Rabu 16 Jun 2021 06:27 WIB

FISIP UMM Bahas Isu KPK dari Sisi Politik dan Hukum

Tindakan labelling pada calon anggota KPK yang tidak lolos TWK perilaku tidak adil

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Hiru Muhammad
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menggelar Diskusi Publik yang bertajuk Gonjang-Ganjing KPK: Analisis Kritis KPK dari Perspektif Politik dan Hukum
Foto: Humas UMM
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menggelar Diskusi Publik yang bertajuk Gonjang-Ganjing KPK: Analisis Kritis KPK dari Perspektif Politik dan Hukum

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG--Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menggelar Diskusi Publik yang bertajuk Gonjang-Ganjing KPK: Analisis Kritis KPK dari Perspektif Politik dan Hukum. Di kegiatan ini, FISIP menghadirkan sejumlah pembicara di bidang hukum dan politik.

Dekan FISIP UMM Rinikso Kartono mengatakan, tindakan labelling pada calon anggota KPK yang tidak lolos TWK termasuk perilaku yang tidak adil. Para pemberantas korupsi disebut sebagai orang-orang tidak Pancasilais. "Sedangkan para koruptor tidak diberi labelling negatif," katanya.

Serangan balik dari koruptor yang terjadi juga mempengaruhi semua elemen di masyarakat. Instrumen kebaikan menjadi pudar dan hal yang kuat belakangan saat ini berupa uang. Sebab itu, masyarakat tidak usah heran jika lebih 300 orang termasuk kepala daerah masuk dalam bursa kepemimpinan.

Mantan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan, ada hubungan timbal balik antara demokrasi dan korupsi. Di era presiden Jokowi, terdapat faktor determinan oligarki politik dan oligarki taipan terhadap produk politik. Kemudian terjadi penurunan indeks persepsi demokrasi pararel dengan turunnya tiga digit indeks prestasi korupsi di era Jokowi. 

"Hal ini menjadi indikasi pembusukan demokrasi sekaligus makin naiknya tingkat korupsi," ucapnya dalam pesan resmi, Selasa (15/6).

Menurut Busyro, demokrasi yang terjadi di Indonesia termasuk transaksi nasional yang memerlukan prasyarat. Pertama,  floating mass di mana masyarakat diambangkan, dibuat terombang-ambing dalam ketidakjelasan terkait isu-isu korupsi, bisnis narkoba dan isu lainnya. Pembunuhan KPK dan SDM menuju Pemilu 2024 merupakan prasyarat berikutnya bagi demokrasi transaksional. Selain itu, intensitas represivitas keamanan seperti teror, hoaks radikalisme, isu intoleran dan gerilya buzzer termasuk indikasi berikutnya. 

Sementara itu, Aktivis Hukum Indonesia yang juga merupakan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, Feri Amsari menjelaskan, setiap tahun KPK diserang oleh koruptor. Hal ini merupakan indikasi sederhana yang positif karena berarti KPK masih berada di jalurnya. 

Ia juga membahas ketidakjelasan posisi KPK, mengingat Indonesia hanya ada tiga jenis lembaga. Lembaga yang dimaksud antara lain eksekutif, yudikatif dan legislatif. 

Menurut Feri Amsari, upaya pengubahan Undang-Undang (UU) KPK baru terjadi di era Jokowi. Dalam perspektif Hukum Tata Negara, jika ada perubahan UU KPK berlangsung dengan cepat, maka bisa dipastikan adanya keterlibatan presiden dalam perubahan tersebut secara serius.

Pada kesempatan sama, Cendekiawan Muslim Profesor Azumardi Azra mengatakan, gonjang-ganing KPK menjadi salah satu pertanda buruk atau negative legacy dalam pemerintahan Jokowi. Presiden Jokowi pada periode kedua seharusnya bisa menguatkan positive legacy.

Menurutnya, kebebasan berekspresi semakin hilang belakangan ini. Selain itu terjadi sejumlah penangkapan beberapa tokoh yang vokal. Jika presiden Jokowi ingin menguatkan demokrasi, salah satu jalannya dengan membebaskan orang-orang yang mengkiritik. 

Guru besar peraih gelar Commander of The Order of British Empire ini menilai, Indonesia harus dibangun oleh kebebasan berekspresi dan bebas menyampaikan kritik. "Bukan saja oleh orang-orang yang selalu setuju dengan pemerintah," ucap dia.

Saat ini, kata Azyumardi, hal yang bisa dilakukan Indonesia dengan menyalakan harapan. Hal ini perlu diterapkan walaupun dia melihat tidak ada perubahan atau perbaikan pada KPK. Presiden Jokowi juga tidak merespons suara dari 75 guru besar yang mengkritik asus KPK. "Saya juga tidak melihat KPK akan dipulihkan kekuatannya. Walaupun kondisinya pahit, ya biarkan saja. Sembari menunggu harapan baru pada tahun 2024,” katanya.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement