Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hilma Fuadiyah

Apakah Akad Murabahah pada LKS Sudah Sesuai dengan Syariah?

Bisnis | Wednesday, 23 Jun 2021, 22:23 WIB

Lembaga keuangan syariah menjadi lembaga yang digaung gaungkan saat ini karena muncul sebagai alternatif bagi masyarakat. Dalam pemenuhan kebutuhan, masyarakat merasa terbantu dengan adanya lembaga ini yang menerapkan sistem syariah tanpa adanya riba dengan konsep dan sistem bagi hasil, pun terkait masalah resiko. Prinsip keadilan dan kebersamaan dalam berusaha baik memperoleh keuntungan maupun menghadapi resiko sangat dikedepankan. Lantas, dengan segala keunggulannya, bagaimana penerapan yang terjadi sesungguhnya? Apakah benar-benar tanpa adanya riba dan semua sesuai dengan syariah?

Terdapat berbagai prinsip yang digunakan dalam lembaga keuangan syariah. Prinsip bagi hasil, jual beli, sewa menyewa, hingga prinsip jasa. Prinsip tersebut muncul sebagai produk dari lembaga ini. Tak dipungkiri bahwa murabahah menjadi produk yang sangat digemari. Mendominasi dibanding dengan yang lain. Bisa kita lihat dari data yang disajikan oleh OJK, bahwa pada tahun 2020 based on finacing in march terdapat 170 miliar penggunaan pembiayaan murabahah. Salah satu faktornya yaitu resiko kerugian yang sangat kecil dengan penerapan kehati hatian yang ketat dan mudah dipahami dibanding prinsip bagi hasil yang tingkat kerugian dan resikonya tinggi.

Dengan berkembangnya produk syariah, masyarakat pun mulai tertarik untuk memahaminya hingga banyak yang merasa bahwa implementasi dari prinsip murabahah mulai tidak sesuai dengan syariah. Tak sedikit yang merasa bahwa murabahah pada LKS sama dengan kredit di Lembaga Keuangan Konvensional. Jika kita ulas pengertian murabahah berdasar fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, kedudukan LKS yaitu sebagai penjual. Namun pada kenyataannya pengaplikasian murabahah di perbankan syariah menjadikan LKS sebagai penyedia dana, bukan sebagai penjual. Konsep dari murabahah yaitu bank selaku penjual menetapkan harga jual barang dimana harga pokok perolehan barang ditambah jumlah margin keuntungan bank. Jumlah keuntungan ini harus telah disepakati bersama yang tentunya bank mengungkapkan secara transparan kepada pembeli. Bank selaku penjual merupakan pihak yang memiliki objek barang yang akan diperjual belikan. Barang tersebut pun harus milik sah penjual, berwujud, barang halal, dan ada kesanggupan bagi penjual untuk mengadakannya. Namun bank tidak memiliki gudang untuk menyimpan seluruh barang yang nasabah inginkan. Maka dari itu, bank membeli barang tersebut dari pihak ketiga. Sedangkan jika bank sebagai penyedia dana, pengertian tersebut bisa disalah artikan sebab objek akad yang seharusnya barang berubah menjadi uang.

Terdapat beberapa aplikasi murabahah yang ada pada perbankan syariah. Terkadang bank telah mengikat nasabah dengan akad jual beli duluan padahal bank belum membeli bahkan memiliki barang yang diminta oleh nasabah. Hal tersebut dinamakan akad bai’ ma’dum. Akad tersebut dilarang karena mengandung gharar atau tidak jelas dan hanya berdasar spekulatif. Kemudian terdapat murabahah lil amri bi al-syira yang dianggap haram oleh sebagian ulama karena merupakan celah riba karena tujuan utama dari transaksinya adalah uang tunai dan akad murabahah bil wakalah yang hukumnya boleh menurut fatwa DSN-MUI namun adanya akad wakalah memudahkan munculnya kecurangan dari pihak nasabah yang akan membuat akad murabahahnya tidak sah. Kecurangannya bisa terjadi dengan nasabah memalsukan kwitansi pembelian sehingga hal tersebut tidak diketahui oleh pihak bank syariah.

Maka dari itu, sudah sesuaikah akad murabahah pada lembaga keuangan syariah?. Seperti yang telah dipaparkan masih terdapat hal yang tidak sesuai dengan kaidahnya. Jika kita mengulik lebih dalam pun masih terdapat beberapa isu terkait murabahah mulai dari isu syariah, isu legal seperti adanya hak tanggungan (APHT) margin keuntungan pihak bank yang bisa menjadi riba, maupun isu operasional. Semakin berkembangnya zaman, tuntutan akan sistem transaksi pun akan semakin beragam. Celah riba pun akan ikut beragam. Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk bisa memahami secara benar akad-akad syariah agar tetap terjadi kesyariahannya untuk mewujudkan perekonomian yang terus meningkat dan terdapat keberkahan dalam setiap kegiatan yang kita lakukan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image