Kamis 15 Jul 2021 00:25 WIB

Kuba Bergejolak, Satu Orang Tewas dalam Protes Anti-Pemerintah

Dalam beberapa hari terakhir, ribuan warga Kuba telah turun ke jalan

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Aksi Demo Kuba
Aksi Demo Kuba

Kementerian Dalam Negeri Kuba mengonfirmasi pada Selasa (13/07) bahwa protes anti-pemerintah yang baru-baru ini terjadi telah menelan korban jiwa. Mereka mengatakan "berduka atas kematian” seorang pria berusia 36 tahun bernama Diubis Laurencio Tejeda.

Tejeda tewas setelah bentrokan pecah antara pengunjuk rasa dan kepolisian di kotamadya Arroyo Naranjo di pinggiran Havana, Senin (12/07).

Otoritas Kuba juga mengatakan telah menangkap sejumlah orang dan melaporkan beberapa orang terluka, termasuk beberapa petugas polisi.

Mengapa warga Kuba berunjuk rasa?

Protes anti-pemerintah di Kuba awalnya pecah pada Minggu (11/07) dan berlanjut hingga Senin dan Selasa.

Para pengunjuk rasa menyatakan kemarahan atas kekurangan pangan, meningkatnya biaya hidup, serta beberapa keluhan lainnya terhadap pemerintah.

"Masalahnya adalah pemerintah tidak memiliki mata uang asing untuk dapat mengimpor makanan atau obat-obatan atau bahan bakar, jadi ada kekurangan semua kebutuhan pokok di toko-toko,” kata William LeoGrande kepada DW. LeoGrande adalah seorang profesor di American University dan merupakan pakar Amerika Latin.

Kuba saat ini sedang bergulat dengan krisis ekonomi terburuk sejak jatuhnya Uni Soviet, dan negara tengah menghadapi rekor peningkatan jumlah kasus COVID-19.

Apa respons pemerintah Kuba?

Aksi protes di Kuba diwarnai dengan gelombang penangkapan demonstran, serta tuduhan kebrutalan polisi.

Otoritas Kuba juga telah membatasi akses warga ke media sosial dan platform berbagi pesan seperti Facebook dan WhatsApp, demikian menurut perusahaan pemantau internet global NetBlocks.

Presiden Kuba Miguel Diaz-Canel menyalahkan Amerika Serikat (AS) atas pergolakan yang terjadi. Dia mengatakan pada Senin (12/07) bahwa Washington tengah mengejar "kebijakan ekonomi mati lemas untuk memprovokasi kerusuhan sosial.”

Seperti diketahui, Kuba telah berada di bawah sanksi AS selama hampir 60 tahun.

Sementara itu, Washington telah mendesak Kuba untuk mengakhiri pembatasan internet dan meminta orotitas Kuba "menghormati suara rakyat dengan membuka semua sarana komunikasi, baik online maupun offline.”

gtp/pkp (AP, AFP, Reuters)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement