kacamata aksiologis pada wacana kritik terhadap Modernisme. Bukan kemiripan dalam aspek teologis.


Penulis merupakan Dosen Ilmu Komunikasi FISIP di Universitas Pasundan (Bandung).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image