Kamis 10 Jun 2021 12:39 WIB

Faktor Pemicu Rendahnya Kualitas Pendidikan Tinggi Indonesia

Di tingkat perguruan tinggi sistem pendidikan kita terjebak pada budaya birokratisasi

Mahasiswi di perpustakaan.  (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Mahasiswi di perpustakaan. (ilustrasi)

Oleh : Syukron Jazila, Pendiri dan Direktur Eksekutif Wahib Institute

REPUBLIKA.CO.ID, Membicarakan soal kualitas pendidikan di Indonesia, mula-mula tentu tidak bisa dilepaskan dari kualitas lulusan tingkat Sekolah Menengah Atas. Landasannya, lulusan ini akan menjadi input product di perguruan tinggi yang nantinya menentukan bagaimana corak berpikir (the way of thinking) dan iklim kompetisi belajar di bangku kuliah —sebagai tingkat pendidikan selanjutnya.

Dalam tiga tahun terakhir misalnya, sebagaimana survei kualitas pendidikan oleh PISA (Programme for International Student Assessment), Indonesia menduduki peringkat ke-72 dari 77 negara. Berada di peringkat keenam terbawah; dikalahkan oleh Malaysia dan Brunei Darussalam.

Apalagi jika dibandingkan dengan Singapura -yang menduduki urutan kedua teratas setelah China. Bahkan, QS World Ranking melaporkan kualitas perguruan tinggi Indonesia tidak juga dapat melampaui negara-negara tetangganya di ASEAN.

Dari data itu, kemudian bisa ditarik benang merah. Secara substansial —bukan saja secara statistik— problemnya ada pada; pertama, variabel lulusan sekolah menengah; kedua, metode dan sistem perguruan tinggi di Indonesia sendiri nantinya yang masih stagnan adalah pokok persoalan lain yang juga sangatlah kompleks.

Di tingkat perguruan tinggi, sistem pendidikan kita terjebak pada budaya birokratisasi. Di mana pendidikan bukan lagi bertujuan membentuk warga negara yang "tercerahkan" (peduli terhadap nasib negeri di masa depan, misalnya). Alih-alih demikian, produk pendidikan kita hanya puas dengan melatih peserta didik untuk mendapat pekerjaan.

Perguruan tinggi di Indonesia berputar-putar pada target naik pangkat dan lomba kuantitas publikasi di jurnal ilmiah internasional (terindeks scopus misalnya). Padahal, jumlah artikel ilmiah yang sudah diterbitkan di jurnal bukanlah ukuran luasnya manfaat yang dapat dituai oleh sarjana untuk kepentingan sosial sekitarnya.

Apalagi, artikel jurnal hanya dapat dijangkau oleh mereka yang punya akses terhadap ilmu pengetahuan. Dan kita tahu, jurnal-jurnal ilmiah internasional tidak bisa diakses secara cuma-cuma. Ini menambah jurang pemisah antara kaum sarjana dan yang bukan. Dari sini tujuan pertama pendidikan "untuk semua orang" tidak tercapai, apalagi mau bicara tentang prinsip pendidikan —yang juga belum jelas akarnya. Mau mendahulukan pendidikan kritis atau yang semacam apa. Ini masih tanda tanya besar.

Jika mau diringkas, dua variabel di atas dapat diterjemah ke dalam satu persoalan panjang...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement