Senin 21 Jun 2021 20:03 WIB

Etiopia Gelar Pemilu di Tengah Perang Saudara

Uni Eropa mengumumkan tidak mengirimkan pemantaunya.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Ben Curtis/AP Photo/picture alliance
Ben Curtis/AP Photo/picture alliance

Pemilihan umum legislatif yang seharusnya digelar tahun lalu merupakan bagan utama dalam rencana reformasi yang digulirkan Perdana Menteri Abiy Ahmed. Melalui apa yang disebutnya sebagai "upaya pertama menggelar pemilu yang adil dan bebas" itu, Abiy ingin menutup babak kelam instabilitas politik di Addis Ababa.

Partai Kesejahteraan yang berkuasa, diprediksi mampu mempertahankan mayoritas di parlemen dan membentuk pemerintahan selanjutnya. Popularitas itu, menurut kritik sejumlah tokoh oposisi, antara lain berkat praktik perundungan terhadap kandidat lawan, manipulasi dan ancaman kekerasan yang menyerupai taktik politik ala EPRDF, partai yang dulu berkuasa lama di Etiopia, dan kini dilebur ke dalam partai pemerintah.

Sebabnya beberapa partai-partai oposisi menyerukan aksi boikot, terutama di negara bagian berpenduduk paling padat, Oromia. "Harapan saya adalah bahwa pemilu ini akan berlangsung lancar, dan diselanggarakan dengan cara yang jujur dan adil," kata kandidat oposisi, Berhanu Nega.

Kepala Komisi Pemilihan Umum, Birtukan Midekssa, mengakui adanya "tantangan serius," tapi menggarisbawahi betapa pemilu kali ini melibatkan jumlah partai terbanyak dalam sejarah negeri. "Saya ingin mengajak komunitas internasional untuk mendukung Etiopia menjalani proses demokratisasi ini, betapapun tidak sempurnanya ia," tulisnya di mingguan AS, The National Interest.

Menyusul konflik di Tigray, KPU menunda pencoblosan di sekitar 100 dari 547 distrik pemilihan di Etiopia. Sebanyak 37 juta warga diperkirakan akan ikut serta dalam pesta demokrasi tersebut.

"Kami membutuhkan pemerintahan yang bisa membawa perdamaian, kesatuan dan menghentikan pertumpahan darah di mana-mana. Kita juga harus keluar dari lingkaran perpecahan etnis," kata Desalhn Shume, warga Etiopia yang mengaku akan mencoblos.

Pemilu di tengah perang saudara

Perang yang digalang Etiopia dan Eritrea melawan Tentara Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) sejauh ini telah menewaskan ribuan warga sipil, dan memaksa ratusan ribu lainnya mengungsi. Sementara itu, kekerasan etnis menjalar ke negara bagian lain seperti Amhara, Oromia atau Benishangul-Gumuz.

Di tengah krisis, PBB juga mendeklarasikan ancaman wabah kelaparan di Tigray, ketika produksi pangan dan pengiriman bantuan terhenti oleh perang.

"Dua atau tiga tahun lalu saya akan memilih Abiy. Tapi sekarang ada banyak masalah di negeri ini," kata seorang warga Addis Ababa yang menolak disebut namanya.

Sementara itu Pemerintah Amerika Serikat menyampaikan "kekhawatiran mendalam terhadap situasi di mana pemilu diselanggarakan." Adapun Uni Eropa mengumumkan tidak mengirimkan pemantaunya karena permintaan impor perlengkapan komunikasi ditolak pemerintah Etiopia.

Sebagai reaksi, Addis Ababa mengatakan pemantau asing "tidak dibutuhkan atau bernilai penting untuk memastikan kredibilitas sebuah pemilu." Meski begitu Etiopia akhirnya mengizinkan pemantau Uni Afrika mengawasi jalannya pencoblosan suara.

"Adalah tugas kami untuk merawat persatuan, bukan tugas pemerintah," tutur seorang warga ibu kota, Eskedar Teklegiorges, ketika pemerintah menerjunkan ratusan aparat berseragam untuk berparade di Addis Ababa jelang pemilu.

Partai Kesejahteraan pimpinan PM Abiy tercatat mengusulkan 2,432 orang kandidat, diikuti oleh Partai Etiopia Untuk Keadilan Sosial yang memasukkan 1,382 nama. Secara keseluruhan, sebanyak 47 partai ikut serta dalam kontestasi politik tahun ini.

"Dulu kami tidak punya pilihan," kata Girmachew Asfaw, seorang warga Etiopia. "Tapi kali ini situasinya sama sekali berbeda."

rzn/hp (ap, rtr)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement