Selasa 20 Jul 2021 19:30 WIB

Pendapat Epidemiolog Soal Kasus Kematian Covid di Atas 1.000

Peningkatan kasus kematian terkait Covid-19 di Indonesia diduga karena beberapa hal.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Yudha Manggala P Putra
Foto udara memakamkan jenazah dengan protokol COVID-19 di TPU Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, Kamis (15/7/2021). Berdasarkan data Worldometer, Indonesia resmi masuk empat besar kasus aktif COVID-19 terbanyak di seluruh dunia, pada Kamis (15/7/2021) kasus aktif di Indonesia mencapai 480.199 kasus, melampaui Rusia yang tercatat 457.250 kasus, Indonesia juga jauh melampaui India yang tercatat 432.011 kasus.
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Foto udara memakamkan jenazah dengan protokol COVID-19 di TPU Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, Kamis (15/7/2021). Berdasarkan data Worldometer, Indonesia resmi masuk empat besar kasus aktif COVID-19 terbanyak di seluruh dunia, pada Kamis (15/7/2021) kasus aktif di Indonesia mencapai 480.199 kasus, melampaui Rusia yang tercatat 457.250 kasus, Indonesia juga jauh melampaui India yang tercatat 432.011 kasus.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kematian akibat Covid-19 di Tanah Air menunjukkan tren peningkatan di atas 1.000 per hari. Pakar epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Laura Navika Yamani menduga ada beberapa kemungkinan penyebab itu.

"Ada beberapa kemungkinan, pertama pasien belum mendapatkan pelayanan kesehatan karena BOR (bed occupancy ratio) penuh," ujarnya saat dihubungi Republika, Selasa (20/7). Ia menambahkan, kondisi fasilitas kesehatan bisa dikatakan kolaps yang artinya keterisian atau  (BOR) masih penuh.

Jadi, dia menambahkan, walau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat saat ini, ternyata masih ada orang yang dirawat di rumah sakit, kemudian ada orang yang baru terinfeksi Covid-19 ditolak berobat ke fasilitas kesehatan dan harus mengantre.

Sehingga, dia menambahkan, mereka yang sulit masuk RS tak jarang harus menunggu di instalasi gawat darurat (IGD). Akibatnya, kondisi ini justru memperlambat penanganan orang-orang terpapar Covid-19.

Tak hanya itu, ia menyebutkan kondisi psikis pasien Covid-19 yang tak hanya memikirkan dirinya melainkan juga keluarganya juga bisa menyebabkan perburukan kondisi dan ini bisa berujung pada kematian.  

Kemudian, dia menambahkan, kemungkinan terakhir adalah varian baru virus Delta yang sudah cepat menular dan bisa menyebabkan kematian.

"Apalagi, cakupan imunisasi di negara kita masih rendah, jadi mungkin ada relevansi varian delta dengan penyebaran satu penyakit. Padahal, negara-negara lain sudah mendapatkan vaksin," katanya.

Kendati demikian, dugaannya ini belum bisa dibuktikan 100 persen. Ia mengakui masih dibutuhkan data penelitian lebih lanjut.

Yang jelas, ia menilai penanganan Covid-19 di Indonesia belum maksimal karena dengan kebijakan yang dikeluarkan belum dapat mengendalikan kasus Covid-19.

"Akibatnya, kasus Covid-19 juga masih tinggi, jumlah kematian juga cukup tinggi. Kalau dibandingkan dengan negara lain, Indonesia kan masuk negara pertama kasus harian tertinggi, kematian harian juga banyak," katanya.

Oleh karena itu, ia meminta pemerintah harus mengevaluasi  upaya pengendalian atau penanganan Covid-19 yang sudah dilakukan sampai saat ini. Laura meminta pemerintah tak hanya menekankan bidang hulu melainkan juga hilirnya.

Artinya, ia meminta rumah sakit harus dievaluasi meski pemerintah telah mengupayakan menambah  fasilitas kesehatan, tempat isolasi.

Namun, dia menambahkan, jika kalau tak ada tenaga kesehatan (nakes) di satu fasilitas kesehatan yang baru ini maka tidak ada yang merawat orang-orang yang terpapar Covid-19.  "Itu harus benar-benar dievaluasi," katanya.

Laura juga meminta kompetensi nakes yang dipekerjakan di rumah sakit harus mumpuni. Artinya bukan malah merekrut mahasiswa kedokteran di lapangan yang tidak banyak berkontribusi atau tidak signifikan.

Ia juga meminta pemerintah harus belajar dari negara-negara dalam menangani Covid-19 dan suspek. "Jadi, (penanganan) berbasis data ilmiah dan bisa diadopsi," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement