Jumat 23 Jul 2021 18:02 WIB

Masjid Ditutup Mal Dibuka, Prof Muti: Itu Argumen Politik 

Prof Abdul Muti menilai landasan syariat mendukung penanganan Covid-19

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Sekretaris Umum PP, Muhammadiyah Abdul Muti,  menilai landasan syariat mendukung penanganan Covid-19
Foto: Republika/Prayogi
Sekretaris Umum PP, Muhammadiyah Abdul Muti, menilai landasan syariat mendukung penanganan Covid-19

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Abdul Mu’ti, mengatakan sekarang memang ada ketidakpercayaan terhadap pemerintah di tengah Covid-19. Bahkan, ada sebagian yang menunjukkan sikap perlawanan.

Menurut dia, sikap seperti itu sebenarnya merupakan kelanjutan dari perdebatan politik sejak sebelum terjadinya kasus Covid-19. Misalnya, munculnya tuduhan pemerintah komunis, sekuler, dan pemerintah anti-Islam.

Baca Juga

“Itu masih ada dalam risiko politik umat, dan kemudian mendapatkan momentum untuk dihidupkan kembali dengan berbagai arugumen, misalnya ke masjid tidak boleh tapi mal dibuka, mudik tidak boleh tapi tempat wisata dibuka,” ujar Prof Mu’ti dalam webinar CONVEY Indonesia bertema “Beragama di Masa Pandemi”, Jumat (23/7)

“Nah argumen-argumen itu memang seringkali muncul. Menurut saya ini lebih sebagai argumen politik daripada argumen keagamaan,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Prof Mu’ti menjelaskan bahwa ketebukaan dan kemudahaan mengakses informasi membuat ruan publik semakin hiruk pikuk di masa pandemi. 

Menurut dia, media sosial sekarang sudah menjadi ruang pertarungan baru. “Ini yang sekarang terjadi. Tanpa kita sadari juga bagaimana ketika mobilitas fisik terbatas, mobiltias media sosial tidak bisa dibendung. Dan ini memberikan keuntungan dari kelompok-kelompok tertentu,” ucapnya.

Menurut dia, kelompok konservatif yang mengambil keuntungan tersebut biasanya tidak memiliki jaringan sosial atau lembaga sosial, sehingga mereka pun memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan berita-berita bohong atau tuduhan kepada pemerintah.

“Sehingga kalau saya boleh jujur, kekuatan kelompok-kelompok konservatif itu kan ada pada kemampuan mereka menggunakan medsos. Karena, sekali lagi, mereka tidak punya lembaga sosial yang memungkinkan mereka membuat gerakan yang berbasis massa,” kata Prof Mu’ti.

Dia pun mencontohkan seperti dalam grup WhatsApp yang diikutinya. Menurut dia, dalam grup tersebut ada satu orang yang selalu memposting tulisan-tulisan yang menunjukkan perlawanan kepada kebijakan pemerintah.  

“Itu ada satu orang tiap hari memposting tulisan yang isisnya itu vaksinasi konspirasi lah, Covid-19 tidak ada, pemerintah ini anti-Islam, komunis, dan lain-lain. Perkara orang baca atau tidak itu tidak urusan lain,” jelasnya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement