Jumat 11 Jun 2021 15:31 WIB

Prof Haedar: Muhammadiyah Tolak Tegas PPN Pendidikan  

Haedar menegaskan, PPN pendidikan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Nashih Nashrullah
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menegaskan PPN pendidikan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menegaskan PPN pendidikan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan tegas menolak dan sangat berkeberatan atas rencana penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk bidang pendidikan sebagaimana draf Rancangan Undang-Undang Revisi UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyampaikan, pemerintah, termasuk Kementerian Keuangan dan DPR, semestinya mendukung dan memberi kemudahan bagi organisasi kemasyarakatan (ormas). 

Baca Juga

Dia mengingatkan, ormas telah menyelenggarakan pendidikan secara sukarela dan berdasarkan semangat pengabdian untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

"Pemerintah dan DPR mestinya tidak memberatkan organisasi kemasyarakatan penggerak pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola masyarakat dengan perpajakan yang nantinya akan mematikan lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini banyak membantu rakyat kecil," tuturnya kepada Republika.co.id, Jumat (11/6).

Terlebih, Haedar menambahkan, sebenarnya ormas ikut meringankan beban pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan yang belum sepenuhnya merata. Dia mengingatkan, pemerintah berkewajiban penuh menyelenggarakan pendidikan dan kebudayaan bagi seluruh rakyat sebagaimana perintah konstitusi. "Yang berarti jika tidak menunaikannya secara optimal, sama dengan mengabaikan konstitusi," ucapnya.

Pemerintah, kata Haedar, malah perlu berterima kasih kepada ormas penyelenggara pendidikan yang selama ini membantu meringankan beban kewajiban pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan dan program kerakyatan lainnya. Bukan malah membebani dengan PPN.

"Jika kebijakan PPN itu dipaksakan untuk diterapkan, yang nanti akan mampu menyelenggarakan pendidikan selain negara yang memang memiliki APBN, justru para pemilik modal yang akan berkibar dan mendominasi sehingga pendidikan akan semakin mahal, elitis, dan menjadi ladang bisnis layaknya perusahaan," katanya.

Haedar juga mengatakan, rencana penerapan PPN bidang pendidikan tersebut jelas-jelas bertentangan dengan jiwa konstitusi UUD 1945 Pasal 31 Pendidikan dan Kebudayaan. Pasal tersebut mengandung beberapa perintah. Pertama, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

Kedua, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ketiga, pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

Keempat, negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Kelima, pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Pemerintah berencana menarik PPN untuk jasa pendidikan alias sekolah. Hal ini sebagaimana tertuang dalam draf Perubahan Kelima Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Sebelumnya, jasa pendidikan alias sekolah masuk kategori jasa bebas PPN. Adapun jasa pendidikan yang dimaksud dalam hal ini sesuai dengan PMK 011 Tahun 2014 Tentang Kriteria Jasa Pendidikan yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai, seperti PAUD, SD, SMP, SMA/SMK hingga Bimbel.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement