Jumat 25 Jun 2021 18:00 WIB

Menkes Kaji Vaksin Sinovac-Pfizer untuk Anak-Remaja

Menkes sedang berkonsultasi dengan ITAGI mengenai opsu vaksinasi bagi anak-remaja.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan sedang membahas kemungkinan pemberian vaksin Covid-19 untuk anak dan remaja di Tanah Air.
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan sedang membahas kemungkinan pemberian vaksin Covid-19 untuk anak dan remaja di Tanah Air.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra Wahyu Suryana, Adysha Citra R, Farah Noersativa, Ali Mansur, Rr Laeny Sulistyawati

Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, menyoroti tingginya jumlah penderita Covid-19 usia anak-anak hingga remaja saat ini. Pemerintah, ujarnya, masih terus memantau perkembangan yang terjadi mengenai fenomena ini.

Baca Juga

Menurut statistik yang terukur hingga saat ini, Budi melanjutkan, pasien Covid-19 di bawah 18 tahun memiliki tingkat kesembuhan 99 persen lebih tinggi ketimbang pasien berusia di atas 18 tahun.

Pemerintah juga menyiapkan langkah preventif berupa vaksinasi Covid-19 untuk mencegah lebih banyak anak-anak dan remaja yang terpapar. Namun, langkah ini masih perlu kajian mendalam.

Ada dua vaksin Covid-19 yang saat ini sudah mendapatkan izin penggunaan darurat (EUA) untuk disuntikkan kepada warga berusia muda. Pertama, vaksin Sinovac yang bisa diberikan kepada anak-anak di atas 3 tahun hingga remaja usia 17 tahun.

"Kemudian satu lagi adalah Pfizer yang bisa umur 12 sampai 17. Itu sudah keluar Emergency Use of Authorization-nya," kata Budi, Jumat (25/6).

Pemerintah mengaku telah berkoordinasi dengan ITAGI mengenai opsi vaksinasi bagi anak-anak dan remaja ini. Budi menambahkan, pihaknya terus mendengar masukan dari berbagai organisasi profesi dan para ahli untuk bisa mengambil kebijakan yang terbaik.

"Mengenai pemberian vaksin ini ke remaja. Kita juga melakukan studi dan mudah-mudahan dalam waktu dekat kita bisa melalui keputusan di negara-negara lain seperti apa, negara-negara Eropa, negara-negara Amerika, negara-negara Asia bagaimana mereka melakukan treatment pemberian vaksin untuk di bawah usia 18 tahun," kata Budi.

Epidemiolog UGM, dr Citra Indriani, mengatakan, sejak awal anak-anak berisiko terinfeksi Covid-19. Tapi, pengetahuan tentang infeksi virus menunjukkan gejala yang terjadi kepada anak sedang ke berat.

"Pengetahuan kita belum sepenuhnya lengkap untuk virus corona ini, sehingga masih berkembang. Apalagi, virus mengalami mutasi dan menyebabkan perubahan karakternya," kata Citra, Jumat (25/6).

Ia mengakui, vaksin yang ada saat ini belum direkomendasikan untuk anak karena semua vaksin ketika akan digunakan harus melalui uji klinis terlebih dulu. Efikasinya apakah memberikan manfaat atau tidak meskipun pada saat kegawatdaruratan.

"Pada saat ini memang kita masih dan harus menunggu hasil uji klinis kepada kelompok anak sebelum bisa kita berikan ke anak-anak," ujar Citra.

Meski sudah ada vaksin yang direkomendasi WHO Strategic Advisory Group of Expert (SAGE) untuk anak berusia 12 tahun seperti Pfizer. Tapi, selama ini, anak-anak memang belum menjadi prioritas secara global.

Dengan perkembangan situasi dan bukti ilmiah yang dihimpun, bisa jadi akan ada rekomendasi baru dan akan mengubah kebijakan. Karenanya, ia mengingatkan, saat ini senjata utama mencegah penyebaran covid merupakan protokol kesehatan.

"Makan bersama orang selain di luar rumah sangat berisiko karena sama-sama buka masker dan pasti ngobrol, kalau kita lihat masih banyak yang melakukan. Anak bisa dilindungi bila kita dewasa, orang tua, pengasuh jalankan prokes ketat," kata Citra.

Atas lonjakan kasus saat ini, orang-orang dewasa diharapkan bisa patuh prokes karena jadi sumber klaster. Selain itu, ia khawatir bila pembelajaran tatap muka dimulai di sekolah akan memperparah angka kejadian kasus covid kepada anak.

"Saya kira di daerah dengan transmisi tinggi sudah tepat untuk menunda kegiatan sekolah tatap muka," kata Citra.

Selain belum adanya vaksin yang efektif bagi anak untuk mencegah penularan virus covid, Citra menegaskan, penerapan prokes kepada anak-anak dan prokes ketat dari orang tua sebenarnya diharapkan sebagai senjata terakhir melindungi anak-anak.

"Proses test, tracing, treatment (3T) tidak untuk melindungi anak-anak, tapi prokes anak dan prokes orang tua yang melindungi," ujar Citra.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement