Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Afip Miftahul Basar

PERAN GURU PAI DALAM MENANGKAL PAHAM RADIKALISME DI SEKOLAH

Eduaksi | Wednesday, 23 Jun 2021, 11:01 WIB
Sumber gambar : republika.co.id

Ditulis Oleh : Afip Miftahul Basar*

Abstrak

Tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia dengan cara yang manusiawi tentunya, sehingga terwujudnya peserta didik yang saling menghormati dan menghargai. Peran guru di sekolah sebagai ujung tombak dalam pendidikan. Guru juga memiliki tugas tidak hanya mengajarkan ilmu ke peserta didik tetapi yang lebih utama adalah mendidik akhlak, kemandirian, tanggung jawab, toleransi, termasuk moderasi dalam beragama. Tulisan ini memaparkan peran guru PAI dalam menangkal paham radikalisme di sekolah. Upaya guru PAI dalam menangkal paham radikalisme melalui proses belajar mengajar dapat dilakukan dengan menggunakan metode diskusi, kerja kelompok, dan karya wisata. Dengan ketiga metode tersebut guru dapat dengan mudah memberikan pengertian keberagaman, menghargai orang lain, menghargai pendapat orang lain, dan toleran. Guru memberikan pemahaman kepada peserta didik betapa pentingnya hidup saling mengasihi dan menghargai hak untuk hidup, hak untuk beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing.

Kata kunci: Guru, Radikalisme, Sekolah

Abstract

The purpose of education is to humanize humans in a humane way, so that the realization of students who respect and appreciate each other. And teachers in schools as the spearhead in education. Teachers also have the task of not only teaching knowledge to students but more importantly educating morals, independence, responsibility, tolerance, including moderation in religion. This paper describes the role of PAI teachers in countering radicalism in schools. PAI teachers' efforts in countering radicalism through the teaching and learning process can be carried out using discussion methods, group work, and field trips. With these three methods, teachers can easily provide an understanding of diversity, respect others, respect other people's opinions, and be tolerant. The teacher gives an understanding to students how important it is to live to love and respect the right to life, the right to worship according to their respective beliefs.

Keywords: Teacher, Radicalism, School

Pendahuluan

Agama menjadi pedoman dalam berbagai ranah kehidupan manusia di segala arah baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Ini merupakan nurani manusia sebagai bentuk kesadaran dalam beragama. Semakin berkembangnya teknologi saat ini semakin individu membutuhkan ketenangan jiwa yang bisa kita dapatkan dari beragama. Dengam demikian, agama tidak akan pernah mati, bahkan sebaliknya ia menjadi peran utama dalam kehidupan. Namun, dalam mengimplementasikan ajaran agama terdapat beberapa hal yang berlebihan. Salah satunya yang sangat kaku dalam beragama. Memahami ajaran agama dengan membuang jauh-jauh penggunaan akal. Sehingga bukan ketenangan yang didapatkan tetapi terlalu mendasarnya ajaran yang diterapkan yang memungkinkan munculnya sikap dan perilaku yang radikal, intoleran dan diskriminatif. Sikap dan perilaku inilah yang akan memunculkan potensi Individu menjadi fanatik atau radikal.

Kehadiran berbagai ragam fenomena dan dinamika Islam kekinian telah banyak menghabiskan analisa dari para pemerhati terutama kaum intelektual dalam menguak misteri tentang terorisme, fundamentalisme, dan radikalisme dalam Islam. Fenomena-fenomena ini selalu menjadi diskursus aktual yang tidak pernah membosankan untuk dibicarakan baik dalam exposing media maupun dalam ruang-ruang diskusi akademis yang digelar. Hal ini membuktikan adanya identifikasi yang khas terkait dengan fenomena-fenomena tersebut, bahkan tidak jarang kekhasan itu melahirkan teoretisasi dari berbagai pihak (Maftuh, 2004: 4).

Kehidupan beragama di Indonesia akhir-akhir ini mendapatkan sorotan dari berbagai pihak, baik dari dalam negeri sendiri, maupun dari luar. Hal ini tak lepas dari terus bermunculannya konflik sosial berlatar belakang agama di tengah masyarakat. Mulai dari kasus penistaan agama, perusakan rumah ibadah, ujaran kebencian di media sosial dan saling mendiskreditkan antara satu umat dengan umat yang lain. Menjamurnya fenomena-fenomena ini mau tidak mau semakin mempertajam sentimen kekeluargaan sebagai satu bangsa menjadi renggang dan terkotak-kotak berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing.

Ironisnya, sebagian besar aktor-aktor konflik tersebut adalah umat Islam. Kenyataan ini tak bisa diabaikan begitu saja, karena menyangkut masa depan nasionalisme dan keutuhan bangsa. Sebuah ironi, di tengah semakin ketatnya persaingan global, Indonesia justru malah disibukkan dengan urusan “rumah tangga”. Persoalan yang sebenarnya tak perlu diberdebatkan justru menjadi penyita perhatian dan penutup mata terhadap persoalan-persoalan besar yang dihadapi Indonesia ke depan. Konflik-konflik sosial berlatar belakang agama sebagaimana disinggung di atas, jika ditelisik sebenarnya berakar dari kegagalan dalam mendialogkan pemahaman agama dengan realitas sosial di Indonesia yang beragam, plural dan multikultural. Hal ini terutama dialami oleh kelompok-kelompok garis keras yang tidak mau mentolelir dan sulit berkompromi dengan pemahaman agama lain yang berbeda.

Anggapan mereka, beragama yang benar adalah beragama yang seperti mereka lakukan. Sikap dan pemahaman ini didukung dengan realita bahwa Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia. Insiden kekerasan mengatasnamakan agama telah bertentangan dengan prinsip kehidupan umat manusia. Insiden-insiden kekerasan tersebut terjadi disebabkan karena pemahaman agama yang persial, konflik pendirian tempat ibadah, dan ketidaksiapan hidup berdampingan merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya intoleran (Biyanto, 2015: 12). Pemahaman yang persial itu akan membuat pengikutnya bertindak tidak sesuai dengan ajaran agama.

Maka dibutuhkan pemahaman yang komprehensif yang dapat mengakomodir dan meluruskan paham-paham yang bertentangan dengan kemaslahatan bersama terlebih untuk keberlangsungan kehidupan umat beragama. Penanganan secara khusus dan terencana harus dilakukan oleh berbagai pihak agar dapat menyelesaikan konflik kekerasan atas nama agama. Karena apabila tidak ditangani secara serius, kerugian ekonomi, sosial, politik dan materi yang luar biasa (Akhmadi, 2019) akan dialami oleh bangsa Indonesia.

Lembaga pendidikan seperti sekolah memiliki peran strategis untuk memutus mata rantai kekerasan atas nama agama. Pendekatan edukatif bagi seluruh peserta didik yang dapat diimplementasikan dalam pendidikan damai yang diintegrasikan dengan kurikulum sekolah, latihan penyelesaikan konflik secara konstruktif, mediasi dan negosiasi oleh teman sebaya (Akhmadi, 2019: 46) merupakam usaha bersama agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang mendamaikan. Pengetahuan keagamaan yang luas dan tidak parsial harus diajarkan dilembaga pendidikan agar peserta didik memiliki pondasi paham keagamaan yang tidak sempit. Oleh sebab itu, diperlukan peran guru dalam menanamkan moderasi beragama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang multikultural ini. Moderasi beragama sebagaimana digambarkan oleh Fahruddin dalam Akhmadi, memiliki makna seimbang, di tengah-tengah, tidak berlebihan, tidak truth clime, tidak menggunakan legitimasi teologi yang ekstrim, mengaku kelompok dirinya paling benar, netral, dan tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu (Akhmadi, 2019: 51).

Dengan demikian, moderasi beragama sangat perlu untuk ditanamkan kepada siswa agar tercipta hubungan harmonis antara guru, peserta didik, masyarakat dan lingkungan sekitar sehingga tercipta lingkangan yang damai dan aman dari berbagai ancaman menuju Indonesia damai. Bagaimana peran guru dalam menangkal paham radikalisme di sekolah? Bagaimana upaya guru menangkal paham radikalisme melalui proses belajar mengajar? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai pemantik sekaligus untuk mencari jawaban dalam tulisan ini. Jenis dari penelitian ini ialah penelitian pustaka (library research) yang dilakukan dengan jalan membaca literatur, berupa buku-buku/majalah, jurnal dan sumber data lainnya. Pengumpulan data dilakukan di perpustakaan atau di tempat lainnya yang tersimpan buku-buku serta sumber-sumber data lainnya yang relevan dengan kajian (J. Supranto, 2003: 28).

Mengenal Paham Radikalisme

Dari persepktif bahasa, sebenarnya radikal lebih jauh berbeda dengan teroris. Sebab, radikal adalah proses secara sungguh-sungguh untuk melatih keberhasilan atau cita-cita yang dilakukan dengan cara-cara yang posotif. Sementara itu, terorisme berasal dari kata teror yang bermakna menakut-nakuti pihak lain. Oleh karena itu, teror selalu dilakukan dengan cara-cara negatif dan menakutkan pihak lain.

Radikalisme secara umum dipahami sebagai suatu gerakan sosial yang mengarah pada hal-hal yang negatif. Setidaknya persepsi itu yang dikonsepkan oleh Lukman Hakim, Wakil Kepala LIPI, dalam pengantar buku Islam dan Radikalisme di Indonesia. Dari persepsi seperti itu, maka muncul istilah ekstrem, anti Barat, anti Amerika, dan teroris (Turmudzi dan Sihbudi, 2005: 24).

Seiring dengan dinamika dan pola gerakan kelompok-kelompok di masyarakat, akhirnya antara radikal dan teror menjadi satu makna, yaitu radikal merupakan embrio dari gerakan teror. Jika memiliki pola pikir radikal, maka berpeluang besar untuk melahirkan aksi teror. Banyak peristiwa di Indonesia dimana terorisme dan radikal menjadi satu sehingga masyarakat umum tidak usah repot-repot membedakan antara radikalisme dan terorisme. Sumber radikalisme yang berujung dengan terorisme lebih didominasi dari dogma agama yang dipahami secara sempit oleh pemeluknya. Karena dalam dokrin agama, khususnya agama Islam, secara tekstualis dijelaskan tentang teks yang mudah dipahami untuk melahirkan gerakan radikal yang berujung terorisme (Muchith, 2016: 171)

Berdasarkan laporan harian Bali Post, selama tahun 2010-2014 tercatat gerakan kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan sebanyak 21.689.797 (Bali Post, 14 Mei 2015). Bentuk-bentuk kekerasan tersebut dialami oleh siswa maupun guru. Etika dan sopan santun yang seharusnya dijunjung tinggi semua pihak, tetapi di lembaga pendidikan seperti sekolah seakan-akan tidak ada lagi saling hormat antar guru, antara siswa kepada guru dan antara guru dengan pimpinan. Berbagai fenomena budaya yang cenderung negatif tersebut, secara pelan-pelan melahirkan kebiasaan yang berakibat tidak atau kurang menghargai profesi dalam pendidikan.

Radikalisme memang bisa menimpa siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. tidak peduli anak-anak, remaja, orang dewasa, dan tidak memandang status apakah ia kaya atau miskin. Radikalisme lebih banyak disebabkan oleh adanya paham atau pemikiran yang sempit terhadap suatu fenomena. Oleh sebab itu radikalisme bisa dieliminir dan bahkan dihilangkan harus diawali dengan pembinaan atau bimbingan cara pandang atau cara berpikir terhadap suatu fenomena.

Mengenal Moderasi dalam beragama

Moderasi dalam Bahasa Arab dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah, sepadan dengan kata tawassuth yang memiliki makna ditengah-tengah, I‟tidal (adil), tawazun (berimbang). Dalam Bahasa Latin Moderasi adalah moderâtio yang bermakna ke-sedangan yaitu tidak berlebihan tidak kekurangan, atau juga bermakna penguasaan diri (Kementerian Agama, 2019: 15-17) Moderasi beragama sebagaimana dirumuskan oleh TIM Kementrian Agama RI memiliki makna kemajemukan dan mutlak diperlukan dalam diberbagai kondisi bangsa Indonesia yang majemuk dengan cara pemberian pengajaran agama yang komprehensif yang dapat mewakili setiap orang yang ada melalui ajaran yang luwes dengan tidak meninggalkan teks (Al-Qur’an dan Hadist), serta pentingnya penggunaan akal adalah sebagai solusi dari setiap masalah yang ada (Fauzi, 2018: 233)

Lebih lanjut, Tarmizi Tohor mengungkapkan dengan mengutip pendapatnya Lukman Hakim Syaifuddin bahwa seorang menjadi moderat bukan berarti meninggalkan agama sendiri, menjadi moderat bukan berarti menjadi lemah dalam beragama,menjadi moderat bukan berarti cenderung terbuka dan mengarah kepada kebebasan, tetapi menjadi moderat berarti sebuah jalan tengah dalam keberagaman agama di Indonesia. Ia adalah warisan budaya Nusantara yang berjalan seiring, dan tidak saling menegasikan antara agama dan kearifan lokal (local wisdom) (Tarmidzi: 2020).

Moderasi beragama bagi bangsa Indonesia mutlak diperlukan karena disadari atau tidak bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beragam. Keberagaman bangsa Indonesia bukan hasil karya manusia tetapi merupakan takdir yang diwariskan oleh Tuhan terhadap bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari jumlah suku besar sebanyak 633 dan jumlah bahasa daerah sebanyak 652 dan dan sekitar 18.306 ribu pulau. Keragaman bangsa Indonesia bukan untuk ditawar tetapi untuk diterima dan dijaga agar tercipta persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang damai (Kementerian Agama, 2019: 2-3).

Peran guru PAI dalam menangkal paham radikalisme

Pedoman pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar menjelaskan bahwa mata pelajaran PAI di sekolah memuat materi Al-Qur’an dan Hadis, Akidah, Akhlak, Fikih, dan Tarikh. Ruang lingkup tersebut menggambarkan materi PAI yang mencakup perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah Swt, diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya, maupun lingkungannya. Pendidikan agama di sekolah bertujuan meningkatkan dan menumbuhkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengalaman, serta pengalam peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketaqwaannya terhadap Allah Swt., serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan dapat melanjutkan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

Pendidikan agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Peningkatan potensi spiritual mencakup pengamalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan.

Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan. Oleh karena itu, pendidik diharapkan dapat mengembangkan metode pembelajaran sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Pencapaian seluruh kompetensi dasar perilaku terpuji dapat dilakukan melalui penanaman nilai, nilai agama. Peran semua unsur sekolah, orang tua peserta didik dan masyarakat sangat penting dalam mendukung keberhasilan pencapaian tujuan PAI.

Adapun tujuan PAI di sekolah sebagai berikut:

1. Menumbuh kembangkan Akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang Agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah.

2. Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengatahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, disiplin, toleransi, menjaga keharmonisan secara personal, dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.

Abdul Majid dan Dian Andayani, menjelaskan bahwa materi Pendidikan Agama Islam berdasarkan rumusan dari pokok ajaran Islam meliputi Akidah (keimanan), syariah (keIslaman) dan akhlak (budi pekerti). Ketiga kelompok ilmu agama itu kemudian dilengkapi dengan pembahasan dasar hukum Islam yaitu Alquran dan Hadis serta ditambah lagi dengan sejarah Islam (tarikh) (Majid, 2004: 114).

Adapun ruang lingkup pelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas berfokus pada aspek: Al-qur’an/Hadis, Keimanan, Syariah, Akhlak, dan Tarikh. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi seluruh warga Indonesia. Setiap warga negara Indonesia memiliki hak untuk mengenyam pendidikan sembilan tahun. Sebagaimana diatur dalam undang-undang nomer 2 tahun 1989 yang menyebutkan bahwa pemerintah berupaya meningkatkan taraf kehidupan rakyat dengan mewajibkan semua warga negara Indonesia yang berusia 7- 12 tahun dan 12-15 tahun untuk menamatkan pendidikan dasar dengan program 6 tahun di SD dan 3 tahun di SLTP secara merata.(UU Nomor 2 tahun 1989).

Begitu juga dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan secara jelas juga telah diuraikan dalam Undang-Undang Sisdiknas 20 tahun 2003, yaitu tercantum pada pasal 4, bahwa: 1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, 2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan system terbuka dan multimakna, 3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, 4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran, 5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat, 6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.(UU Nomor 20 Tahun 2003).

Tujuan Pendidikan Nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan berarti membuat peserta didik mengenali diri sendiri, mengenali potensi diri, lingkungan, dan masyarakat sekitar. Guru harus mampu memberikan pencerahan tentang moderasi beragama agar peserta didik menjadi manusia yang mendamaikan baik di lingkungan maupun alam sekitar.

Dengan pengetahuan tersebut diharapkan tercipta kerukunan hidup antar sesama (live together) dan bisa hidup berdampingan (live with other ) dengan orang lain yang berbeda agama, keyakinan, ras etnis, dan lain sebagainya (Baidhawy, 2005: 79). Tentunya peran guru mutlak diperlukan. Dalam hal ini guru harus memiliki prinsip keguruan yang dapat memperlakukan peserta didik dengan baik sehingga tercapai tujuan pendidikan.

Adapun prinsip-prinsip keguruan dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Seorang guru harus dapat membangkitkan peserta didik pada materi pelajaran yang diberikan serta dapat menggunakan media dan sumber belajar yang berveriasi.

2. Guru harus memampu membangkitkan minat peserta didik untuk aktif dalam berpikir serta mencari dan menemukan sendiri pengetahuannya.

3. Guru mampu membuat urutan (sequence) dalam pemberian mata pelajaran dan penyesuaian dengan usia dan tahapan perkembangan peserta didik.

4. Guru mampu mengembangkan pelajaran yang akan diberikan dengan pengetahuan yang dimiliki peserta didik agar peserta didik menjadi mudah dalam memahami pelajaran yang diberikan

5. Guru mampu menjelaskan materi secara berulang-ulang dengan harapan peserta didik lembih memahami materi yang telah diberikan

6. Guru wajib memperhatikan dan memikirkan korelasi atau hubungan antar mata pelajaran atau praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari.

7. Guru harus tetap menjaga konsentrasi peserta didik dengan cara memberikan kesempatan berupa pengalaman secara langsung, mengamati, meneliti, dan menyimpulkan pengetahuan yang didapatnya.

8. Guru harus mengembangkan peserta didik dalam membina hubungan sosial, baik dalam kelas maupun luar kelas.

9. Guru harus menyelidiki dan mendalami perbedaan peserta didik secara individu agar dapat melayani peserta didik sesuai perbedaan (Uno, 2007: 16).

Sebagai seorang guru tidak hanya bertugas memberikan pengetahuan kepada peserta didik tetapi juga dapat membentuk karakter menjadi pribadi yang unggul mandiri dan dapat mengamalkan ilmu pengetahuannya. Jika flash back pada sejarah peradaban islam, sebagaimana digambarkan oleh Mujamil Qomar (2012) bahwa islam tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan untuk mewujudkan prestasi akademik yang gemilang (science for science), tetapi untuk mewujudkan kedamaian dan perdamaian umat manusia (science for peace of society). Dengan katalain bahwa adanya ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan umat manusia (science for human welfare) sehingga arah kemajuan sains maupun teknologi (peradaban) bisa dikendalikan dengan tetap berada dalam jalan yang lurus al-sirath al-mustaqim (Fauzi, 2018: 235). Sebuah peradaban umat manusia yang sejahtera, hidup damai dalam perbedaan dengan konsep pembelajaran sepenjang hayat yaitu learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar untuk mengerjakan atau implementasikan dalam kehidupan), learning to live together (belajar hidup berdampingan dengan orang lain segaama, sebangsa, dan setanah air), dan unity in diversity (bersatu dalam perbedaan budaya, keyanikanan, dan agama) atau dengan meminjam bahasa Mukti Ali (agree in disagreement) setuju dalam ketidaksetujuan karena sesungguhnya bangsa Indonesia merupakan bangsa yang bersatu.

Guru sebagai manusia paripurna dimana segala tindakan, perbuatan, sikap, dan perkataan terakam dalam kehidupan peserta didik harus mampu menjadi suri tauladan yang baik bagi peserta didik terlebih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Guru memiliki peran sentral dalam mengolah perbadaan dalam beragama karena guru merupakan role model bagi peserta didik. Hal ini sebagaimana pendapatnya Luc Reychler (2006) dalam teorinya Arsitektur perdamaian menyebutkan, dalam pengelolaan perbedaan agama dibutuhkan sejumlah syarat Pertama, adanya saluran komunikasi yang efektif dan harmoni sehingga memungkinkan terjadi proses diskusi, klarifikasi, dan koreksi terhadap penyebaran informasi atau rumor yang berpotensi menimbulkan ketegangan antar kelompok sosial; Kedua, bekerjanya lembaga penyelesaian masalah, baik yang bersifat formal seperti pengadilan atau informal seperti lembaga adat dan agama; Ketiga, adanya tokoh-tokoh properdamaian yang memiliki pengaruh, sumberdaya dan strategi efektif dalam mencegah mobilisasi masa oleh tokoh pro-konflik; Keempat, struktur sosial- politik yang mendukung terwujudnya keadilan dalam masyarakat; dan Kelima, struktur sosial-politik yang adil bagi bertahannya integrasi sosial (Kementerian Agama, 2019: 58).

Oleh karena itu, sebagai seorang pendidik, guru harus mampu mengurai perbedaan ras, bahasa, warna kulit dalam mengimplentasikan moderasi beragama di sekolah. Sehingga peserta didik dapat mengambil contoh atas tindakan yang dilakukan oleh guru itu sediri dalam implementasi nya dalam kehidupan nyata.

Upaya menangkal paham radikalisme melalui proses belajar mengajar

Belajar mengajar tidak bisa dilepaskan dalam dunia pendidikan karena belajar mengajar merupakan dua intraksi yang saling ketergantungan, dimana ada proses belajar tuntu pula ada proses mengajar atau pengajaran. Menurut Habernas, belajar baru akan terjadi jika ada interaksi antara individu dengan lingkungannya. Ia membagi tipe belajar menjadi tiga, yaitu: (a) belajar teknis (technical learning) yaitu belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan alamnya secara benar; (b) belajar praktis (practical learning) yaitu belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yaitu dengan orang-orang di sekelilingnya dengan baik; (c) belajar emansipatoris (emancipatory learning) Yaitu belajar yang menekankan upaya agar seseorang mencapai suatu pemahaman dan kesadaran tinggi akan terjadinya perubahan atau transformasi budaya dengan lingkungan sosialnya (Teori-belajar-humanistik. diakses juni 2021) Guru, sebagai seorang pendidik bertugas menyalurkan, mengarahkan dan memotivasi peserta didik agar dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya, bukan mendikte, memaksa kehendak, apalagi mengekang kebebasan peserta didik untuk berkreasi. Setiap peserta didik memiliki potensi yang berbeda-beda. Keunikan itu harus dimanfaatkan oleh guru untuk menjadikan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik dapat mengembangkan peserta didik dalam menghargai dan menghormati orang lain.

Dalam proses pengajaran dan pembelajaran, peserta didik akan berpikir terbuka, yaitu berpikir bagaimana dapat menghargai hak hidup, hak berpendidikan, hal untuk berekpresi, hak untuk memeluk agama dan tidak mudah menyalahkan orang lain. Sebagai akibat dari perjumpaan dengan dunia lain, agama, dan kebudayaan-kebudayaan yang beragam akan mengarahkan peserta didik untuk berpikir lebih dewasa dan memiliki sudut pandang dan cara memahami realitas dengan berbagai macam cara (Baidhawy, 2005: 83)

Sebagai generasi penerus bangsa, tentunya harus diberikan pemahaman yang luas tentang bagaimana menerapkan Islam yang rohmatan lil-alamin dan menjadikan Islam sebagai landasan bergaul dengan orang lain dengan menghargai perbedaan. Hal ini membutuhkan ketelatenan guru dalam menanamkan moderasi beragama agar pemahaman mereka tidak menjadi radikal. Implementasi moderasi beragama sebagai upaya menangkal paham radikalisme dalam proses belajar mengajar dapat diterapkan dalam metode pembelajaran sebagai berikut:

1) Kerja kelompok

Islam mengajarkan pengikutnya untuk saling tolong menolong dalam kebaikan sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 2.

“..dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (Al-Maidah ayat 2)”

Kata al-birru memiliki arti kebaikan. Mengerjakan kebaikan tanpa melihat status sosial, agama, dan kepercayaan seseorang. Karena kebaikan merupakan kebutuhan seluruh umat manusia. Kerja kelompok merupakan kegiatan saling tolong menolong dalam pembelajaran. Peserta didik diharuskan untuk saling kerja sama dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan kepada peserta didik. Saling membantu dalam menyelesaikan soal-soal yang diberikan guru.

Kerja kelompak dalam pengertiannya adalah penyajian materi dengan cara pemberian tugas-tugas kepada peserta didik yang sudah dikelompokkan untuk mencapai tujuan. Esensi dari kerja kelompok adalah untuk gotong royong, saling membantu dalam menyelesaikan sebuah permasalah dalam pembelajaran (Ramayulis, 1994: 179). Bagi seorang pendidik, metode kerja kelompok penting untuk diterapkan karena melatih peserta didik untuk saling memahami arti kebersamaan. Selain itu kerja kelompok memiliki banyak manfaat sebagaimana digambarkan oleh Zakiah Darajdat yaitu membina kerja sama antar peserta didik yang satu dengan peserta didik lainnya, memperoleh penguasaan atas bahan pengajaran, memupuk dan memelihara rasa persatuan dan kesatuan dalam suatu kelompok, melatih kepemimpinan peserta didik, mengembangkan rasa setia kawan dan sikap tolong menolong, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengaktualisasi diri dalam merencanakan sesuatu demi kepentingan bersama, mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan pribadi peserta didik dalam kehidupan bermasyarakat (Darajat, 2008: 159-160).

Oleh sebab itu, metode kerja kelompok ini bagian dari strategi guru dalam menanamkan moderasi beragama bagi peserta didik sehingga peserta didik bersifat lowes dan tidak esklusif dalam beragama.

2) Metode Diskusi

Diskusi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pertemuan ilmiah untuk bertukar pikiran mengenai suatu masalah (Kamus besar bahasa Indonesia online. Diakses juni 2021). Diskusi merupakan sebuah interaksi komunikasi antara dua orang atau lebih/kelompok. Biasanya komunikasi antara mereka atau kelompok tersebut berupa salah satu ilmu atau pengetahuan dasar yang akhirnya akan memberikan rasa pemahaman yang baik dan benar (https://id.wikipedia.org/wiki/Diskusi, diakses juni 2021). Dengan demikian, dapat simpulkan bahwa diskusi merupakan interasi antara dua orang atau lebih untuk membicarakan problem atau masalah tertentu dengan tujuan tertentu yang diingikan.

Metode diskusi memberikan banyak manfaat bagi peserta didik dalam proses belajar mengajar yaitu melatih peseta didik berpikir kritis dan terbuka sehingga setiap peserta didik memiliki wawasan yang luas yang bersumber dari peserta didik lainnya. Kemudian dengan berdiskusi peserta didik memiliki sifat demokratis karena dapat mengutarakan pendapat masih di forum diskusi. Kemudian dengan berdiskusi, peserta didik memiliki sikap saling menghargai pendapat orang lain yang berbeda-beda.

Kemudian, dengan berdiskusi, peserta didik dapat menambah pengetahuan dan pengalaman yang bersumber dari hasil diskusi. Dengan berdiskusi, kemanpuan berpikir peserta didik dapat terasah, berpikir kritis, kreatif dan argumentative, dan melatih mental peserta didik dalam mengemukakan pendapat di depan umum (https://jagad.id/pengertian-diskusi-macam-jenis-fungsimanfaat-dan-tujuan/diakses juni 2021).

Proses belajar mengajar dengan menerapakan metode diskusi memberikan keleluasaan bagi peserta didik untuk mengekpresikan pengetahuan dari masing-masing peserta didik. Dengan berdiskusi, peserta didik dapat mengenal karakter masingmasing bagaimana menyikapi dan mengekpresikan sebuah problem dengan tema yang telah ditentukan.

3) Metode Study Tour (Karya Wisata)

Memberikan pengalaman langsung kepada peserta didik tentang moderasi beragama merupakan bagian dari salah satu cara agar peserta didik dapat mengamalkan pengetahuan yang didapat di dalam kelas kemudian di implementasikan dalam kehidupan nyata. Salah satu metode yang digunakan adalah karya wisata (Study Tour). Metode karya wisata ini didefinisikan sebagai metode pembelajaran yang berada diluar kelas, mengunjungi tempat-tempat yang dituju di luar kelas agar dapat pembelajaran langsung dari objek yang dituju. Ariyanto mendefinisikan metode karya wisata sebagai metode pengajaran yang dilaksanakan diluar kelas dengan cara mengajak peserta didik memperhatikan keadaan lingkungan atau peristiwa yang ada hubungannya dengan bahan pembelajaran yang sedang dibahas atau menunjukkan langsung kepada objek tertentu (Ariyanto, 2014: 230) Keterlibatan peserta didik secara langsung dapat membantu peserta didik mengembangkan diri, merespon, mengapresiasi, dan mengaktualisasi pengetahuan peserta didik yang didapat didalam kelas, kemudian diasosiasikan dalam lingkungan sekitar (Claudia Eliason, dkk.,2008: 287).

Metode karya wisata ini memiliki beberapa manfaat antara lain: Peserta didik dapat belajar secara langsung terhadap objek yang dikunjungi, peserta didik dapat memperoleh pemantapan teori-teori di pelajari di sekolah dengan kenyataan aplikasi yang diterapkan pada objek yang dikunjungi,peserta didik dapat menghayati pengalaman praktek suatu ilmu yang telah diperolehnya, peserta didik dapat memperoleh informasi yang lebih akurat dengan jalan melakukan wawancara atau dengan mendengarkan ceramah yang diberikan oleh petugas setempat, dapat mempelajari beberapa materi pelajaran sekaligus dan integral (Bambang 2014: 231).

Penggunaan metode karya wisata dalam pembelajaran moderasi beragama merupakan bagian dari usaha pendidik agar dapat memberikan pengalaman hidup dengan orang yang lain yang berbeda-beda baik dari kultur, budaya, kepercayaan, dan status sosial. Karena moderasi beragama perlu dipraktikan dalam kehidupan peserta didik. Tentunya, guru harus mengarahkan, membimbing, dan menunjukkan kepada peserta didik tentang pentingnya moderasi beragama saat mengadakan kunjungan ke tempat-tempat yang telah ditentukan sesuai dengan materi pembelajaran yang dijelaskan di dalam kelas. Oleh karena itu, guru harus dapat memilah dan memilih metode yang tepat bagi peserta didik agar pemahaman konsep moderasi beragama dapat melekat dalam diri peserta didik kemudian dapat diimplentasikan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kesimpulan

Dari beberapa pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa peran Guru PAI dalam menanamkan Moderasi beragama di lembaga pendidikan sangat penting karena guru memiliki peran penting untuk memberikan pemahaman dan pengertian yang luas tentang Islam yang rahmatan lil a’lamin yang dapat menghargai perbedaan. Moderasi beragama bagian dari usaha bersama agar bangsa Indonesia terhindar dari perpecahan karena perpecahan merupakan awal dari kehancuran sebuah bangsa. Selanjutnya, implementasi moderasi beragama dalam upaya menangkal paham radikalisme melalui proses belajar mengajar dapat dilakukan dengan menggunakan metode diskusi, kerja kelompok, dan karya wisata. Dengan ketiga metode tersebut guru dapat dengan mudah memberikan pengertian keberagaman, menghargai orang lain, menghargai pendapat orang lain, dan toleran. Selain mendidik dan memberikan pemahaman kepada peserta didik betapa pentingnya hidup saling mengasihi dan menghargai hak untuk hidup, hak untuk beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing.

Referensi:

Akhmadi, Agus. 2019. Moderasi Beragama Dalam Keragaman Indonesia. Inovasi 13.2. 2019

Al Arifin, Akhmad Hidayatullah. 2012. Implementasi Pendidikan Multikultural Dalam Praksis Pendidikan di Indonesia, Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, UNY, Volume.1 Nomor 1 juni tahun 2012.

Alpandie, Imansjah. 1984. Didaktik Metodik, Surabaya: Usaha Nasional.

Ariyanto, Bambang. 2014. Peningkatan Perilaku Islami Anak Usia Dini Melalui Metode karyawisata. Jurnal Pendidikan Usia Dini No. 8.2. 2014.

Baidhawy, Zakiyuddin. 2005. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Jakarta: Earlangga.

behavioristik/teori-belajar-kognitif/teori-belajarkonstruktivistik/teori-belajar-humanistik. .https://id.wikipedia.org/wiki/Diskusi, https://jagad.id/pengertian-diskusi-macam-jenis-fungsi-manfaatdan-tujuan/

Biyanto. 2015. Urgensi Plurarisme, Kedaulatan Rakyat, 13 November 2015.

Darajat, Zakiah. 2008. Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara.

Eliason, Claudia, dkk.. 2008. A Pratical Guide To Early Childhood Curriculum, Eight Edition” Columbus, Ohio: Pearson Merrill Prentice Hall.

Fatoni, Muhammad Sulton. 2017. Buku Pintar Islam Nusantra, Tanggeran Selatan: IIMaN, 2017.

Fauzi, Ahmad. 2018. Moderasi Islam, Untuk Peradaban Dan Kemanusiaan. Jurnal Islam Nusantara No. 2.2 (2018).

H.A.R. Tilaar. 2003. Multikulturalisme Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, Jakarta: Grasindo.

https://tafsirweb.com/598-surat-al-baqarah-ayat-143.html

Iyubenu, Edi Ah. 2015. Hate Speech‟ dalam Kecamata Islam, Kedaulatan Rakyat, 13 November 2015.

J. Supranto. 2003. Metode Riset Aplikasinya Dalam Pemasaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Kementerian Agama R.I.. 2019. Moderasi Beragama.. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI.

Maftuh, Agus. 2004. Negara Tuhan: The Thematic Encyclopedia. Yogyakarta: Multi Karya Grafika.

Majid, A. 2004. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi: Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Majid, Nurkholis. 2001. Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Kergaman, Jakarta: Kompas Nusantra.

Muchith, M. Saekan. 2016. Radikalisme dalam Dunia Pendidikan. Jurnal ADDIN: STAIN Kudus, Volume 10 No. 1, Februari 2019.

Ramayulis. 1994. Metodologi Pengajaran Islam, Jakarta: Kalam Mulia.

Tarmidzi Tohor, https://bimasislam.kemenag.go.id/post/opini/pentingnyamoderasi-beragama

Tribunjogja, Senin, 16 November 2015. https://sites.google.com/site/mulyanabanten/home/teori-belajar

Uno, Hamzah B. 2007. Profesi Kependidikan, Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

UU Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Lembaran Negara.

Yakin, Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural; Cross-Culture Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media.

Zamroni. 2011. Pendidikan Demokrasi pada Masyarakat Multikultural. Yogyakarta: Gavin Kalam Utama.

*Guru PAI SMPIT Nurul Fajri

Cikarang Barat - Bekasi - Jawa Barat

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image