Kamis 10 Jun 2021 14:51 WIB

DPD RI: Ketiadaaan Tata Ruang Hambat Pembangunan

Anggota DPD menyebut kehadiran RTRW dan RDTR penting percepat pembangunan

Anggota Komite I DPD RI Abraham Liyanto mendesak pemerintah pusat dan daerah agar segera menyelesaikan berbagai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).
Foto: DPD
Anggota Komite I DPD RI Abraham Liyanto mendesak pemerintah pusat dan daerah agar segera menyelesaikan berbagai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).

REPUBLIKA.CO.ID, Jakarta -- Anggota Komite I DPD RI Abraham Liyanto mendesak pemerintah pusat dan daerah agar segera menyelesaikan berbagai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Alasannya, kehadiran RTRW dan RDTR sangat penting dalam mempercepat pembangunan di tingkat nasional maupun daerah.

“Ketiadaan tata ruang menghambat pembangunan. Masih banyak wilayah di republik ini yang belum memiliki RTRW, apalagi RDTR,” kata Abraham di Jakarta, Kamis, 10 Juni 2021.

Ia menyebut UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, sudah sangat jelas menyebut tujuan pembuatan tata ruang. Pasal 3 UU itu menyatakan tata ruang bertujuan terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan. 

Kemudian terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia. Tujuan lainnya adalah terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Sayang, kata Abraham, tujuan mulia dari UU itu belum terlaksana di negara ini. Buktinya, dari 514 Kabupaten dan Kota di tanah air, baru 56 daerah yang memiliki RDTR. Sementara yang memiliki RTRW belum mencapai 90 persen. 

Abraham mengemukakan, salah satu dampak dari ketiadaan RTRW dan RDTR adalah terjadinya pemborosan dalam pembangunan. Sebagai contoh, hampir tiap tahun terjadi proyek pelebaran jalan di berbagai daerah. 

Kemudian ada pembangunan fasilitas publik seperti telpon, listrik, air, selokan. Proyek-proyek ini hampir tiap tahun juga dibongkar karena ada pelebaran jalan atau pembangunan fasilitas baru di lokasi yang ada sekarang. 

Hal lain adalah adanya penggusuran rumah masyarakat untuk alih fungsi kawasan. Kebijakan ini akan melahirkan ganti rugi lahan yang sangat mahal.

“Jika tata ruang sudah dibuat, tidak ada pembongkaran dan pergeseran seperti itu. Kalau tiap tahun selalu ada pembongkaran, kan menyebabkan pemborosan. Anggaran negara hanya habis untuk proyek-proyek yang mubazir seperti ini,” ujar Abraham.

Senator dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ini juga melihat ketiadaan ketiadaan RTRW dan RDTR menyebabkan penetapan lokasi proyek di daerah-daerah asal tunjuk oleh penguasa. Penetapan lokasi juga lebih banyak ditetapkan bergantung bayaran dari pengusaha. Semakin besar uang yang dibayar, lokasi proyek mudah ditentukan.

“Tidak ada studi kelayakan apakah satu lokasi itu memenuhi syarat untuk bangun sebuah pabrik atau tidak. Atau studi kelayakan sebuah lokasi layak dijadikan kompleks perumahan, mall, pabrik, dan sebagainya. Semua bergantung transaksi dari pengusaha ke penguasa. Itu karena tidak ada tata ruang,” jelas Abraham.

Menurutnya, kondisi ini menyebabkan pengusaha harus mengeluarkan biaya besar untuk investasi. Padahal jika sudah ada peta tata ruang, biaya-biaya yang dikeluarkan sudah bisa diukur berdasarkan zona tata ruang yang sudah dibuat.

“Ini yang membuat mahal biaya investasi. Karena biaya ditetapkan sesuka hati saja oleh penguasa. Biasanya, ada-ada saja cara mencari uang ketika kita mengurus ijin usaha,” tegas Abraham yang juga Ketua Kadin Provinsi NTT.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement