Jumat 18 Jun 2021 03:35 WIB

Zonasi Pacu Sekolah Tingkatkan Standardisasi

Keinginan orang tua menyekolahkan anak di sekolah favorit menurun sejak adanya zonasi

Sejumlah wali murid berada di lingkungan sekolah saat pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) secara daring di SDN Tangerang 6, Kota Tangerang, Banten, Kamis (17/6/2021).
Foto: Antara/Fauzan
Sejumlah wali murid berada di lingkungan sekolah saat pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) secara daring di SDN Tangerang 6, Kota Tangerang, Banten, Kamis (17/6/2021).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemberlakuan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi sempat menjadi kontroversi. Sisi positifnya, sistem zonasi ternyata memacu semua sekolah untuk meningkatkan standardisasinya untuk mengikuti akreditasi.

Pemberlakuan PPDB sistem zonasi membuat label sekolah favorit secara otomatis hilang lantaran dalam zonasi, penerimaan murid tidak lagi berdasarkan nilai melainkan wilayah tempat tinggal. Artinya, murid yang memiliki nilai rendah pun bisa masuk sekolah yang sebelumnya berlabel favorit asal tempat tinggalnya berdekatan dengan sekolah.

Kepala Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (BAN-S/M Kemendikbudristek) Dr Toni Toharudin mengungkapkan sejak pemberlakuan pendaftaran sekolah berdasarkan zonasi, keinginan orang tua agar anaknya menimba ilmu di sekolah favorit menurun. Sehingga masuk sekolah favorit sudah bukan hal yang luar biasa.

"Keinginan orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah favorit itu makin menurun. Contohnya di Bandung untuk masuk ke SMAN 3 itu menurun, tetapi beralih ke SMA yang lain yang ada di zonasinya misalnya SMAN 8. Sehingga SMAN 3 yang favorit itu sudah bukan yang luar biasa dibandingkan dengan SMA yang lain," kata Dr Toni ketika menjadi pembicara di Fellowship Jurnalisme Pendidikan angkatan ke-2, Selasa (15/6). Fellowship itu digelar berkat kerja sama Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan dan PT. Paragon Technology and Innovation.

photo
Kepala Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (BAN-S/M Kemendikbudristek) Dr Toni Toharudin - (tangkapan layar)

Sebenarnya menurut Dr Toni, ketika sistem zonasi diterapkan Mendiknas saat itu, Muhadjir Effendy, para jajaran lembaga akreditasi gembira. Sebab hal tersebut membuat akselerasi setiap sekolah di zonasi itu semakin termotivasi untuk meningkatkan akreditasinya. Menurut dia, pemerintah secara tidak langsung harus memenuhi standar kualitas tertentu di seluruh sekolah yang ada.

"Artinya ketika sekolah itu berada di zona tertentu dan akreditasi sekolah tersebut sangat kurang, sementara tuntutan dari masyarakat agar anaknya sekolah di sekolah favorit, maka sekolah tersebut akan bersemangat meningkatkan nilai akreditasi," kata doktoral dari Groningen Universitas, Belanda.

Meski ia mengakui, idealnya sistem zonasi diterapkan jika standardisasi dan kualitas sekolahnya sama. Tetapi ia mengaku tidak mempermasalahkan hal tersebut. "Nilai positifnya sekolah-sekolah tersebut memiliki standar yang sama di zona-zona tertentu," katanya.

Lebih jauh Dr Toni mengaku khawatir saat Mendikbud Nadiem Makarim mengembalikan pelaksanaan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) ke sekolah masing-masing pada akhir 2019. Alasannya standardisasi setiap sekolah berbeda-beda antara sekolah unggulan dan tidak unggulan. Karena itu, Toni  memberikan masukan agar sistem asessment yang baik di setiap sekolah yang sifatnya disentralisasi.

"Di setiap daerah itu harus ada ekspert assesment, sehingga sehingga setiap sekolah memiliki standar penilaian yang sama," kata dia.

Dr Toni khawatir jika sekolah unggulan akan memperketat penilaian terhadap siswanya. Sementara sekolah tidak unggulan akan memperlonggar penilaian terhadap siswanya. "Sehingga ujungnya akan sulit untuk mengambil sekolah mana yang harus diambil standar penilaiannya," ujar Dr Toni.

Imbasnya, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang melaksanakan SNMPTN akhirnya membuat penilaian bobot untuk sekolah-sekolah yang ada. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi standar penilaian yang berbeda. Karena itu, BAN S/M mengusulkan agar ada sistem assessment yang baku.

"Dulu kami mengusul ada ekspert untuk melakukan assesment di setiap daerah, karena adanya LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan). Dan Sekarang kalau dilepas begitu saja pasti akan sulit untuk mengontrol kualitas assesment mereka. Sehingga ada banyak kontroversi terkait standar penilaian yang dilakukan setiap sekolah," ucap dia.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, evaluasi terhadap PPDB 2020 sistem zonasi, membuat bertambahnya sekolah-sekolah negeri di sejumlah daerah. Selama tiga tahun penerapan kebijakan PPDB zonasi, di Bekasi bertambah tujuh SMPN baru, sembilan SMPN di Tangerang, satu SMAN di Kota Pontianak Kalimantan Barat, satu SMAN di Kota Depok dan tujuh SMKN baru di DKI Jakarta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement