Jumat 18 Jun 2021 19:28 WIB

Israel Hendak Ajukan RUU Cegah Reunfikasi Keluarga Palestina

Shaked yakin oposisi sayap kanan akan mendukung aturan tersebut.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Wanita Palestina Sena Mohammed (kanan) bersatu kembali dengan keluarganya setelah 24 tahun di Sungai Jordan yang juga dikenal sebagai Nahr Al Syarieat di Jericho, Tepi Barat pada 17 Juni 2021. Sena bertemu kembali dengan anggota keluarganya, yang tinggal di Yordania. Sena mengklaim Israel tidak memberinya kartu identitas untuk bepergian ke luar negeri.
Foto: Anadolu Agency/Issam Rimawi
Wanita Palestina Sena Mohammed (kanan) bersatu kembali dengan keluarganya setelah 24 tahun di Sungai Jordan yang juga dikenal sebagai Nahr Al Syarieat di Jericho, Tepi Barat pada 17 Juni 2021. Sena bertemu kembali dengan anggota keluarganya, yang tinggal di Yordania. Sena mengklaim Israel tidak memberinya kartu identitas untuk bepergian ke luar negeri.

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Menteri Dalam Negeri Israel Ayelet Shaked berniat mengajukan rancangan undang-undang (RUU) untuk memperpanjang aturan Citizenship and Entry selama satu tahun. Aturan tersebut dapat mengganjal reunifikasi atau penyatuan kembali keluarga Palestina.

Shaked meminta partai-partai oposisi sayap kanan mendukung RUU tersebut. “Tidak ada oposisi atau koalisi dalam hal masalah yang berkaitan dengan keamanan Israel,” ujarnya, dikutip laman Middle East Monitor, Jumat (18/6).

Baca Juga

Shaked mengatakan dia tak yakin kubu oposisi akan berusaha membahayakan keamanan negara demi ambisi politik. “Saya yakin mereka akan menunjukkan kedewasaan yang diperlukan dan mendukung hukum,” ucapnya.

Ia pun yakin pemimpin oposisi sekaligus ketua partai Likud, yakni Benjamin Netanyahu, akan menepati janjinya bahwa tak ada oposisi atau koalisi dalam kasus yang berkaitan dengan keamanan Israel. “Dalam hal ini kita semua berada di garis depan yang sama,” kata Shaked.

Blok koalisi pemerintah dijadwalkan mengajukan RUU untuk pemungutan suara pleno pada Kamis (17/6). Namun langkah itu urung dilakukan karena tak adanya mayoritas yang menjamin pengesahan undang-undang (UU) tersebut.

UU Citizenship and Entry diberlakukan Israel selama Intifada kedua. Di dalamnya tercakup aturan yang membatasi yurisdiksi menteri dalam negeri dalam memberikan kewarganegaraan dan izin tinggal terkait kasus reunifikasi keluarga Palestina. Selain itu, dalam UU tersebut terdapat poin tentang pembatasan pemberian izin tinggal di Israel dalam kasus reunfikasi keluarga.

UU Citizenship and Entry melarang masuknya orang Palestina dari Tepi Barat dan Jalur Gaza ke Israel. Selain itu, ia turut melarang warga Arab dari negara-negara yang dianggap musuh, seperti Lebanon, Suriah, Irak, dan Iran, memasuki wilayah pendudukan untuk dapat berkumpul kembali dengan keluarga mereka.

UU tersebut tidak membahas tentang kepentingan memasuki Israel untuk bekerja atau menerima perawatan medis. Ia lebih fokus pada reunfikasi keluarga dan menganggap semua warga Palestina sebagai ancaman keamanan.

UU itu menyediakan mekanisme yang memungkinkan keabsahannya diperpanjang dengan keputusan pemerintah dan persetujuan parlemen (Knesset). Perpanjangan dapat dilakukan untuk jangka waktu tidak lebih dari satu tahun.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement