Kamis 24 Jun 2021 15:35 WIB

ICJR: Masih Ada Celah Kriminalisasi dalam SKB UU ITE

Celah kriminalisasi menjadi dasar kuat revisi UU ITE harus disegerakan.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai beberapa ketentuan di dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Pedoman Implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dapat membantu perbaikan pengimplementasian UU ITE di lapangan. Namun, masih adanya celah untuk terjadinya kriminalisasi menjadi dasar kuat revisi UU ITE harus lekas dilaksanakan. (Karikatur UU ITE)
Foto: republika
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai beberapa ketentuan di dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Pedoman Implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dapat membantu perbaikan pengimplementasian UU ITE di lapangan. Namun, masih adanya celah untuk terjadinya kriminalisasi menjadi dasar kuat revisi UU ITE harus lekas dilaksanakan. (Karikatur UU ITE)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai beberapa ketentuan di dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Pedoman Implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dapat membantu perbaikan pengimplementasian UU ITE di lapangan. Namun, masih adanya celah untuk terjadinya kriminalisasi menjadi dasar kuat revisi UU ITE harus lekas dilaksanakan.

"Masih terdapat catatan yang menjadi dasar kuat revisi UU ITE harus disegerakan," ujar peneliti ICJR, Sustira Dirga, saat dikonfirmasi, Kamis (24/6).

Baca Juga

Dia menjelaskan satu per satu catatan-catatan tersebut. Pertama, terkait pasal 27 ayat (1) tentang Kesusilaan UU ITE. Pedoman telah merujuk pasal 281-282 KUHP dan UU Pornografi. Namun, kata dia, apa yang ada di pedoman itu berbeda dengan KUHP dan UU Pornografi yang menyatakan, melanggar kesusilaan haruslah di muka umum atau untuk keperluan komersial.

Menurut Dirga, pedoman masih mengatur korespondensi orang ke orang dapat dijerat. SKB tidak secara tegas memastikan perbuatan yang dipidana adalah perbuatan transmisi, distribusi, maupun membuat dapat diakses harus ditujukan untuk diketahui umum. 

"Hal ini tetap membuka ruang kriminalisasi bagi korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) atau korespondensi privat atau pribadi yang tidak ditujukan untuk umum atau tidak untuk kebutuhan komersil," jelas dia.

Kemudian terkait pasal 27 ayat (3) tentang Pencemaran Nama Baik. Menurut dia, pedoman pasal ini merupakan yang paling baik dalam upaya meluruskan masalah implementasi UU ITE. SKB memberikan penegasan pasal itu merujuk ke pasal 310 dan 311 KUHP sebagai delik pokoknya.

"Sehingga hanya bisa digunakan lewat aduan korban atau seseorang yang diserang kehormatan, dan korban di sini hanya dimengerti sebagai orang perseorangan dan bukan badan hukum," kata dia.

Pedoman juga ia sebut berhasil memberikan gradasi dari apa perbuatan “menyerang kehormatan”, dan memberikan pengecualian bagi delik penghinaan ringan untuk tidak bisa digunakan dengan pasal 27 ayat (3) UU ITE. Menurut dia, pasal tersebut juga bermasalah ditandai dengan tingginya kriminalisasi pendapat dan opini masyarakat yang berisi kritik, penilaian, maupun hasil evaluasi.

"Yang di dalam SKB Pedoman sudah memberikan pengecualian bagi perbuatan-perbuatan tersebut, untuk tidak diartikan sebagai perbuatan 'menyerang kehormatan' atau 'penghinaan' atau 'mencemarkan nama' seseorang," terang dia.  

Kemudian yang berikutnya terkait pasal 27 ayat (4) tentang Pemerasan/Pengancaman. Dia menilai, pasal itu bisa memberikan perlindungan bagi korban KBGO, meski pasal tersebut sebenarnya sudah ada dan merupakan duplikasi dari KUHP. Dalam substansinya, korban-korban KBGO dapat melaporkan tindakan pengancaman dan pemerasan kepada mereka.

"Aparat penegak hukum tidak lagi dapat berkelit tidak ada pasal pidana untuk menjerat pengancam atau pemeras korban KBGO," kata Dirga.

Lalu, terkait dengan pedoman pasal 28 ayat (2) tentang Ujaran Kebencian. Dirga mengatakan, SKB berusaha untuk memberikan batasan terkait ujaran kebencian. Hal itu ia nilai bisa menjadi langkah awal untuk melakukan revisi UU ITE, namun permasalahan sesungguhnya terletak pada pengertian “antargolongan”.

"Unsur 'antargolongan' masih menjadi masalah serius pasca putusan MK, sehingga ini memang harus direvisi nantinya," terang dia.

Sejalan dengan putusan MK yang meminta pembentuk UU untuk melihat adanya kelompok lain di luar SARA yang menjadi bagian dari “antargolongan”, maka dalam konteks itu, pemerintah dan DPR harus mempertegas frasa itu untuk tetap berdasar pada identitas masyarakat atau warga negara, yang merupakan sesuatu yang melekat dan susah diubah.

"Bukan profesi, kelompok, atau hal lain yang mudah untuk berubah-ubah," kata dia.

Berikutnya mengenai pasal 29 UU ITE tentang Pengancaman di Ruang Siber atau Cyberbullying. Menurut dia, pedoman pasal ini cukup bermasalah karena tidak memasukkan syarat pasal tersebut sebagai delik aduan. Dirga menjelaskan, pasal itu harusnya merupakan delik aduan karena ditujukan pada pribadi.

"Hal ini harus dipertegas, khususnya dalam revisi UU ITE nantinya," tutur dia.

Poin selanjutnya tentang pasal 36 UU ITE yang mengatur tentang Perbuatan Pidana yang Menyebabkan Kerugian bagi Orang Lain. Menurut dia, pedoman belum mempertegas peran dari polisi dan jaksa dalam melakukan pemeriksaan kerugian materiil dari pelanggaran yang diderita korban akibat pasal 27-34 UU ITE.

Padahal, kata dia, hal tersebut diperlukan. Sebab, di dalam praktiknya banyak ditemui Pasal itu digunakan semata-mata agar aparat penegak hukum bisa melakukan penahanan bagi perbuatan pidana yang diancamkan dibawah lima tahun dan tidak bisa dilakukan upaya paksa.

"Keberadaan pedoman ini harus menjadi isyarat pentingnya revisi UU ITE untuk segera dibahas oleh pemerintah dan DPR. Sebab tanpa revisi UU ITE, maka tidak ada jaminan pasti selesainya berbagai permasalahan yang tidak dapat disentuh oleh pedoman UU  ITE," terang dia.

Ronggo Astungkoro

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement