Sabtu 19 Jun 2021 03:46 WIB

PBB: Jumlah Pengungsi Meningkat Dua Kali Lipat

Jumlah pengungsi di dunia tembus 82,4 juta orang

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Nur Aini
Sejumlah warga berkumpul di jalan salah satu tempat pengungsian, Mogadishu, Somalia Jumat (16/4).
Foto: AP/Farah Abdi Warsameh
Sejumlah warga berkumpul di jalan salah satu tempat pengungsian, Mogadishu, Somalia Jumat (16/4).

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Jumlah orang yang terpaksa meninggalkan rumah karena konflik, penganiayaan, dan pelanggaran hak asasi manusia meningkat dua kali lipat dalam satu dekade terakhir. Berdasarkan catatan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada akhir 2020, jumlah pengungsi telah menjadi 82,4 juta orang.

"Pada tahun Covid-19, di tahun di mana pergerakan hampir tidak mungkin bagi sebagian besar dari kita, 3 juta orang lebih banyak telah mengungsi secara terpaksa," kata Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi, Filippo Grandi, Jumat (18/6).

Baca Juga

Hampir 70 persen dari mereka yang terkena dampak hanya berasal dari lima negara. Kelima negara tersebut yakni Suriah, Venezuela, Afghanistan, Sudan Selatan, dan Myanmar. Data itu berdasarkan laporan tahunan tentang pemindahan paksa oleh Badan pengungsi PBB UNHCR.

Ia menambahkan, sekitar 42 persen dari mereka yang mengungsi merupakan anak-anak. "Sayangnya, tren terus berlanjut. Jadi jika dihitung, untuk enam bulan pertama tahun 2021, kita mungkin akan melihat peningkatan yang lebih banyak dari 82,4 juta itu," kata Grandi.  

Peningkatan orang yang tergusur dari rumah mereka sebagian didorong oleh kasus-kasus baru di antaranya di Mozambik utara, wilayah Sahel Afrika Barat, dan Tigray Ethiopia. Hal itu juga bersamaan dengan konflik yang berlangsung lama di Afghanistan dan Somalia.

PBB juga sedang mempersiapkan kemungkinan pemindahan warga sipil lebih lanjut di Afghanistan, setelah pasukan Amerika Serikat dan internasional meninggalkan negara itu. Grandi juga meminta pemimpin dunia untuk berhenti mencela orang-orang yang terpaksa pindah ini.

"Mengatakan bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi arus populasi ini dengan membangun tembok atau mendorong orang kembali ke laut, merupakan hal yang tidak pantas. Mereka ini manusia," kata Grandi.

Sebelumnya, mantan Presiden AS Donald Trump mengambil pendekatan keras pada keamanan perbatasan dan imigrasi. Grandi yang baru-baru ini mengunjungi Washington memuji janji Presiden AS baru Joe Biden untuk membuat sistem suaka AS yang lebih manusiawi.

"Sangat penting bahwa janji itu dilaksanakan. Sikap yang saya dengar di Washington adalah orang-orang yang membutuhkan perlindungan internasional akan diberikan perlindungan internasional, tetapi kita harus membuat sistemnya lebih efektif," kata dia lagi.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement