Senin 19 Jul 2021 11:23 WIB

Pak Jokowi, Tolong Tertibkan Komunikasi Politik Istana

Komunikasi Istana selama ini tidak jelas dalam koordinasi.

Presiden Joko Widodo (Jokowi)
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Presiden Joko Widodo (Jokowi)

REPUBLIKA.CO.ID --  Oleh: Ilham Bintang, Jurnalis Senior dan  Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)

Sudah lama sebenarnya kita mengeluhkan komunikasi politik Istana. 

Ya, ampun. Terjadi lagi kemarin. Kali ini soal PPKM Darurat (3-20 Juli). 

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan Presiden Joko Widodo telah memutuskan memperpanjang penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat hingga akhir Juli 2021. 

Menko PMK mengatakan itu saat berkunjung ke Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Jumat (16/7) "Tadi rapat kabinet terbatas yang saya ikuti waktu di Sukoharjo (Jateng) sudah diputuskan Bapak Presiden, ( PPKM Darurat) dilanjutkan sampai akhir Juli," kata Muhadjir seperti dilansir Antara, Jumat.  

Segera setelah beredar luas, berita itu langsung dibantah juru bicara Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Jodi Mahardi. "Pemerintah belum memutuskan perpanjangan PPKM Darurat," katanya, seperti dikutip Kontan, Jumat (16/7) malam.

Sebelumnya, 3 Juli lalu, pemerintah menerapkan PPKM Darurat untuk mencegah penyebaran Covid-19. PPKM Darurat akan berakhir pada 20 Juli mendatang. 

Disusul kemudian pernyataan Tenaga Ahli Utama pada Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin. Ali mengatakan, keputusan resmi pemerintah terkait PPKM Darurat akan diumumkan langsung oleh Presiden Jokowi pada 20 Juli 2021 mendatang. 

Kita sudah tidak tahu mana pernyataan yang bisa dipegang dari tiga sumber tadi. Menko PMK, juru bicara Kemenko Marves, atau Tenaga Ahli Utama KSP? 

Kegaduhan pun terjadi di tengah masyarakat yang sudah menderita sejak Maret 2020 akibat pandemi Covid-19. 

Sampai Sabtu (17/7), total kasus positif sebanyak 2.832.775. Sembuh 2.232.394, yang wafat 72.489 jiwa. Update hari itu saja, jumlah positif 51.952 dan wafat 1.092 jiwa. Sudah empat hari terakhir ini angka update harian menempatkan Indonesia pada posisi nomor 1 dunia. 

Istana pun saya kira tahu, PPKM Darurat ini menghadapi resistensi dari sebagian masyarakat. Mungkin karena aturan pembatasan banyak diarahkan kepada pekerja kantoran. Seperti melupakan ada 74 juta pekerja informal dari 130 juta angkatan kerja di Indonesia (Data BPS, 2020). 

Seperti gambaran dalam laporan tulisan saya "Beyond Help" : Pandemi Covid19 Di Tanah Air (14 Juli 2021), PPKM Darurat menghadapi resistensi terutama dari pekerja informal. Sebagian besar mereka beraktivitas mencari nafkah hanya untuk cari makan keluarganya pada hari itu saja. 

Mereka itulah yang teridentifikasi setiap hari frontal dengan petugas di seluruh ruas jalan tempat penyekatan. Selebihnya di lapak- lapak, gerobak, dan ruko-ruko tempat berjualan yang dibubarkan paksa tanpa ampun oleh petugas satpol.  

Mudah dibayangkan akan terjadi konflik fisik antarpetugas dengan masyarakat yang berjualan sekadar hanya mencari sesuap nasi untuk keluarganya. 

PPKM Darurat lanjut atau setop, sebenarnya poinnya bukan di situ, melainkan pada kewajiban pemerintah membiayai kebutuhan  dasar rakyat yang terdampak pembatasan kegiatan.

Pasal 55 ayat 1 UU Nomor 6/2018 Tentang Kekarantinaan mengatur kewajiban itu. Bukan menghukum dan memberi sanksi pidana kepada mereka. Pakar hukum pidana Prof Dr Mudzakir dari Universitas Islam Indonesia menyayangkan sanksi pidana kepada masyarakat yang melanggar aturan PPKM Darurat. 

"Kasihan, mencari makan kok dipidana. Dasar hukum PPKM Darurat tidak cukup untuk dapat menerapkan sanksi pidana. Kenapa tidak gunakan UU Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan," katanya dalam diskusi di TV One, Sabtu (17/7) petang. 

"Bayari kebutuhan dasar hidup rakyat yang terdampak. Begitu perintah UU-nya," tambah Mudzakir. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement