Jumat 09 Jul 2021 13:33 WIB

Guru Terbelenggu Administrasi, Pendidikan Indonesia Stagnasi

Sistem pendidikan Indonesia yang telah membelenggu guru selama puluhan tahun.

Seorang guru memberikan pelajaran saat proses belajar mengajar di salah satu rumah siswa di Desa Nuruwe, Seram Bagian Barat, Maluku.
Foto: Antara/Muhammad Iqbal
Seorang guru memberikan pelajaran saat proses belajar mengajar di salah satu rumah siswa di Desa Nuruwe, Seram Bagian Barat, Maluku.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rendahnya kualitas guru dinilai sebagai kalangan sebagai penyebab stagnasi kualitas pendidikan dan Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia. Namun, menurut Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal, bukan kualitas guru yang menjadi penyebabnya, justru sistem pendidikan Indonesia yang telah membelenggu guru selama puluhan tahun. Alhasil solusi persoalan tersebut tak kunjung tercipta.

Dalam webinar daring yang diselenggarakan Balai Besar Pengembangan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Vokasi bidang Pertanian, Selasa (6/7), Ia berkata pola pengembangan profesionalisme guru di Indonesia selama ini berorientasi pada pemenuhan administrasi, sehingga penilaiannya lebih bersifat karikatif, atau tidak nyata. "Sebatas konsep yang teknokratis," kata Rizal.

Pelatihan Guru Penggerak yang diinisiasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Riset Teknologi (Kemendikbud-Ristek) pun dinilai Rizal tidak efektif. Penyebabnya karena pemerintah daerah masih berorientasi pada pemenuhan administrasi.

Menurut Rizal, ada tiga aspek yang harus diubah dalam pengelolaan pengembangan profesionalisme guru. Pertama aspek pemberian otonomi kepada guru untuk memiliki kekuasaan dalam mengambil keputusan atau kepemilikan atas praktik pengajaran mereka.

Kedua pembentukan komunitas guru yang saling berbagi praktik pengajaran dan mendukung satu sama lain dalam rangka mempertahankan standar kualitas pengajaran dan tidak terlalu berorientasi pada pemenuhi administrasi. Ketiga kesempatan luas untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan baru yang sesuai dengan kebutuhan zaman.

Ketiga aspek ini diharapkan dapat meningkatkan kompetensi profesional, pedagogi, sikap kepribadian dan ketrampilan sosial guru. "Sayangnya, pelatihan kita lebih banyak berorientasi pada peningkatan pedagogi dan profesionalisme karier guru, kurang pada aspek sikap kepribadian dan sosial," ujar Rizal.

Salah satu contoh praktik otonomi guru adalah bagaimana pemerintah baik kementerian, khususnya pemerintah daerah, memberikan ruang bagi guru untuk membuat kurikulum sekolah sendiri yang dapat menerjemahkan kurikulum pusat. "Ruang itu bisa dalam bentuk kebijakan daerah yang memberikan alokasi seperempat waktu dari kewajiban guru bekerja selama 24 jam seminggu untuk mendapatkan sertifikasi digunakan untuk kegiatan pelatihan atau bertukar pengalaman antar guru dalam membuat kurikulum sekolah," kata Rizal.

Menurutnya, pemberian otonomi ini penting karena antar guru punya peluang untuk saling berbagi dan mendukung satu sama lain dalam rangka meningkatkan standar kualitas pengajarannya. Jika kebijakan ini terus-menerus terjadi, maka akan tercipta budaya baru di mana guru merasa percaya diri dan memiliki kemandirian untuk mengambil keputusan atas praktik pengajaran selama ini. Guru akan menjadi pelaku utama bagi pengembangan siswanya secara holistik karena gurulah yang paling memahami kondisi mental dan kompetensi siswanya.

Selain itu, pembentukan komunitas guru yang saling berbagi praktik pengajaran dan mendukung satu sama lain dalam rangka mempertahankan standar kualitas pengajaran yang tinggi perlu dilakukan untuk memberikan kebanggaan atau kepuasan pada profesi guru, kepuasan pada lingkungan kerjanya dan kepercayaan diri.

Sayangnya, komunitas guru seperti Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Kelompok Kepala Sekolah (KKS), lebih banyak dipakai untuk menyeragamkan proses belajar antar sekolah serta capaian belajar yang diharapkan dari siswa didiknya, seperti pembuatan soal ujian bersama, pembuatan RPP bersama, dan administrasi pengajaran lainnya. Sehingga, guru-guru secara tidak sadar terbentuk rasa tidak memiliki kewenangan untuk pengetahuan dan kompetensi profesionalismenya.

Hal itu diakibatkan tuntutan yang terlalu fokus pada pemenuhan administrasi oleh pemerintah daerah. "Kondisi inilah yang perlu dibongkar agar guru tidak terkukung dalam budaya feodalisme standarisasi," kata dosen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi Universitas Gadjah Mada itu.

Saat ini yang harus ditingkatkan menurut Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian, adalah partisipasi pendidikan yang tinggi, hasil belajar berkualitas, dan distribusi pendidikan yang merata. Ia berkata, beberapa perbaikan harus didorong untuk mencapai target tersebut.

"Infrastruktur dan teknologi, kebijakan, prosedur dan pendanaan, kepemimpinan masyarakat dan budaya, serta kurikulum, pedagogi, dan asesmen," kata Hetifah dalam keterangannya.

Karena itu, menurut Hetifah, penting untuk membuat peta jalan pendidikan nasional yang holistik. Di dalamnya, seluruh pemangku kepentingan pendidikan termasuk siswa harus menjadi agen perubahan.

"Untuk menghadapi tantangan SDM masa depan yang begitu kompleks, dimana dunia pendidikan kita dihadapkan pada berbagai permasalahan yang harus segera diatasi secara holistik," kata Hetifah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement