Rabu 16 Jun 2021 12:51 WIB

Strategi Pemerintah Genjot Pemanfaatan Alkes Dalam Negeri

Menurut data Kemenkes, 358 jenis alkes yang sudah diproduksi di dalam negeri.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Nidia Zuraya
Petugas menyiapkan alat kesehatan di salah satu ruangan Tower 8 Wisma Atlet Pademangan, Jakarta, Selasa (15/6). ilustrasi. Prayogi/Republika.
Foto: Prayogi/Republika.
Petugas menyiapkan alat kesehatan di salah satu ruangan Tower 8 Wisma Atlet Pademangan, Jakarta, Selasa (15/6). ilustrasi. Prayogi/Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berkomitmen mendorong percepatan pengembangan industri alat kesehatan (Alkes) dalam negeri. Pemerintah percaya, produsen di Tanah Air mempunyai kapasitas memenuhi kebutuhan dalam negeri. 

Menurut data Kementerian Kesehatan, 358 jenis Alkes yang sudah diproduksi di dalam negeri, 79 jenis Alkes sudah mampu menyubstitusi atau menggantikan produk impor bagi kebutuhan nasional, di antaranya elektrokardiogram, implant ortopedi, nebulizer, dan oximeter. Hal ini menunjukkan, produsen Alkes dalam negeri dapat memenuhi kebutuhan pasar domestik serta menggantikan produk impor.

Baca Juga

“Berdasarkan data LKPP, untuk tahun anggaran 2021, jumlah pemesanan Alkes melalui E-Katalog, pesanan produk impor diketahui lima kali lebih besar senilai Rp 12,5 triliun dibandingkan pesanan Alkes dalam negeri, senilai Rp 2,9 triliun,” ujar Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut B Pandjaitan pada Konferensi Pers Virtual Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri di Bidang Alat Kesehatan pada Selasa (15/6). Ia menyebutkan, terdapat 5.462 Alkes impor yang sudah tersubstitusi produk dalam negeri sejenis dan akan dialihkan untuk belanja produk dalam negeri di E-Katalog. 

"Valuasi dari substitusi Alkes impor mencapai 6,5 triliun,” kata Luhut. Ia melanjutkan, guna mendukung pengembangan industri Alkes dalam negeri, Pemerintah akan melakukan Tujuh Langkah Strategis Peningkatan Ketersediaan Pasar untuk Produk Alkes Dalam Negeri yang terdiri atas: (1) Keberpihakan pada PDN melalui belanja barang atau jasa pemerintah, (2) Peningkatan kapasitas produksi Alkes dalam negeri, (3) Subsidi sertifikasi TKDN melalui dana PEN, (4) Skema insentif bagi investor Alkes dan farmasi, (5) Peningkatan Alkes berteknologi tinggi berbasis riset, (6) Kebijakan tenggat waktu untuk pembelian produk impor, (7) Prioritas penayangan PDN di E-Katalog.

“Indonesia telah berubah sekarang, dan kita harus menjadi bagian dari perubahan itu. Jangan kita menghambat perubahan itu. Kita menghadapi masalah disana-sini, tapi kita sekarang bergerak maju, melakukan perubahan. Kita melakukan terobosan untuk membuat Indonesia menjadi lebih baik,” ujar Luhut.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan permasalahan utama terkait penggunaan Alkes dalam negeri dan pengadaan Alkes impor adalah adanya rentang jenis yang sangat luas mulai dari Alkes sederhana sampai teknologi tinggi dan memiliki bahan baku yang sangat beragam. Selain itu, bahan baku dengan spesifikasi medical grade belum banyak tersedia di dalam negeri. 

"Selain itu juga penguasaan teknologi alat kesehatan yang masih terbatas dan masih perlu dikembangkan. Khususnya bagi teknologi menengah sampai tinggi, serta banyaknya produk alat kesehatan impor yang membanjiri Indonesia", kata Menkes.

Sampai saat ini sebanyak 358 jenis produk alat kesehatan yang sudah diproduksi di dalam negeri, dalam sistem regalkes, Kemenkes. Beberapa strategi peningkatan Produk Dalam Negeri (PDN) untuk alat kesehatan dapat dilakukan melalui tiga tahapan yaitu fase riset, fase registrasi, produksi, dan distribusi serta fase penjualan. Diantaranya dilakukan regulasi yang mendukung alat kesehatan dalam negeri, pembelian melalui E-Katalog, TKDN alat kesehatan dan pengembangan bahan baku alat kesehatan, transfer knowledge dan transfer teknologi Sumber Daya Manusia khususnya pengembangan SDM dalam bidang biomedical engineering. Promosi alat kesehatan dalam negeri, serta peningkatan awareness penggunaan Alkes dalam negeri ke user, dalam hal ini dokter dan tenaga kesehatan.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan, potensi sebesar Rp 607,7 triliun merupakan peluang pasar produk dalam negeri yang dapat dioptimalkan. Sehingga Pemerintah mengupayakan agar 79 produk prioritas alat kesehatan dalam negeri dapat dimanfaatkan dalam belanja APBN di bidang kesehatan. 

Beberapa produk di antaranya telah memiliki nilai TKDN di atas 40 persen. Artinya produk dalam negeri tersebut wajib dibeli dan produk impor dilarang untuk dibeli.

Bagi alat kesehatan produksi dalam negeri yang belum memiliki nilai TKDN, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memberikan fasilitasi sertifikasi TKDN secara gratis untuk sekurang-kurangnya 9.000 produk di tahun anggaran 2021. Kemenperin mendorong peningkatan belanja produk dalam negeri melalui Program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) serta Program Subtitusi Impor 35 persen pada 2022. Program ini dilaksanakan melalui penurunan impor dengan nilai terbesar yang simultan dengan peningkatan utilisasi produksi sampai dengan 85 persen pada 2022.

Supaya dapat semaksimal mungkin menyerap produk dalam negeri, diperlukan dukungan kebijakan dari Kementerian/Lembaga terkait dalam melaksanakan program substitusi impor tersebut, termasuk antaranya Penerapan P3DN secara tegas dan konsisten. “Program ini adalah langkah nyata pemerintah dalam mendukung perekonomian nasional dan menjadikan indonesia negara tangguh dan mandiri,” kata Menperin.

Kepala LKPP Roni Dwi Susanto dalam kesempatan yang sama menyampaikan dukungan dan Aksi Afirmasi P3DN yang telah dilakukan LKPP, antara lain dengan cara menayangkan katalog produk alat kesehatan dalam negeri (AKD) yaitu 10 Desember 2020 mendahului alat kesehatan luar negeri (AKL) yang ditayangkan 3 Juni 2021. “Selanjutnya, penuangan klausul kontrak katalog yang mengamanatkan bahwa produk impor hanya dapat dipesan melalui e-purchasing apabila tidak dapat dipenuhi oleh AKD,” tegasnya.

LKPP mencatat sejak 1 Mei 2020 hingga 11 Juni 2021, jumlah produk Alkes AKD dalam E-Katalog nasional berjumlah 8.219 produk dengan jumlah transaksi sebesar Rp2,9 triliun, sedangkan produk AKL berjumlah 39.692 produk dengan jumlah transaksi sebesar Rp12,5 triliun. Apabila produk yang dibutuhkan tidak terdapat dalam E-Katalog, maka K/L/PD tetap bisa melakukan pengadaan melalui metode selain e-purchasing, namun dengan tetap memprioritaskan AKD. Hal tersebut sesuai dengan amanat yang tercantum dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Perpres Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Perpres 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Kepala LKPP juga menambahkan, tampilan awal pemesanan produk dalam katalog elektronik selalu mendahulukan PDN yang memiliki TKDN. Selain itu, LKPP bersama BRIN menyelenggarakan Katalog Sektoral khusus produk-produk inovasi. LKPP telah menjalin kerja sama dengan Kementerian Perindustrian dalam integrasi data TKDN di Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement