Kamis 10 Jun 2021 19:21 WIB

KPK Bantah Ada Pasal Susupan Soal TWK

KPK sebut TWK disepakati secara formal oleh sejumlah lembaga sejak Januari.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Indira Rezkisari
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron saat menyampaikan keterangan terkait Assesman Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai KPK di Gedung Ombudsman RI, Jakarta, Kamis (10/6). Ombudsman RI memanggil pimpinan KPK untuk memberikan klarifikasi terkait proses pengalihan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) melalui assesment TWK. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron saat menyampaikan keterangan terkait Assesman Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai KPK di Gedung Ombudsman RI, Jakarta, Kamis (10/6). Ombudsman RI memanggil pimpinan KPK untuk memberikan klarifikasi terkait proses pengalihan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) melalui assesment TWK. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membantah adanya pasal selundupan dalam Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021 terkait Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). KPK menyebut semua pasal disusun berdasarkan diskusi secara terbuka bersama beberapa pihak.

"Tidak benar bahwa kemudian prosesnya tiba-tiba muncul di tengah jalan. Artinya tidak benar ada pasal selundupan atau yang tidak pernah dibahas dan itu proses pembahasan semua terbuka," kata Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, di Jakarta, Kamis (10/6).

Baca Juga

Dia mengatakan, draf Perkom KPK sudah mulai diunggah di portal KPK sejak 16 November lalu. Dia mengatakan, setelah diunggah, Perkom kemudian disampaikan untuk diharmonisasi ke Kementerian Hukum dan HAM (kemenkumham).

Ghufron menjelaskan bahwa ada tiga syarat yang harus dilakukan dalam peralihan status pegawai KPK menjadi ASN. Syarat tersebut meliputi klasifikasi pegawai tetap atau tidak tetap; setia kepada NKRI, Pancasila dan pemerintahan yang sah; memiliki integritas serta kompetensi.

Dia mengatakan, KPK telah memiliki semua dokumen terkait status kepegawaian dan integritas serta kompetensi. Dia melanjutkan, KPK hanya tidak memiliki ukuran para pegawai terkait kesetiaan mereka terhadap Pancasila, NKRI dan pemerintahan yang sah.

"Semula disodorkan dengan pakta integritas tapi kemudian berkembang, apa iya dengan pakta itu telah memiliki kesetiaan? Maka munculah dalam rapat tentang TWK," katanya.

Sayangnya, Ghufron tidak merinci siapa yang mempertanyakan hal tersebut sehingga akhirnya berkembang menjadi opsi TWK. Dia mengatakan, TWK kemudian dipakai sebagai alat untuk mengukur kesetiaan terhadap NKRI dan Pancasila sebagai pemenuhan syarat wawasan kebangsaan di pasal 3 PP dan pasal 5 Perkom.

Dia mengatakan, TWK secara formil disepakati dalam rapat harmonisasi di Kemenkumham pada 26 Januari berdasarkan dokumen tanggapan beberapa pihak. Dia mengungkapkan, rapat harmonisasi itu diikuti oleh KPK, Kemenpan RB, Kemenkumham, LAN, KSN dan BKN.

"Jadi tidak benar kalau kemudian prosesnya muncul di tengah jalan. Tapi tentu semuanya berkembang ya dinamis, tidak kemudian semua yang terjadi atau menjadi final draf di akhir itu kemudian merupakan hasil dari diskusi berkembang dari awal," katanya.

Seperti diketahui, TWK yang diikuti 1.351 pegawai KPK itu sukses menyingkirkan 75 pegawai berintegritas semisal penyidik senior, Novel Baswedan, Ketua Wadah Pegawai KPK yang juga penyidik Yudi Purnomo, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono dan Kasatgas KPK Harun Al-Rasyid. Mereka dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) berdasarkan tes tersebut.

Para pegawai TMS ini kemudian melaporkan proses pelaksanaan TWK ke Komnas HAM lantaran memiliki sejumlah keganjilan hingga sejumlah pertanyaan yang dianggap melanggar ranah privat. Selain itu, para pegawai ini juga melaporkan pimpinannya ke sejumlah pihak dari mulai Dewan Pengawas KPK hingga Ombudsman RI.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement